Peringatan "Hardiknas" akan kurang menyentuh bila nasib guru SD tak dipacu. Mengapa? Sebab, pada hakikatnya, guru SD mengajarkan dasar inti hidup sebenarnya. Bila mereka gagal mendidik, gagallah pendidikan bangsa.Sayangnya, sampai detik ini nasib guru SD belum tersentuh. Seolah mereka tidak terkait dengan pasar tenaga kerja, keterampilan, dan moralitas bangsa.Murid ingusan cukup diajar oleh guru yang standar hidupnya paling bawah. Padahal, usia 6 sampai 15 tahun tersebut paling peka bagi anak-anak: apa yang dilihat melekat, didengar, dipelajari selamanya.Anak SD sekarang ini tulisannya jelek, berhitungnya amburadul, dan membacanya gratul-gratul. Begitu juga kebersihan, kedisiplinan, dan keterampilannya. Biladalam waktu 6 dan 9 tahun tak terlatih, jangan harapkan mereka itu menjadi manusia berkualitas, hidup layak. Sulit diharapkan.Bagaimana mungkin bisa berkualitas? Bayangkan, seorang guru SD mengajar semua mata pelajaran, kecuali Agama, untuk 2 dan 3 kelas sekaligus, yang masing-masing mempunyai 40 atau 45 murid yang merupakan anak usia sulitdiatur. Tentu dapat dibayangkan bagaimana hasil pendidikan tersebut. Tak mengherankan bila prestasi belajar tiap tahun terus merosot.Akibatnya, kesehatan, kecerdasan, dan keterampilan bangsa sangat rendah dibandingkan dengan bangsa lain. Bahkan dengan Malaysia saja kita ketinggalan.Padahal, pada tahun 1970-an Malaysia masih minta bantuan guru kepada Indonesia. Sekarang tenaga kerja Indonesia yang ditampung Malaysia. Sudah terbalik.Yang paling menyedihkan, guru SD selalu dijadikan kelinci percobaan dengan bermacam sistem dan gaya pendidikan: sistem CBSA, metode IIN, gaya AAN, dansebagainya. Telah berkali-kali diupayakan terwujudnya UU Pendidikan. Namun, hasil positifnya belum terlihat. Ini perlu segera diatasi, terutama nasib guru SD. Sebab, guru SD adalah aset paling mendasar dan utama dalam mewujudkan masa depan yang berkualitas. M.D. WIRYA S. PRANATA Jalan Kapten Jumhana/Saikun No. 4 Medan 20216
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini