Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SELASA malam pekan lalu terasa panjang bagi Honiun Hamid. Bersama warga permukiman pinggir kolong jalan tol di Warakas, Tanjung Priok, Jakarta Utara, pria 50 tahun ini begadang semalam suntuk. Mereka bersiaga menyambut kedatangan Satuan Polisi Pamong Praja yang hendak membongkar paksa rumah warga. Biasalah, 58 keluarga yang tinggal di pinggir kolong jalan tol Tanjung Priok ini memang tak mengantongi izin resmi tinggal di sana.
”Kami ingin penyelesaian damai,” kata pria yang akrab disapa Neon itu kepada Tempo, keesokan harinya, di tengah kesiagaan memantau kehadiran aparat pemerintah. Harapan ayah empat anak ini tak muluk-muluk: hanya ingin tetap diizinkan menghuni wilayah itu. Jika harapan itu tak terkabul, apa boleh buat, ”Kami siap melawan,” kata tukang ojek yang sudah menetap di sana sejak enam tahun lalu itu.
Di bawah jajaran dipan kayu yang di letakkan di depan rumah warga, tampak tumpukan bambu yang ujungnya dibuat runcing. Jumlahnya memang tak lebih dari 50 batang. Namun, menurut seorang warga, lebih dari seratus batang bambu bekas tiang bendera sisa pera yaan ulang tahun Proklamasi, bulan lalu, telah disiapkan di beberapa lokasi di sekitar tempat tinggal mereka.
Kawasan ini memang salah satu dari sembilan wilayah kolong jalan tol dan ruang milik jalan alias kawasan pinggir kolong jalan tol di Jakarta yang akan ditertibkan. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, bekerja sama dengan Departemen Pekerjaan Umum, akan membenahinya menjadi ruang terbuka hijau.
Warga menetap di kolong jalan tol Jakarta sejak krisis ekonomi 1997, ketika banyak orang jatuh miskin. Kolong jalan tol, yang awalnya hanya tempat pembuangan sampah dan tak terurus, sedikit demi sedikit dibersihkan, diuruk, kemudian dipetak-petak untuk tempat tinggal.
Departemen Pekerjaan Umum, selaku pemilik, dan Jasa Marga serta Citra Marga Nusaphala Persada, selaku pengelola jalan tol lingkar utara, bahkan memberi izin resmi tinggal sementara di kolong jalan tol pada 2002. Namun keputusan itu dianulir oleh Menteri Pekerjaan Umum yang baru, Djoko Kirmanto, yang melarang warga tinggal di kolong jalan tol sejak Februari 2007. Karena itulah warga kolong jalan tol mulai digusur.
Pada mulanya penertiban akan dilakukan pada 29 Agustus, kemudian diundurkan menjadi 4 September. ”Dari 29 Agustus hingga 3 September, warga diberi kesempatan membongkar sendiri,” ujar Wali Kota Jakarta Utara Effendi Anas. Jika tenggat telah lewat tapi masih banyak warga yang bertahan, ”Aparat kita yang akan membongkar.”
Pembersihan yang melibatkan 6.500 petugas Satuan Polisi Pamong Praja, kepolisian, pemadam kebakaran, dan paramedis ini meliputi empat lokasi, yakni Kecamatan Tanjung Priok, Pademang an, Penjaringan-Pejagalan, dan Penjaringan-Rawa Bebek. Warga tergusur yang memiliki kartu tanda penduduk DKI akan direlokasi ke rumah susun di Marunda, Kapuk Muara, Tipar Cakung, Muara Angke, dan Cengkareng. Kaum pendatang akan diberi uang ganti rugi atau ”dana kerohiman” Rp 1 juta sebagai biaya pulang kampung.
Pada prakteknya, warga yang menerima dana kerohiman enggan beranjak dari kolong jalan tol. Contohnya Warsih, 40 tahun, pendatang asal Kebumen, Jawa Tengah, yang Selasa pekan lalu terpaksa membongkar rumah yang telah didiami nya selama lima tahun, persis di kolong jalan tol Tanjung Priok. Dengan uang ganti rugi di tangan, tukang pijat keliling ini emoh kembali ke kampung halaman.
Untuk sementara, Warsih dan keluarganya menumpang di rumah tetangga yang tak tergusur. ”Kalau kondisi sudah aman, saya bangun lagi rumah saya,” ujar perempuan yang mengaku membeli lahan 3 x 5 meter di kolong jalan tol itu seharga Rp 800 ribu. Ia juga rutin membayar listrik dan air PAM Rp 70 ribu dan Rp 50 ribu per bulan ke ”penguasa” kolong jalan tol. Sayang, Warsih tak mau merinci sosok sang ”penguasa”.
Udin, 37 tahun, lain lagi. Penduduk asli Jakarta yang tinggal di kolong jalan tol Kelurahan Rawa Bebek, Penjaringan, ini justru menolak pindah ke rumah susun Marunda. ”Waktu saya survei ke sana, masak nggak ada air bersih,” katanya. ”Emang dikira kita nggak butuh?” Akses transportasi juga tak mudah, sehingga ia terpaksa menggunakan jasa ojek. Pemilik bengkel sepeda motor di kolong jalan tol ini pun menghitung, konsumsi rumah tangganya bakal naik dua-tiga kali lipat dibanding jika tinggal di kolong jalan tol.
Koordinator Konsorsium Kemiskin an (Urban Poor Consortium) Wardah Hafidz meminta pemerintah tidak merelokasi warga dengan cara menggusur. ”Lebih baik digeser dari kolong tol ke pinggir kolong tol,” ujar Wardah, yang juga membantu mediasi warga kolong jalan tol dan ruang milik jalan dengan pemerintah. Dengan pola ini, masyarakat kolong jalan tol tetap mampu melakukan aktivitas sehari-hari tanpa khawatir mengalami perubahan.
Namun, menurut perencana kota Nirwono Joga, pergeseran tempat tinggal dari kolong jalan tol ke kawasan pinggir jalan tol bukan ide yang tepat. ”Sebaik nya di kawasan kolong tol dan pinggiran dibuat jalur hijau pengaman,” ujarnya. Untuk mengatasi efek sosial, kata dia, sebaiknya pemerintah menyediakan rumah susun di tengah kota, supaya kegiatan warga yang direlokasi tak ter gang gu. Nirwono juga mengingatkan agar sebaiknya pemerintah tak hanya mem perhatikan desain struktur jalan tol di bagian atas tapi mengabaikan desain kolong.
D.A. Candraningrum, Fery Firmansyah, Gabriel Wahyu Titiyoga, Dwi Riyanto Agustiar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo