Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Krisis ekonomi 1930-an

Dalam abad ke-19 pulau jawa merupakan penghasil gula yang penting. setelah krisis ekonomi menjelang th 1929 & karena persaingan dengan penghasil gula negara lain, arti gula sebagai bahan ekspor p. jawa merosot.

29 Januari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAMPIR sepanjang tiga dasawarsa pertama abad ke-20 ekonomi dunia tumbuh pesat. Optimisme sangat besar juga di Indonesia (Hindia Belanda pada masa itu). Tetapi ternyata krisis datang dengan tiba-tiba menjelang akhir 1929, dan akan berlangsung selama bertahun-tahun. Biarpun sejak 1937 ada perbaikan namun sebenarnya baru Perang Dunia II yang mengakhiri zaman depresi. Sejak mula, perkebunan Indonesia, sebagai penghasil ekspor, sangat sensitif terhadap naik turunnya pasaran dunia. Dalam abad ke-19 hasil ekspor yang terbesar adalah gula dan kopi, khususnya dari Jawa. Gula, kata orang, adalah laut tempat Pulau Jawa mengapung. Dialah soko guru kemakmuran ekonominya. Tetapi dalam abad ke-20, dengan saingan dari Brazil, yang menanam kopi, dan Filipina dan Kuba yang mengembangkan perkebunan gula, serta dimajukannya pembuatan gula biet di Eropa, arti gula sebagai bahan ekspor merosot. Ekspor gula ini kemudian jatuh sama sekali dan hilang artinya sebagai hasil ekspor Indonesia, khususnya Jawa. Pun setelah depresi berakhir, gula ini tidak dapat mengembalikan kedudukannya lagi seperti sebelum 1929. Dengan singkat akibat krisis ekonomi di dunia, habis juga peran gula sebagai bahan ekspor dari Indonesia -- sampai kini. Depresi panjang akhirnya mengubah ekspor perkebunan Indonesia yang berasal dari abad ke-19. Dengan sendirinya struktur ekonomi ikut berubah. Pulau Jawa, sebagai penghasil bahan ekspor seperti gula, kopi dan teh, tidak berarti lagi dalam perdagangan dunia. Gula dan kopi, yang sebelum 1929 merupakan 50% dari ekspol Indonesia, pada tahun 1940 hanya merupakan 7%-nya. Penghasil ekspor kemudian adalah daerah di luar Jawa, dengan segala akibat bagi penghasilan penduduk masing-masing daerah. Dalam abad ke-20 ada suatu hasil ekspor baru yang berkembang di Indonesia, yakni karet dan minyak. Dengan majunya industri mobil, kedua bahan ini jadi sangat penting. Permintaan akan karet dan minyak demikian meloncat, sehingga selain perkebunan dengan investasi besar, berkembang pula karet rakyat di luar Jawa. Tapi harga karet jatuh. Dari f. 54 dalam tahun 1929 untuk satu sheet menjadi 30 1/2 sen di tahun berikutnya. Dalam tahun 1931 ia malah jadi 15 sen, bahkan sampai pada 8 1/2 sen dalam tahun 1932. Baru dalam tahun 1933 ia naik lagi menjadi 11 sen, dan naik lagi karena persiapan Perang Dunia II. Reaksi pertama dari karet rakyat ketika harga-harga jatuh adalah memperbesar produksi. Mereka ingin mendapatkan jumlah uang yang sama seperti sebelum krisis. Tapi hal ini lebih menjatuhkan harga karet lagi. Akhirnya pemerintah campur tangan. Baik mengenai gula maupun karet diadakan perjanjian internasional dengan negara lain Hasilnya setiap negara mendapat kuota tertentu dari pasaran gula atau karet. Setiap perkebunan mendapat bagian dari kuota ini. Bagaimana sekarang dengan karet rakyat? Pada permulaan pemerintah Hindia Belanda merasa terlalu sukar untuk memberikan kuota pada setiap pengusaha karet rakyat. Maka semacam pajak penjualan atas karet rakyat dikenakan, dengan tujuan akan membatasi produksi. Pajak itu, juga dimaksudkan sebagai penambah penghasilan negara. Tapi dari permulaan, pajak atas karet rakyat ini menghadapi kesukaran yang luar biasa. Maka beberapa waktu sesudahnya setiap pengusaha karet rakyat diberi kuota penghasilan karet, kecuali di Bengkalis. Di daerah ini, karena luasnya daerah pohon karet rakyat tetap dikenakan pajak penjualan. Akhirnya di daerah itu pajak tidak bisa dibayar, sedangkan penghasilan dari karet rakyat sama sekali terhenti. Berarti tidak ada daya beli pada rakyat. Ini menimbulkan penyerbuan dan perampokan terhadap gudang beras dan toko-toko di daerah Bengkalis. Peristiwa itu hanya satu ilustrasi. Dengan penciutan tanah perkebunan, dan ditutupnya pabrik gula, karet, dll. maka sebagian besar penghasilan uang tunai penduduk hilang. Di lain pihak kewajiban mereka masih tetap tinggi. Pajak belum disesuaikan dengan kondisi depresi ekonomi. Karena banyak petani tidak dapat membayar pajak tanah, maka tanah mereka diserahkan kembali pada lurah dan negara. Beberapa tuan tanah kecil mungkin justru timbul pada masa itu. Di beberapa tempat lain, seperti di Sumatera, pajak uang pada para sultan terpaksa direndahkan. Kurangnya daya beli masyarakat tentu berakibat pada industri rakyat atau pertukangan rakyat. Satu demi satu perusahaan bangkrut. Industri batik umpamanya direduksi menjadi 1/3 dari sebelum 1929. Pemerintah Hindia Belanda memang memberikan berbagai subsidi, baik pada perusahaan Barat maupun pribumi, dan semacam industrialisasi mulai berkembang. Tapi industrialisasi ini sayangnya lebih menekankan pada modal, sehingga tidak memberikan demikian banyak pekerjaan pada penduduk. Terhadap penduduk sendiri pemerintah kadang sampai harus campur tangan untuk menghindari timbulnya kelaparan, yang timbul bukan karena kekurangan beras tetapi karena lemahnya daya beli. Di Indramayu (Cirebon) misalnya, pemerintah terpaksa mendistribusikan beras. Pembelian beras yang dibeli oleh pemerintah untuk memberikan penghasilan pada penduduk. Keuangan negara dalam zaman depresi akhirnya yang paling sulit. Jatuhnya ekspor mengakibatkan diturunkannya impor, sedangkan sebagian besar penghasilan negara adalah dari dua sumber ini. Selain itu pajak sukar masuk karena kurangnya penghasilan. Dengan singkat defisit pada anggaran pemerintah Hindia Belanda selama zaman depresi menaik dan pemerintah hanya berpolitik untuk sebanyak mungkin memperoleh anggaran yang seimbang. Balans ini menyebabkan dipotongnya pengeluaran untuk kesejahteraan masyarakat. Bahkan anggaran kesehatan rakyat dipotong sampai hanya tinggal 1/6 dari sebelum krisis ekonomi. Padahal sejak 1900 pemerintah Hindia Belanda melancarkan apa yang disebut politik etis: melalui irigasi, edukasi dan transmigrasi ia ingin menaikkan taraf hidup rakyat semua dan membawanya ke abad modern. Dalam krisis ekonomi, program ini harus ditiadakan atau diperkecil sampai tidak berarti lagi. Pada akhirnya negara kolonial jadi kelihatan tak berguna. Ia tidak dapat membawa masyarakat ke abad modern dan harus mengingkari janji-janji politik etisnya. Bagaimana akibatnya, belum ada penelitian yang mendalam. Namun sangat menarik di masa ini muncul sarjana ekonomi Belanda, H.J. Boeke, yang mengatakan bahwa kebudayaan Timur tidak memungkinkan orang bisa mengatasi kemiskinan dunia Timur. Jadi bukan salah Barat kalau Timur itu miskin, sebab struktur kebudayaannya adalah demikian rupa. Secara kasar demikianlah teori Boeke: seolah-olah suatu pemberian dalih, ketika Belanda seperti mau cuci tangan dari tanggung jawab kolonialnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus