HAMPIR sepanjang tiga dasawarsa pertama abad ke-20 ekonomi dunia
tumbuh pesat. Optimisme sangat besar juga di Indonesia (Hindia
Belanda pada masa itu). Tetapi ternyata krisis datang dengan
tiba-tiba menjelang akhir 1929, dan akan berlangsung selama
bertahun-tahun. Biarpun sejak 1937 ada perbaikan namun
sebenarnya baru Perang Dunia II yang mengakhiri zaman depresi.
Sejak mula, perkebunan Indonesia, sebagai penghasil ekspor,
sangat sensitif terhadap naik turunnya pasaran dunia. Dalam abad
ke-19 hasil ekspor yang terbesar adalah gula dan kopi, khususnya
dari Jawa. Gula, kata orang, adalah laut tempat Pulau Jawa
mengapung. Dialah soko guru kemakmuran ekonominya.
Tetapi dalam abad ke-20, dengan saingan dari Brazil, yang
menanam kopi, dan Filipina dan Kuba yang mengembangkan
perkebunan gula, serta dimajukannya pembuatan gula biet di
Eropa, arti gula sebagai bahan ekspor merosot. Ekspor gula ini
kemudian jatuh sama sekali dan hilang artinya sebagai hasil
ekspor Indonesia, khususnya Jawa.
Pun setelah depresi berakhir, gula ini tidak dapat mengembalikan
kedudukannya lagi seperti sebelum 1929. Dengan singkat akibat
krisis ekonomi di dunia, habis juga peran gula sebagai bahan
ekspor dari Indonesia -- sampai kini.
Depresi panjang akhirnya mengubah ekspor perkebunan Indonesia
yang berasal dari abad ke-19. Dengan sendirinya struktur ekonomi
ikut berubah. Pulau Jawa, sebagai penghasil bahan ekspor seperti
gula, kopi dan teh, tidak berarti lagi dalam perdagangan dunia.
Gula dan kopi, yang sebelum 1929 merupakan 50% dari ekspol
Indonesia, pada tahun 1940 hanya merupakan 7%-nya.
Penghasil ekspor kemudian adalah daerah di luar Jawa, dengan
segala akibat bagi penghasilan penduduk masing-masing daerah.
Dalam abad ke-20 ada suatu hasil ekspor baru yang berkembang di
Indonesia, yakni karet dan minyak. Dengan majunya industri
mobil, kedua bahan ini jadi sangat penting. Permintaan akan
karet dan minyak demikian meloncat, sehingga selain perkebunan
dengan investasi besar, berkembang pula karet rakyat di luar
Jawa.
Tapi harga karet jatuh. Dari f. 54 dalam tahun 1929 untuk satu
sheet menjadi 30 1/2 sen di tahun berikutnya. Dalam tahun 1931
ia malah jadi 15 sen, bahkan sampai pada 8 1/2 sen dalam tahun
1932. Baru dalam tahun 1933 ia naik lagi menjadi 11 sen, dan
naik lagi karena persiapan Perang Dunia II.
Reaksi pertama dari karet rakyat ketika harga-harga jatuh adalah
memperbesar produksi. Mereka ingin mendapatkan jumlah uang yang
sama seperti sebelum krisis.
Tapi hal ini lebih menjatuhkan harga karet lagi. Akhirnya
pemerintah campur tangan. Baik mengenai gula maupun karet
diadakan perjanjian internasional dengan negara lain Hasilnya
setiap negara mendapat kuota tertentu dari pasaran gula atau
karet. Setiap perkebunan mendapat bagian dari kuota ini.
Bagaimana sekarang dengan karet rakyat? Pada permulaan
pemerintah Hindia Belanda merasa terlalu sukar untuk memberikan
kuota pada setiap pengusaha karet rakyat. Maka semacam pajak
penjualan atas karet rakyat dikenakan, dengan tujuan akan
membatasi produksi. Pajak itu, juga dimaksudkan sebagai penambah
penghasilan negara.
Tapi dari permulaan, pajak atas karet rakyat ini menghadapi
kesukaran yang luar biasa. Maka beberapa waktu sesudahnya setiap
pengusaha karet rakyat diberi kuota penghasilan karet, kecuali
di Bengkalis.
Di daerah ini, karena luasnya daerah pohon karet rakyat tetap
dikenakan pajak penjualan. Akhirnya di daerah itu pajak tidak
bisa dibayar, sedangkan penghasilan dari karet rakyat sama
sekali terhenti. Berarti tidak ada daya beli pada rakyat. Ini
menimbulkan penyerbuan dan perampokan terhadap gudang beras dan
toko-toko di daerah Bengkalis.
Peristiwa itu hanya satu ilustrasi. Dengan penciutan tanah
perkebunan, dan ditutupnya pabrik gula, karet, dll. maka
sebagian besar penghasilan uang tunai penduduk hilang. Di lain
pihak kewajiban mereka masih tetap tinggi. Pajak belum
disesuaikan dengan kondisi depresi ekonomi.
Karena banyak petani tidak dapat membayar pajak tanah, maka
tanah mereka diserahkan kembali pada lurah dan negara. Beberapa
tuan tanah kecil mungkin justru timbul pada masa itu. Di
beberapa tempat lain, seperti di Sumatera, pajak uang pada para
sultan terpaksa direndahkan.
Kurangnya daya beli masyarakat tentu berakibat pada industri
rakyat atau pertukangan rakyat. Satu demi satu perusahaan
bangkrut. Industri batik umpamanya direduksi menjadi 1/3 dari
sebelum 1929. Pemerintah Hindia Belanda memang memberikan
berbagai subsidi, baik pada perusahaan Barat maupun pribumi, dan
semacam industrialisasi mulai berkembang. Tapi industrialisasi
ini sayangnya lebih menekankan pada modal, sehingga tidak
memberikan demikian banyak pekerjaan pada penduduk.
Terhadap penduduk sendiri pemerintah kadang sampai harus campur
tangan untuk menghindari timbulnya kelaparan, yang timbul bukan
karena kekurangan beras tetapi karena lemahnya daya beli. Di
Indramayu (Cirebon) misalnya, pemerintah terpaksa
mendistribusikan beras. Pembelian beras yang dibeli oleh
pemerintah untuk memberikan penghasilan pada penduduk.
Keuangan negara dalam zaman depresi akhirnya yang paling sulit.
Jatuhnya ekspor mengakibatkan diturunkannya impor, sedangkan
sebagian besar penghasilan negara adalah dari dua sumber ini.
Selain itu pajak sukar masuk karena kurangnya penghasilan.
Dengan singkat defisit pada anggaran pemerintah Hindia Belanda
selama zaman depresi menaik dan pemerintah hanya berpolitik
untuk sebanyak mungkin memperoleh anggaran yang seimbang.
Balans ini menyebabkan dipotongnya pengeluaran untuk
kesejahteraan masyarakat. Bahkan anggaran kesehatan rakyat
dipotong sampai hanya tinggal 1/6 dari sebelum krisis ekonomi.
Padahal sejak 1900 pemerintah Hindia Belanda melancarkan apa
yang disebut politik etis: melalui irigasi, edukasi dan
transmigrasi ia ingin menaikkan taraf hidup rakyat semua dan
membawanya ke abad modern. Dalam krisis ekonomi, program ini
harus ditiadakan atau diperkecil sampai tidak berarti lagi. Pada
akhirnya negara kolonial jadi kelihatan tak berguna. Ia tidak
dapat membawa masyarakat ke abad modern dan harus mengingkari
janji-janji politik etisnya.
Bagaimana akibatnya, belum ada penelitian yang mendalam. Namun
sangat menarik di masa ini muncul sarjana ekonomi Belanda, H.J.
Boeke, yang mengatakan bahwa kebudayaan Timur tidak memungkinkan
orang bisa mengatasi kemiskinan dunia Timur. Jadi bukan salah
Barat kalau Timur itu miskin, sebab struktur kebudayaannya
adalah demikian rupa.
Secara kasar demikianlah teori Boeke: seolah-olah suatu
pemberian dalih, ketika Belanda seperti mau cuci tangan dari
tanggung jawab kolonialnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini