Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penambangan nikel merusak hutan dan limbahnya mengotori sungai serta air sumur warga di Weda Tengah, Halmahera Tengah, Maluku Utara.
Warga memanfaatkan air hujan buat kebutuhan sehari-hari dan membeli air kemasan untuk dikonsumsi.
Kasus di Weda Tengah tidak sejalan dengan inisiatif Presiden Jokowi dalam World Water Forum, Mei 2024.
KRISIS air di Weda Tengah, Halmahera Tengah, Maluku Utara, dengan tajam menggambarkan kesenjangan antara retorika dan realitas kebijakan lingkungan. Bagaimana mungkin janji tata kelola air berkelanjutan bisa mewujud bila pemerintah terus memberikan konsesi tambang yang merusak ekosistem lokal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam acara World Water Forum Ke-10 di Bali, 20 Mei 2024, Presiden Joko Widodo meluncurkan empat inisiatif Indonesia, termasuk tata kelola air berkelanjutan untuk negara-negara kepulauan kecil. Namun, jangankan untuk penduduk dunia, bagi penduduk Weda Tengah saja inisiatif itu seperti mimpi yang teramat jauh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Weda Tengah bergulat dengan krisis air bersih dalam beberapa tahun terakhir. Krisis air datang seiring dengan beroperasinya perusahaan tambang di kecamatan tersebut. Warga Desa Lelilef Sawai, yang berdekatan dengan kawasan industri smelter atau pengolahan bijih nikel milik PT Indonesia Weda Bay Industrial Park, misalnya, merasakan dampak paling parah. Selama musim hujan, limbah tambang meresap ke sumur warga. Akibatnya, air sumur tak bisa lagi diminum.
Krisis air bersih tak hanya dialami oleh warga Desa Lelilef Sawai. Penduduk di desa lain, seperti Kobe, Kulo Jaya, Lelilef Waibulan, Sawai Itepo, Woejerana, dan Woekob, menghadapi masalah serupa. Di sana air sungai yang terkontaminasi tak bisa dimanfaatkan lagi, sehingga penduduk terpaksa bergantung pada air hujan atau membeli air kemasan dari Kota Weda yang berjarak sekitar 30 kilometer.
Penambangan nikel di area yang mencapai 143 ribu hektare di Halmahera Tengah—sekitar 60 persen dari wilayah kabupaten itu—telah menyebabkan degradasi lingkungan yang luar biasa. Tambang mengubah hutan menjadi lahan tandus dan menghilangkan daerah tangkapan air. Limbah tailing mencemari sungai, menyebabkan sedimentasi dan kontaminasi bahan kimia berbahaya. Sungai-sungai yang dulu mengalir ke Teluk Weda, seperti Karkar, Woebem, dan Gwondi, kini tersumbat oleh puing-puing tambang dan hampir menghilang.
Operasi tambang juga telah merusak mata pencarian warga setempat. Aktivitas penambangan menggusur petani dan memaksa mereka meninggalkan ladang. Nelayan pun harus melaut lebih jauh karena di dekat pantai tak ada lagi ikan akibat pencemaran.
Semua petaka itu sulit dipisahkan dari kebijakan ekonomi pemerintahan Jokowi yang memprioritaskan sektor yang bisa memicu pertumbuhan tapi mengabaikan pertimbangan lingkungan dan sosial. Kebijakan yang mendorong penambangan nikel secara besar-besaran, meskipun mendatangkan keuntungan ekonomi jangka pendek melalui peningkatan ekspor, membawa risiko kerusakan lingkungan dan sosial jangka panjang.
Pemerintah Indonesia seharusnya tak berpuas diri dengan sekadar memoles citra di depan komunitas internasional. Indonesia boleh saja mengusulkan penetapan Hari Danau Dunia dan pendirian Center of Excellence untuk ketahanan air dan iklim di Asia-Pasifik. Tapi inisiatif seperti itu harus sejalan dengan kebijakan domestik yang pro keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Bila tidak, inisiatif apa pun akan terasa hampa, bahkan mudah dibelokkan menjadi proyek yang hanya menguntungkan para pejabat dan kroni bisnisnya.
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Janji Kosong Tata Kelola Air"