Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"KALAU berpolitik dengan semangat saudagar, bagaimana bisa membayangkan republik kita ke depan,” ujar Akbar Tandjung, mantan Ketua Umum Partai Golongan Karya, dalam sidang terbuka di ruang auditorium lantai lima Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, awal bulan ini. ”Jadi itulah perbedaan seorang saudagar dengan pejuang politik.” Akbar sedang mempertahankan disertasinya untuk meraih gelar doktor ilmu politik.
Pernyataan ”keras” di depan tiga ratusan undangan ini—sebagian fungsionaris dan elite Golkar—ternyata tak selesai di situ. Sebagian tokoh merasa tersengat. Akbar dinilai kelewatan. Yang disasar jelas: Jusuf Kalla. Sebagai ketua umum partai, saudagar kaya dari keluarga pebisnis di kawasan Indonesia timur ini bisa dibilang kader paling kuat mewakili Golkar pada pemilihan presiden 2009. Ternyata Akbar juga berselera. Sebagai pintu masuk, ia meminta konvensi Golkar kembali digelar. ”Saya kan masih kader Golkar,” katanya.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat Golkar Priyo Budi Santoso, yang ikut menonton ujian disertasi itu, menilai pernyataan Akbar sekadar terlalu bersemangat. Jusuf Kalla, Akbar Tan djung, dan Harmoko masing-masing berlatar bela kang pengusaha, insinyur, dan wartawan. ”Tapi, begi tu jadi ketua umum partai, mereka semua kan menjadi politikus pejuang,” kata Priyo kepada Tempo di ruang kerjanya di gedung DPR/MPR pekan lalu.
Kalla, seperti biasa, tak terlalu peduli akan ”senggolan” yang mempersoalkan latar belakangnya itu. Ia malah menunjuk beberapa pemimpin partai yang juga pebisnis. Menurut Kalla, dana segar merupakan faktor penting kegiatan partai. Setelah pegawai negeri sipil dan militer dilarang berpolitik, sumber dana, ya, dari kocek para saudagar. ”Trennya memang begitu,” kata Kalla. Ia lalu sedikit berkelit, ”Sama seperti Pak Akbar. Dia memimpin Golkar bukan sebagai insinyur.”
Akbar lebih serius ketika mempersoalkan mekanisme seleksi partai untuk kandidat ke pemilihan presiden. Menurut dia, ketua umum partai tidak otomatis layak diusung jadi kandidat. Calon terpilih harus lewat proses seleksi, dari daerah tingkat dua kalau perlu. Prinsipnya, semua orang bisa ikut bertanding lewat konvensi. Peluangnya juga jadi sama besar dengan ketua umum. Setelah Akbar lengser dari posisi Ketua Umum Golkar tiga tahun silam, dan bukan lagi pengurus partai, konvensi tentu menjadi jalan masuk ideal buatnya.
Untuk ukuran partai, konvensi sebetulnya tidak sukses-sukses amat. Pada 2004, ketika Golkar menggeber kre asi politik ini pertama kalinya, kandidat hasil konvensi keok pada putaran pemilihan presiden. Akbar sendiri, yang menggagas ide ini, tersingkir pada proses seleksi internal. Itu sebabnya ide konvensi tidak seindah dulu. ”Perlu perbaikan-perbaikan,” kata Iskandar Manji, Wakil Sekretaris Jenderal DPP Golkar. ”Kemarin, paranormal saja bisa ikut,” ia menambahkan.
Menurut Priyo Budi Santoso, ada tiga skenario yang terkait dengan isu supersensitif ini. Pertama, Golkar mengajukan ketua umumnya sebagai kandidat presiden, dengan syarat partai menang dalam pemilu secara signifikan. Kedua, partai menggelar konvensi yang disempurnakan. Artinya, penunjukan kandidat cukup ditentukan dalam rapat pimpinan terbatas. Ketiga, partai kembali mengajukan duet SBY-JK, sepanjang perolehan suara kurang memuaskan. ”Tapi ini baru dibahas pada rapat pimpinan Oktober tahun depan,” kata Priyo. ”Kalau sekarang, masih terlalu pagi.”
Di sinilah tampaknya titik kritis buat Akbar. Jika soal ini baru dibahas pada akhir tahun depan, peluang konvensi menyempit. Kata Akbar, efek manjurnya baru terasa jika konvensi digelar minimal setahun menjelang pemilu. Jika pemilu digelar pada April 2009, sedangkan rapat pimpinan baru pada Oktober 2008, ”Waktunya terlalu singkat,” kata Akbar. Dia pun menyadari situasi kurang memihak dirinya.
Budi Riza, Syaiful Amin, Syahirul Anas
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo