Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kriminalitas dan pendidikan: mereduksi jati diri manusia?

Tanggapan pembaca soal tingkat kejahatan yang makin meningkat dalam berbagai bentuk. penyebab utamanya tak lain adalah perlombaan mengumpulkan materi.

4 Juni 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berbagai kejahatan, dari kelas jalanan (pencopet dalam bus kota) sampai kelas kakap, white collar (lihat kasus Bapindo, kasus Surabaya, eksploitasi perusahaan atas buruh, pencemaran lingkungan, dan kasus lainnya), akhir-akhir ini sering kita baca di TEMPO. Kita semua prihatin dengan semakin meningkatnya kualitas dan intensitas kejahatan di negeri kita ini, terutama yang dilakukan oleh mereka yang memiliki tingkat pendidikan yang cukup tinggi. Kita sering bertanya-tanya, apa sebetulnya di balik semua kejahatan ini. Kalau kita telusuri ke belakang dan perhatikan secara teliti, jawabannya akan kita dapat. Yakni (tampaknya) perlombaan mengumpulkan materi merupakan salah satu penyebab utama. Berbagai cara telah dilakukan: berkolusi dengan pemegang kekuasaan, berkolusi dan berkasak-kusuk untuk memperoleh jabatan dan kekuasaan, tendang sana tendang sini untuk mempertahankan status quo, dan sogok sana sogok sini untuk kepentingan pribadi (dan golongan). Hak asasi manusia diperkosa, tenaga buruh diperas, dan alam pun dieksploitasi, serta masih banyak cara lain yang sebetulnya tak pantas dilakukan oleh seorang manusia. Dan parahnya, sistem dan infrastruktur telah tersusun sedemikian rupa sehingga pencapaian tujuan tersebut di atas semakin mapan. Kita ambil contoh media komunikasi TV dan sistem pendidikan kita sekarang ini. Media TV (di samping manfaat positifnya) merupakan salah satu alat yang sangat efektif digunakan untuk mengeruk materi oleh golongan tertentu (pemilik perusahaan) tanpa melihat efek negatifnya. Siaran-siaran film yang berbau sekwilda (sekitar wilayah dada dan paha) dan kekerasan merupakan produk yang dapat memberikan kontribusi laba yang cukup besar bagi TV (perusahaan) karena film semacam itulah yang disukai masyarakat banyak. Demikian juga income yang diperoleh dari iklan-iklan yang disiarkan. Ada dua hal yang perlu diperhatikan di sini. Pertama, siaran TV jelas sangat memberikan pengaruh dalam proses pembentukan karakter pemirsanya. Kedua, iklan-iklannya tidak mendidik dan cenderung meningkatkan gairah konsumtif dan pola hidup borjuistis. Juga, iklan-iklan itu semakin memperkuat timbulnya kecemburuan sosial. Dua hal ini, pada akhirnya, merupakan faktor yang memegang peranan penting dalam memicu tindak kriminal kelas jalanan. Tentang sistem pendidikan. Dunia pendidikan kita saat ini, sebetulnya, dalam keadaan memprihatinkan. Sebab, dalam kenyataannya, pendidikan telah diarahkan semata-mata untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, yaitu dunia materi. Dan pendidikan SMA ini, anehnya, hanya untuk mempersiapkan anak didik memasuki perguruan tinggi (TEMPO, 7 Mei, Pendidikan). Kalau hanya itu yang menjadi tujuan pendidikan, menurut saya, kursus-kursus singkat di pinggir jalan akan dapat melakukan tugas ini dengan baik. Sementara itu, perguruan tinggi kita juga ibarat pabrik yang siap mencetak manusia berwawasan ekonomi-teknologi dengan karakter robot. Perguruan tinggi kita, seperti yang pernah dikatakan oleh Kuntowidjojo, telah berubah menjadi sekadar pelayan kepentingan-kepentingan bisnis dan politik. Itu terbukti, misalnya, dengan banyak dibukanya program pendidikan profesional. Dunia pendidikan kita saat ini telah mereduksi hakikat manusia pada karakter yang tak utuh. Pendidikan kita telah diarahkan lebih pada peningkatan sumber daya manusia sebagai aset pembangunan ekonomi, dan sangat kurang dalam membentuk pribadi yang bertakwa. Ini bukan berarti kita menolak pencapaian materi dalam kehidupan dunia - sisi ini sangat penting bagi kehidupan kita. Cuma, masalahnya: mengapa sistem pendidikan kita memarginalkan pentingnya sisi lain dari jati diri manusia? Mengapa sistem pendidikan kita sepenuhnya tunduk pada kepentingan pasar? Pada sisi lain, dunia pendidikan (dan ilmuwan) telah menganggap ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai mitos. Kita menerimanya secara taken for granted, secara begitu saja, dan mempelajarinya secara taqlid, seolah ilmu pengetahuan bebas dari nilai. Kita seharusnya sadar, sejak zaman pencerahan, ilmu pengetahuan (sosial maupun alam) berkembang pesat dengan kendaraan filsafat materialisme. Dan sampai saat ini, kita masih terus mempelajari dan mempraktekkannya tanpa ada usaha kritis untuk memodifikasi atau mengkonstruksi paradigma alternatif dalam ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan sosial dan alam yang kita pelajari saat ini tak terlepas dari kandungan nilai-nilai materialisme. Tanpa racikan dan formulasi yang proporsional dengan nilai- nilai lain (yang sementara ini dimarginalkan) dalam bentuk ilmu pengetahuan yang utuh, transendental, dan emansipatoris, nilai- nilai materialisme akan memformat dan mengkontaminasi cara berpikir, berperilaku, dan bertindak seseorang. Sebetulnya, tindak kriminal (kerusakan) tersebut di atas merupakan tanda-tanda dan peringatan bagi kita semua yang mau berpikir bahwa pereduksiaan jati diri manusia (menjadi pribadi tak utuh) merupakan penyimpangan dari sunnatullah. Sesungguhnya azab Tuhan itu sangat cepat ditimpakan pada manusia. IWAN TRIYUWONO 280 Gipps Road, Keiraville 2500 NSW, Australia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus