Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GURU besar abal-abal di Indonesia ada sejak era Orde Lama. Pada 1958, Kejaksaan Agung menahan seorang laki-laki yang mengaku bernama Profesor Djokosutomo M.A., pendiri Universitas Madjapahit di Kebayoran Lama, Jakarta. Di universitas tersebut, ia mengangkat dirinya sebagai “presiden” dan “guru besar”. Saat diperiksa jaksa, ia mengaku hanya lulusan sekolah rakyat. “Gelar” M.A. di ujung namanya kependekan dari Marto Atmodjo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan gelar palsu itu, Djokosutomo menipu 7.000 orang yang terdaftar sebagai mahasiswa di Universitas Madjapahit. Dari mereka, ia menangguk Rp 75 ribu per bulan—angka yang besar mengingat harga emas waktu itu hanya Rp 86 per gram. Namun, sesungguhnya, yang dirugikan bukan hanya mahasiswa, tapi juga dunia pendidikan. Profesor palsu akan melahirkan sarjana imitasi. Sebuah kepalsuan akan melahirkan kepalsuan kuadrat.
Hari ini, para profesor ecek-ecek masih bergentayangan. Mereka mendapatkan gelar tersebut tak lagi memakai cara Djokosutomo, melainkan lewat pintu belakang jalur akademik. Syarat menjadi profesor antara lain menulis karya akademik di jurnal ilmiah internasional bereputasi sebagai penulis pertama. Lewat jalur ilegal mereka mempublikasi tulisan di jurnal predator—jurnal yang menayangkan tulisan tanpa tinjauan sejawat. Berikutnya, mereka main mata dengan asesor di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang menilik pemenuhan syarat menjadi guru besar.
Kegilaan akan gelar guru besar ini tak lepas dari cara berpikir pemerintah yang sungsang. Sejak enam tahun lalu, pemerintah berambisi mencetak banyak guru besar agar jumlahnya mencapai 20 persen dari total dosen. Tujuannya adalah mendongkrak peringkat pendidikan kita yang terpuruk, antara lain karena jumlah profesor hanya sekitar 2 persen pada 2022. Kebijakan pendidikan kita yang mengukur segala hal secara kuantitatif tersebut akhirnya menciptakan “pasar”. Mereka yang kebelet menjadi guru besar bertemu dengan para pengasong gelar akademik.
Investigasi majalah ini menemukan sebelas dosen di Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, menjadi guru besar lewat jalan pintas. Bagi mereka, jabatan akademik bisa mendatangkan dua hal: pengakuan dan penghasilan. Dengan menjadi profesor, mereka mendapatkan pengakuan akademik sekaligus memperoleh tambahan periuk nasi dari gaji di kampus atau jabatan lain di pemerintahan.
Motivasi pejabat seperti Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Sufmi Dasco Ahmad yang telah berstatus profesor di Universitas Pakuan, Bogor, Jawa Barat, jelas bukan ekonomi. Bagi Dasco dan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Bambang Soesatyo yang sedang mengajukan permohonan gelar guru besar di Universitas Borobudur, Jakarta, titel profesor agaknya dikehendaki untuk mendapatkan pengakuan sebagai intelektual.
Bagi pemburu status guru besar semacam itu, gelar mungkin bisa meninggikan harkat di hadapan orang lain. Psikologi ini sejalan dengan pandangan koplak sebagian masyarakat yang menganggap profesor sebagai manusia setengah dewa yang harus disembah. Kata “prof” menjadi penghias yang berharga untuk disematkan di kartu nama. Makin panjang titel di depan dan belakang nama, mereka merasa makin intelek—meski kenyataannya mungkin tak lebih dari “telek” belaka.
Apa pun motivasinya, ketidakjujuran akademik telah merusak dunia pendidikan dan membuat nama baik Indonesia terpuruk. Vit Machacek dan Martin Srholec, peneliti dari Republik Cek, mencatat Indonesia berada di peringkat kedua dalam hal ketidakjujuran akademik setelah Kazakstan. Temuan itu didasari penelitian terhadap berbagai jurnal predator sepanjang 2015-2017. Tahun lalu, Nahuel Monteblanco, presiden asosiasi ilmuwan Peru yang juga meneliti ketidakjujuran akademik, menyebut peneliti Indonesia sebagai “kolaborator yang patut dicurigai”.
Baca liputannya:
Dari zaman Djokosutomo hingga kiwari, profesor abal-abal tak raib dan menjadi aib dunia akademik kita. Untuk memberantasnya, selain memperbaiki sistem, pertama-tama, stop memanggil guru besar dengan “prof”. Bahkan kepada mereka yang guru besar betulan, kecuali untuk kepentingan akademik, misalnya dalam upacara pengukuhan atau sidang promosi, panggilan “Pak” dan “Bu” jauh lebih egaliter dan tetap menunjukkan hormat.
Adapun kepada para guru besar abal-abal, panggilan “prof” sebaiknya diganti dengan “pret”—dari makian “kampret”.
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Gila Gelar Profesor Imitasi"