Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SERATUSAN kiai berkumpul di kantor Nahdlatul Ulama Cabang Jepara, Sabtu dua pekan lalu. Ditemani jajan pasar, kepul an rokok di tangan, dan kitab ku ning, ustad dari seantero Jawa Tengah itu bertemu untuk membicarakan status fiqih pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN), yang rencananya akan dibangun di Muria, Jepara, Jawa Tengah.
”Sebagian besar peserta berpendapat, pembangunan PLTN Muria haram,” kata Ketua NU Jepara, K.H. Nurudin Amin. Kesimpulan ini mengejutkan dan bisa jadi berita tak baik untuk kelancaran rencana pembangunan pembangkit listrik yang diharapkan beroperasi pada 2017 itu.
Mulai awal tahun ini, aksi dan demonstrasi menolak PLTN sudah dimulai, meski rencana pembangunannya sudah direncanakan sejak 1974. Penolakan tak hanya dari masyarakat, tapi juga peng usaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia Kudus.
NU cabang Jepara pun perlu menggelar acara kumpul-kumpul kiai itu untuk merespons keadaan. Selain itu, kata dia, ”Masyarakat juga mendesak karena warga Jepara yang sebagian besar NU itu ingin tahu bagaimana PLTN Muria dari perspektif fiqih,” kata pria yang akrab dipanggil Gus Nung ini.
Pada saat yang sama, NU juga ingin mempertemukan kelompok pro dan kontra-PLTN dalam sebuah acara. Niat ini bersambut dengan pemberitahuan dari NU di Jakarta tentang adanya tawaran Kementerian Negara Riset dan Teknologi menggelar acara sosialisasi. Ia meminta acaranya diubah jadi dialog. ”Kalau so sialisasi, kan satu arah,” kata Nurudin.
Tawaran NU Jepara disetujui, dan dialog itu didanai Kementerian Riset dan Teknologi. Lalu, digelarlah musyawarah pada 1 September lalu. Layaknya pertemuan dua kubu yang berseberangan, tentu ada pro dan kontra. Menteri Negara Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman dan Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Hudi Hastowo ikut berbicara.
Pagi dialog, malam harinya urun rembuk kiai. Meski sama-sama ustad, pendapat yang muncul tak seragam. Sewaktu sesi pertama mulai, empat peserta angkat tangan. Satu di antaranya adalah Kiai Rafi, yang menyatakan PLTN ada manfaatnya sehingga perlu didukung.
Menurut Nurudin, Kiai Rafi bukan satu-satunya kiai yang pro-PLTN. Se tidak nya ada lima lainnya yang punya pandangan sama. ”Tapi sebagian besar menyatakan lebih banyak mafsadatnya (dampak negatif), karenanya kami menyatakan PLTN Muria haram,” kata Nurudin.
Ketua Majelis Ulama Indonesia Maruf Amin enggan berkomentar soal fatwa ini. ”Itu kan fatwa hukum, tentu harus jelas illad-nya (dalilnya). Tak bisa berdasarkan taksiran tak pasti,” kata dia. Lembaganya hingga kini belum menerima laporan dan belum membahas fatwa dari Jepara itu. ”Kami belum bisa memberikan penilaian karena belum membaca hasilnya secara lengkap.”
NU Jepara menyadari bahwa pemerintah tak harus mengikuti fatwa itu. Jika pemerintah tetap jalan terus dengan rencananya? ”Kami akan tetap menentang,” kata Nurudin.
Hudi Hastowo, yang juga ikut dalam dialog itu, mengakui bahwa atmosfer acara itu adalah menolak PLTN Muria. Bahkan, kata dia, Menteri Riset tak bisa memberikan argumentasi karena setiap akan memberikan penjelasan ditimpali dengan teriakan ”bohong”.
Hudi meyakinkan masyarakat, lembaganya punya pengalaman untuk menangani nuklir. Hingga kini Batan pu nya reaktor di Serpong, Bandung, dan Yogya. Tapi itu tak cukup meyakinkan para penentang rencana ini. ”Mereka malah membandingkan reaktor dengan PLTN itu seperti bajaj dan tronton,” kata Hudi.
Ia tentu saja tak menampik analogi itu. Dalam pengelolaan nuklir, yang juga penting bukan soal besar-kecilnya reaktor, karena prosedur penanganannya sama. ”Lagi pula, standar untuk membangun PLTN itu kan sangat ketat.” Menurut dia, analogi reaktor dengan PLTN itu seperti pesawat aerobatik dengan Jumbo 747. ”Satunya untuk terbang manuver, lainnya untuk terbang lintas benua.”
Nurudin mempertanyakan kemampuan peme rintah menangani PLTN. Ia memberi contoh lumpur Lapindo yang tak kunjung selesai, apalagi limbah nuklir. Soal peng alam an menangani tiga reaktor itu tak bisa jadi ukuran. Di Serpong, kalau reaktor itu digunakan untuk menghasilkan listrik paling cuma 30 megawatt. Padahal di PLTN Muria, untuk 4x1.000 megawatt. ”Jelas beda,” kata dia.
Di Jepara, Nurudin jadi salah satu bintang penentang PLTN. Pada Juli lalu, dia bersama aktivis Greenpeace Indonesia pergi ke Jepang dan Korea untuk bertemu sejumlah lembaga antinuklir. ”Saya sempat demo sendirian di depan Korean Electric Power Company (KEPCo) Korea Selatan,” kata Nurudin.
Kontroversi tentang PLTN Muria sudah muncul beberapa tahun lalu. Sebelum ada fatwa haram, masyarakat Jepara sudah menolak dengan berbagai cara. Ada yang demo, ada yang datang ke DPRD. Dalam barisan anti-PLTN, ada kelompok bernama Masyarakat Reksa Bumi (Marem). Ini merupakan organisasi masyarakat sekitar Gunung Muria yang anti-PLTN.
Marem tak bekerja sendiri. Mereka juga didukung para pengusaha, di antaranya PT Djarum. Perusahaan rokok raksasa ini disebut-sebut berada di belakang pembiayaan sejumlah diskusi yang digelar Marem di sejumlah kota. Pada 28 Februari, ada diskusi pro-kontra PLTN di Hotel Santika Semarang. Dua bulan berikutnya, ada dua kegiatan serupa di Salatiga dan Kudus. Sumber Tempo di Marem mengakui dukungan dana itu. ”Ya, kalau melihat kegiatannya, mungkin bisa miliaran,” kata sumber tersebut.
Sejak berdiri pada 22 Desember 2006, organisasi ini menyelenggarakan diskusi di tiga kota. Salah satunya di Graha Santika Semarang pada Februari silam, lalu di Kampus UKSW Salatiga dan Universitas Sugijopranata Kudus pada Maret dan April lalu.
Tak hanya itu. Sebelum memiliki se kretariat sederhana di Kudus, rapat orga nisasi yang berdiri pada 22 Desember 2006 ini kerap dilakukan di hotel bintang tiga di Kudus.
Hasan Aoni Aziz, Wakil Ketua Marem, mengatakan bahwa lembaganya didukung semua perusahaan di Kudus. ”Keterlibatan perusahaan itu upaya untuk survival, mempertahankan investasi. Sebuah ketakutan yang wajar,” kata pria yang pernah aktif dalam Masyarakat Anti-Nuklir Indonesia ini.
Salah satu direktur PT Djarum, Soe djarwo, mengatakan bahwa bukan hanya perusahaannya yang mendukung gerak an ini. ”Semua pengusaha di Jepara mendukung,” katanya. Menurut dia, Indonesia belum siap mengelola nuklir karena risikonya masih tinggi. ”Kita siap membeli, tapi belum siap me ngelolanya.”
Soal menolak PLTN, pengusaha yang terga bung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia sa tu suara. ”Pengusaha ambil bagian karena takut akan bahaya PLTN,” kata Ketua Apindo Kudus Raswidiyanto. Jika terjadi kecelakaan atau kebocoran radiasi, pasti akan mengancam investasi mereka yang jaraknya kurang dari 70 kilometer dari lokasi.
Sekalipun tidak terjadi kebocoran, kata dia, para pesaing bisa menggunakannya untuk melakukan kampanye jelek tentang produk mereka. Misalnya dengan mengatakan agar tidak menggunakan produk dari Muria dan sekitarnya karena berpotensi terkena radiasi nuklir. Kalau itu terjadi, jelas akan mengancam industri ukir, tekstil, makanan, rokok, kertas, dan elektronik yang berasal dari Jepara, Kudus, dan Pati. ”Ini ketakutan yang sangat masuk akal,” kata Soedjarwo.
Kontroversi ini tentu akan membuat nasib PLTN Muria kian terkatung-katung. Koesmayadi memastikan bahwa pemerintah belum memutuskan akan menggunakan PLTN atau tidak. ”Sampai saat ini pemerintah belum memutuskan apakah akan menggunakan PLTN atau tidak,” kata dia.
Hudi Hastowo menyatakan hal sama. Pembangunan PLTN dilakukan pada 2016 dengan asumsi pemerintah sudah mengambil keputusan tiga tahun lalu. ”Padahal hingga kini keputusannya belum ada,” kata dia. Kalaupun Batan terus bekerja melakukan penelitian di Muria hingga kini, itu semata untuk memperbarui data jika rencana jalan terus.
Abdul Manan, Sohirin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo