TELEPON 510-110 di lantai II gedung memanjang di belakang Kodak
Metro Jaya berdering. Seorang petugas di ruang itu
mengangkatnya, mengambil kertas, mencatat pembicaraan. Begitu
meletakkan telepon, petugas itu lantas meloncat, melapor kepada
komandan. Gawat!
Di Slipi, lapornya, ada perampokan. Perampok menggunakan mobil
Honda Civic merah nomor polisi sekian, sekian, sekian. Mayor
(Pol) Jantje Ernesto, yang kala itu bertugas sebagai komandan,
langsung mengangkat handy talkie (HT) yang rupanya tak pernah
terlepas dari tangannya. Ia menghubungi semua petugas di
lapangan, dan memerintahkan -- terutama kepada petugas yang
sedang berada di daerah kejadian secepatnya menangkap mobil
dimaksud. Ia pun menghubungi Kores (Komando Resort Kepolisian)
tempat kejadian agar bertindak.
Laporan kemudian menyatakan dalam waktu beberapa menit mobil
merah itu sudah tertangkap. Cuma kemudian tak ada bukti-bukti
kejahatan, sementara pelapor dan korban pun tidak ditemukan.
Ternyata laporan perampokan itu palsu. Mobil dan penumpangnya
lantas dilepas.
Hal seperti itu memang sudah risiko, dan sudah dipahami pihak
Pusat Pengendalian dan Koordinator Operasional (PPKO) Kodak
Metro Jaya sejak nomor telepon 510-110, dibuka Maret 1982. Nomor
telepon yang mempunyai lima saluran itu khusus menerima laporan
dari masyarakat yang membutuhkan bantuan polisi secepatnya.
Termasuk pula kebakaran -- PPKO-lah yang kemudian menghubungi
pemadam kebakaran. Dengan demikian memang terbuka kemungkinan
ada yang iseng-iseng memutar nomor itu. Hingga sekarang, menurut
Jantje Ernesto, laporan iseng itu masih sering ada.
Makin sering terjadi kasus kejahatan di Jakarta agaknya adalah
pendorong nomor khusus itu dibuka. Laporan dan kemudian perintah
penangkapan rupanya memang bisa lebih cepat diberikan dengan
perlengkapan dan fasilitas yang kini ada di markas PPKO itu. Di
sini ada bagian yang khusus melayani komunikasi dengan
mobil-mobil patroli. Di ruang ini tampak alat-alat elektronik,
kabel-kabel, radio CB, suasana bising. Beberapa petugas yang
sedang berhuhungan dengan mobil patroli menggunakan bahasa
sandi.
Di ruang kedua boleh dikata sepi hanya ada telepon untuk
berhubungan dengan luar. Di bagian ketiga, nah ini dia, di
sinilah tempat telepon 510-110 yang hanya bisa menerima. Ruang
ini dilengkapi sejumlah HT yang langsung berhubungan dengan
sembilan Kores yang berada di bawah komando Kodak Metro Jaya.
Ada pula sebuah peta DKI ukuran besar. Dan sebuah alat alarem
yang bentuknya mirip radio, terletak di salah satu meja. Alat
alarem ini seperti tak penting. Tapi lampu di bagian atas yang
bila menyala menunjukkan sederet angka, adalah kode-kode nomor
bank. Bila angka yang menyala diawali angka empat, aman. Itu
berarti yang keluar-masuk bagian penting bank itu orang sendiri.
Tapi bila angka yang menyala diawali angka 6, bahaya. Bila itu
terjadi (hingga kini konon belum pernah muncul angka 6 itu) dari
markas ini langsung, petugas lapangan dikomandokan mengepung
itu bank, dan seterusnya.
PPKO memang mempunyai wewenang memerintahkan semua petugas yang
dibawahkan Kodak Metro Jaya. Ini dimungkinkan karena Komandan
PPKO, yang kini dipegang Letkol (Pol) Karmana, langsung
bertanggung jawab kepada Kadapol. Inilah gagasan yang tercetus
sewaktu Letjen (Pol) Anton Sudjarwo masih menjadi Kadapol Kodak
Metro Jaya. Dan ternyata PPKO yang mulai beroperasi pada 1978,
memang dinilai bermanfaat. Maka sejak Maret tahun lalu lantas
dilengkapi dengan telepon 510-110 itu.
Bahkan direncanakan, menjelang Sidang Umum MPR, PPKO akan
dilengkapi dengan pesawat televisi. Dari "Pos Utama" -- demikian
103 anggota PPKO biasanya menyebut markasnya -- nanti bisa
dimonitor secara langsung situasi sekitar mobil patroli berada.
Di tahun 1983 ini, hingga awal pekan ini tercatat 126 orang
melapor lewat nomor tersebut. Tapi lebih dari separuhnya adalah
berupa permintaan pertolongan. Misalnya sebuah bank yang hendak
mengirimkan atau mengambil uang yang cukup besar, akan
memberitahu 510-110 rute yang akan dilaluinya dan minta
pengamanan. Kemudian tercatat 35 laporan kasus kenakalan remaja
(umumnya perkelahian), dan 28 laporan pencurian. Perampokan:
nol. Karena kasus-kasus yang tercatat dibereskan PPKO hingga
saat ini, belum ada yang kolosal. Tapi tak berarti tanpa
manfaat.
Ny. Supraba (bukan nama sebenarnya) sekitar dua bulan yang lalu
memanfaatkan nomor ini. Ceritanya, waktu itu sekitar pukul 01.30
tengah malam telepon rumahnya berdering. Ternyata dari tetangga,
yang minta tolong diteleponkan polisi. Ia telah mencobanya kok
tidak sambung-sambung, mungkin telepon rumahnya kena gangguan.
Sebab, kata tetangga itu dengan suara gemetar, di pintu depan
rumahnya seseorang yang tinggi besar tengah mengutak-atik lubang
kunci. Ny. Supraba kemudian mengintip ke rumah tetangga di depan
rumahnya itu. "Wah, betul saja," katanya kepada TEMPO "di depan
pintu ada orang yang tinggi dan kelihatannya kekar."
Ny. Supraba lantas memutar 510-110. Telepon disambut, dan polisi
berjanji segera datang. Tak lama kemudian terdengar bunyi sepeda
motor dikendarai seseorang berpakaian preman. Ia berhenti di
dekat rumah dimaksud. Tak lama kemudian datang lagi beberapa
orang, di antaranya berpakaian polisi. "Kayak di dalam film
saja," tutur Ny. Supraba. Ia terus mengintip. Ada polisi yang
lantas memanjat tembok. Akhirnya memang pencuri tertangkap
basah.
Di kota-kota lain sistem serupa juga diterapkan. Di Palembang,
misalnya, Komtabes membuka nomor 110. Sayang, nomor yang hanya
tiga angka ini rupanya sering rusak di wilayah kota yang
menggunakan nomor dengan lima angka itu. Maka dibuka lagi nomor
22350 dan 21529. Selain itu, meningkatnya frekuensi kejahatan di
Palembang tahun lalu, membuat Dantabes Letkol (Pol) Herman S.
merelakan nomor telepon rumahnya untuk keperluan ini. Juga nomor
telepon rumah Wadantabesnya. Belum tercatat hasil yang di capai
setelah ada nomor-nomor baru itu, setelah 110 sering macet.
Di Surabaya, PPKO di Kowiltabes 101 Surabaya membuka pula nomor
telepon urusan mendadak dan gawat: 110, diresmikan April 1982.
Hingga sekarang, rata-rata 10 kali telepon itu berdering setiap
hari. Di sini saluran 110 ada enam.
Lain di Jakarta dan Surabaya, lain pula di Medan. Di kota besar
yang sering ditimpa kejahatan berbagai macam ini, telepon 110
yang dibuka di Komtabes Medan, ternyata tidak jalan. Tidak jelas
mengapa. Menurut Kantor Telepon Medan, belum pernah ada yang
menanyakan nomor pengaduan polisi, maupun yang menyebut-nyebut
nomor 110. Mungkin karena itu, lantas dibentuk Tim Operasi
Pelayanan Masyarakat, Maret 1982. Dibentuk dengan 12 anggota,
kini tim ini mempunyai 24 anggota. Ini merupakan seleksi ketat
dari 80 anggota kepolisian di Komtabes Medan. Syarat menjadi
anggota tim memang berat. "Harus mampu melaksanakan semua fungsi
kepolisian," kata Dantabes Medan, Kol. (Pol) Soehardi. Selain
itu, mereka diharuskan pula mellgenal liku-liku Medan. Dengan
kostum kaca mata hitam, helm dengan kendaraan sepeda motor yang
dilengkapi dengan sirene dan tanda alarem, anggota tim memang
mirip polisi dalam film seri TVRI CHip's. Dan di Medan tim ini
memang dikenal dengan nama CHip's.
CHip's Medan beroperasi dua-dua. Setiap hari CHip's harus
berpatroli ke 127 pos secara estafet. Langkah preventif ini
ternyata memang lumayan. Tiga hari setelah dibentuk Serma (Pol)
Leo berhasil menembak alap-alap sepeda motor yang dikejarnya
dengan sepeda motor pula. Menurut Kol. Soehardi, pencetus ide
CHip's itu, pada 1982 di Medan rata-rata 800 kasus kejahatan
terjadi setiap bulan, sekitar 40%-nya merupakan kasus
meresahkan. CHip's ternyata mampu menanggulangi sekitar 5%
kasus itu. "Paling tidak sekali seminggu, CHip's membawa
tangkapannya," kata kolonel itu.
Betapa pun pihak kepolisian memang tidak main-main. Masalahnya,
mungkin, polisi pastilah tak bisa bekerja sendiri. Pelaku
kejahatan setelah ditangkap, ditahan, kemudian bebas lagi.
Lantas sesudah itu? Mereka toh harus hidup. Bila tak ada
pekerjaan halal yang bisa dikerjakannya, apa boleh buat,
ketrampilan lama akan digunakan kembali. Dan 110 di Palembang,
Surabaya, Ujungpandang, lalu 510-110 di Jakarta akan sering
berdering pula.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini