SETIAP hari, tak kurang dari 300 orang berkumpul di sebuah
gedung berlantai dua di Jalan Ir. H. Juanda, Jakarta Pusat.
Mereka, para juru kliring (clearing), dari seluruh bank di
Ibukota yang berjumlah 134 buah. Pada pukul 12.00, yakni puncak
kegiatan mereka, di ruang Lembaga Pembayaran Giral (dulu:
Lembaga Kliring) dari gedung milik Bank Indonesia itu, bising
oleh suara sejumlah mesin hitung. Sesekali terdengar pula
gelak-tawa orang bercanda.
Bank Indonesia, juga cabang-cabangnya di beberapa kota,
merupakan tempat kliring, yaitu tempat memperjelas dan
mencocokkan cek (cheque) atau giro -- yang tidak bisa diuangkan
secara tunai. Cek-cek tersebut harus diklirkan terlebih dulu.
Paling lambat setiap pukul 11.00 seorang juru kliring sudah
harus hadir di BI membawa sejumlah cek yang diterimanya untuk
disampaikan kembali ke bank asalnya -- lewat juru kliring bank
yang bersangkutan.
Dalam acara kliring tersebut, bila seorang juru kliring Bank
Bumi Daya, misalnya, mengembalikan selembar cek bernilai Rp 5
juta (dari suatu bank swasta, misalnya) kepada juru kliring Bank
Perdania, -- lewat BI -- berarti BBD menarik piutang sebesar Rp
5 juta dari bank swasta tadi. Sebaliknya bila pihak BBD menerima
cek dari bank lain, maka BBD menerima tagihan utang dari bank
lain -- lewat BI sebesar nilai uang yang tercantum pada cek
tersebut.
Acara kliring yang juga bisa disebut tagih-menagih tersebut
tidak berupa uang, melainkan dalam bentuk neraca di bawah
pengawasan seorang atau beberapa petugas BI. Dari neraca itu
akan tampak jumlah rekening suatu bank di BI, berkurang atau
bertambah. Kalau jumlah yang ditagih dari bank lain lebih besar
dari jumlah yang ia tagih sendiri maka rekening bank tersebut di
BI pun berkurang. Begitu pula sebaliknya.
Sekitar pukul 13.30 para juru kliring kembali ke kantor
masing-masing membawa cek-cek yang diterimanya kembali untuk
diteliti. Bila dana dari orang yang mengeluarkan cek ternyata
kurang, "cek kosong" itu ditolak. Begitu pula bila tanda tangan
yang tersurat pada cek tidak sama dengan tanda tangan orang yang
mengeluarkan cek. Cek yang memenuhi syarat diterima, tapi cek
yang ditolak dikembalikan pada acara kliring tahap kedua,
sekitar pukul 17.00 hari itu.
Acara kliring yang tampaknya sederhana itu ternyata melelahkan.
Karena para juru kliring harus dua kali bolak-balik dari
kantornya ke BI, untuk meneliti cek yang jumlahnya puluhan
bahkan ratusan lembar itu. Apalagi menjumlah dall mengurangkan
angka-angka yang nilainya jutaan, tentu membutuhkan pemusatan
perhatian yang istimewa ditambah kesabaran. Selain itu juga
perlu kecepatan berpikir, sebab rekapitulasi pada kliring tahap
pertama hanya selama 1 1/2 jam.
Karena waktu yang tersedia amat sempit, maka para juru kliring
harus hadir di BI tepat pada waktunya. Acara kliring biasanya
dimulai bila semua juru kliring hadir lengkap. Bila juru kliring
dari Bank X misalnya terlambat datang, maka Bank Y tentu tidak
bisa mengembalikan cek-cek yang berasal dari Bank X tersebut.
"Kalau ada clearing man yang terlambat bisa disoraki," ujar Asep
Darmansyah, 28 tahun, koordinator juru kliring dari Bank Dagang
Negara Pulogadung, Jakarta.
Untunglah Asep tak perlu terlambat datang setiap kali menghadiri
acara kliring, sebab kantornya menyediakan sebuah mobil lengkap
dengan sopirnya. Hanya, tamatan Akademi Bank Nasional ini
mengeluh karena "setiap hari harus pulang sore atau malam,
sementara pekerjaan pagi dan siang hari harus dikerjakan
cepat-cepat." Tapi ia bangga, bahwa dengan tugas itu ia banyak
kenalan.
Keluhan Amin Darwin, 41 tahun, dari Bank Metro Ekspres Jakarta,
sama: selalu pulang malam, kurang tidur, makan tak teratur.
"Pokoknya hidup tidak teratur," katanya. Dengan gaji pas-pasan,
untuk menghidupi istri dan enam anaknya, seusai kantor ia
bekerja lembur sebagai petugas piket kliring di Lembaga
Pembayaran Giral. Dengan kerja tambahan itu, setiap jam ia
menerima Rp 300 --sehari rata-rata ia bisa menerima Rp 2.500.
"Di rumah saya tidak punya usaha sampingan," tambahnya.
Keluhan kedua juru kliring itu, juga bila harus bersembahyang
Jumat. Mereka tidak bisa melaksanakan kewajiban agama itu.
"Habis, waktunya persis sama dengan saat kliring," kata Asep.
Meski begitu mereka tetap berusaha menunaikan ibadat shalat
Dhuhur -- di salah sebuah ruangan di BI, secara bergantian.
"Memang ada risikonya, pekerjaan sedikit tercecer. Tapi apa
boleh buat, dua-duanya wajib," kata Amin.
Malawi Abdul Syukur, 24 tahun, juru kliring Bank Danamon
Jakarta, bila waktu siang tiba dan dengan sepeda motornya ia
harus berangkat ke Jalan Juanda, ia mesti pandai-pandai mencari
jalan agar datang tepat pada waktunya. Sebab jalan-jalan antara
kantornya yang berada di bilangan Kota, Jakarta Utara, dan Bl,
selalu macet. "Tapi bagaimana pun juga saya tidak boleh
terlambat," katanya. Tampaknya ia sudah mantap dengan
pekerjaannya. Masih bujangan, tiap bulan ia membawa pulang gaji
Rp 115.000.
Penghasilan Samedi Gunarsa, 36 tahun, juru kliring Bank Bumi
Arta Indonesia Bandung, juga sekitar Rp 100.000. Merasa
penghasilan itu tak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan
keluarganya, ayah dari seorang putri ini sempat ngobyek. "Saya
menjadi perantara bagi jasa perbaikan mesin tulis, perbaikan
arloji, order percetakan," katanya. Ia bahkan membuka warung
makanan-minuman kecil di ruang kliring BI Cabang Bandung.
Sepuluh tahun menjadi juru kliring Samedi yang ernah berkuliah
di FEUnpad samp tingkat dua, kadang-kadang jengkel bila ada
nasabah yang menyetor cek pada saat-saat terakhir. "Kalau
ditolak, dia marah-marah. Tapi demi menjaga hubungan, apalagi
kalau dia memang nasabah yang reputasinya baik, ya kami terima
juga," katanya.
Mengapa ada nasabah yang ngotot minta setorannya dikliring
secepatnya? "Nasabah itu biasanya melakukan cross clearing,"
kata Samedi. Dengan menyetor buru-buru, si nasabah bermaksud
agar jumlah uang dalam rekening banknya bertambah, setelah
sebelumnya ia memberikan cek kepada orang lain. Dengan
bertambahnya jumlah uang dalam rekeningnya tersebut, maka bila
cek yang telah ia keluarkan tersebut dikliringkan hari itu juga,
tidak menjadi cek kosong. "Cross clearing resminya dilarang,
tapi bila nasabahnya memang punya reputasi baik, biasanya
diterima juga," tambah Samedi.
Gaji juru kliring rata-rata memang sekitar Rp 100.000, seperti
yang juga diterima Koesnan Bakri, 42 tahun, yang katanya sudah
14 tahun menjadi juru kliring Bank Karman, Surabaya. " Tapi
terus terang, gaji sekian itu tidak mencukupi kebutuhan
keluarga," kata ayah dari enam anak itu. Itulah sebabnya ia
juga mencari penghasilan tambahan. Cuma ia enggan menyebut jenis
usaha sampingan tersebut.
Meski begitu Koesnan menyenangi pekerjaannya. Seperti pengakuan
para juru kliring yang lain, bolak-balik ke BI juga dianggap
sebagai semacam penyegaran. "Pekerjaan sebagai juru kliring kan
tidak terus-menerus menghadapi meja. Saya tidak bisa duduk
bekerja di belakang meja saja," kata Koesnan. Yang jelas, orang
ini tampaknya memang suka bekerja. Sampai-sampai di rumah pun ia
tak segan-segan membantu istrinya mencuci atau menyeterika
pakaian.
"Selain tidak punya pembantu rumah tangga, yang penting saya
ingin mendidik anak-anak agar bisa hidup sederhana. Kelak bila
hidup mereka tidak enak misalnya, mereka tidak kaget, " kata
Koesnan. Sekalipun hanya sempat mengenyam pendidikan sampai
kelas II SMA, ia bangga karena ada seorang anaknya yang sudah
duduk di perguruan tinggi. Barangkali karena suka bekerja itu
pula ia menerima medali penghargaan plus sebuah arloji dari
kantornya.
Untuk menjadi juru kliring agaknya tidak memerlukan pendidikan
khusus, kecuali barangkali berpendidikan SLTA sebagai syarat
minimal. Baik Hartono, 35 tahun, maupun Achmad Zamroni 36 tahun,
masing-masing dari Bank Niaga dan Bank Indonesia Cabang
Yogyakarta -- sama-sama tamatan SMA. "Saya kira setiap orang
bank tahu bagaimana pekerjaan juru kliring. Hanya sebelumnya
memang dibekali pengetahuan dasar tata buku, lalu lintas giral,
cek dan rekening giro," kata Hartono.
"Yang penting, seorang juru kliring harus berdisiplin,
bertanggung jawab, teliti. Dan yang tak kurang pentingnya ialah
datang ke BI tepat pada waktunya," ujar Zamroni yang sudah 14
tahun bertugas di bidang kliring. Soal ketepatan waktu itu
memang penting. Surya Darma, 28 tahun, juru kliring Bank Pacific
Cabang Medan pernah terpaksa menunggu satu jam lebih, gara-gara
juru kliring bank lain terlambat datang.
"Akibatnya saya terpaksa pulang malam," katanya kesal. Saking
kekinya, beberapa hari kemudian ia membalas dendam. Dengan
sengaja ia datang terlambat ke BI. "Rasain, bagaimana rasanya
menunggu," gumamnya ketika itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini