BERBAGAI cara dan operasi telah dicobakan untuk mengobati
bermacam kejahatan. Sekali ini obat lain dicobakan lagi. Namanya
"Operasi Clurit," mengambil nama senjata tajam yang akhir-akhir
ini banyak dipakai penjahat untuk mengancam korbannya.
Dimulai Jumat malam pekan lalu, seribu polisi dan tentara sibuk
melaksanakan operasi dengan nama sandi senjata khas penduduk
Madura itu. Hampir semua tempat rawan di Jakarta dijaga ketat.
Hasilnya malam itu juga hampir 100 orang residivis (bromocorah)
kena gulung. Tiga di antaranya tertangkap basah ketika
melakukan penodongan di Pulomas, Jakarta Timur. "Anggap hasil
ini sebagai penglaris dari operasi ini," ujar Mayjen TNI Try
Sutrisno, Pangdam Jaya yang bertindak sebagai Komandan Operasi
bersama Kadapol Metro Jaya, Brigjen Pol. Drs. R. Sudjoko.
Ucapan Try Sutrisno Jumat tengah malam atau Sabtu dini hari itu
terbukti. Sampai awal pekan ini, hampir semua pojok hitam di
Jakarta. siang-malam diobrak-abrik petugas. Anehnya, walau sudah
dikampanyekan sebelumnya, bahwa akan ada razia senjata tajam di
Ibukota, toh banyak orang masih tertangkap basah membawanya.
Setelah sehari semalam operasi dilancarkan, lebih dari 100
senjata tajam disita, khususnya clurit semacam sabit kecil.
Akan mempankah operasi kali ini? Mayjen Try Sutrisno belum
bersedia mengomentari. "Doakan saja supaya operasi ini
berhasil," ujarnya. Tapi yang jelas Pangkopkamtib Laksamana
Sudomo bertekad Pelaksanaan "operasi clurit" tidak main-main.
Razia untuk mencari senjata tajam akan dilakukan dari rumah ke
rumah. Untuk mencegah penjahat dari daerah lain atau Ibukota
lari ke daerah lainnya, operasi akan dilancarkan di semua
daerah. Dan yang lebih penting agaknya adalah rencana Sudom
untuk membina revidivis yang 6 ribu orang di antaranya bermukim
di Ibukota. "Jangan tanya bagaimana caranya, yang penting mau
aman atau tidak," kata Laksamana Sudomo. Ia menjanjikan waktu 1
bulan untuk menilai berhasil atau tidaknya operasi itu.
Berbagai operasi dan upaya sebenarnya sudah dilakukan oleh
aparat keamanan selama 5 tahun terakhir ini. Ketika perampokan
toko emas dan bank merajalela tahun 1979 lalu, Pangkopkamtib pun
turun tangan. Ketika itu pula diperkenalkan sistem alarem bagi
perusahaan-perusahaan dan bank-bank, termasuk toko emas yang
banyak diincar penjahat bermotor.
Berbagai operasi juga dilancarkan kepolisian dengan berbagai
nama sandi. Ada operasi "Linggis", "Pukat", "Rajawali", "Cerah"
dan "Parkit Mas". Selain itu Pangkopkamtib rajin pula melakukan
berbagai operasi lain antaranya operasi "Sapu Jagat" dan operasi
"Teratai".
Setelah operasi "Sapu Jagat" dilakukan tahun 1981 berhasil
menyita ratusan senjata api. Tapi tidak lama kemudian kejahatan
dengan senjata api justru merajalela kembali. Menurut catatan
polisi di tahun 1982 rata-rata setiap bulan, di Jakarta saja 7
pucuk senjata api diketahui digunakan untuk penodongan. Sebagian
besar, dari pengusutan polisi, senjata itu milik oknum ABRI.
Siskamling (Sistem Keamanan Lingkungan) ternyata memasyarakat
dan cukup membawa hasil. Malahan di beberapa kampung dan desa
penduduk mengerahkan berbagai kemampuan untuk mencegah masuknya
para penjahat. Malahan di RT 011/08 Tanjung Duren, Jakarta
Barat, para warga sepakat memakai alarm system. Sebanyak 47 KK
di RT itu melengkapi rumahnya dengan tanda bahaya itu yang
berpusat di rumah Ketua RT,Andu Rachman -- sekaligus sebagai
Posko.
Di Posko itu ada peta wilayah yang menggambarkan situasi rumah
penduduk. Pada setiap rumah di peta itu ada lampu. Jika satu
rumah menekan tombol, maka lampu merah di peta yang ada di Posko
akan menyala dan mengeluarkan isyarat . . . tut . . . tut.
Petugas ronda dan hansip yang bermarkas di Posko segera akan
menelepon rumah yang memberi isyarat. Jika tidak dijawab,
berarti ada apa-apa. Sirene yang dapat terdengar oleh seluruh
warga pun dibunyikan.
Sejak ada tanda alarem di situ, seperti dituturkan Andu Rachman
kepada Pangkopkamtib Sudomo, ketika berkunjung ke sana, tidak
pernah terjadi kejahatan. Untuk memiliki tanda bahaya itu
penduduk secara patungan mengeluarkan uang masing-masing Rp 20
ribu.
Cukup ampuh memang. Tapi itu tak berarti para penjahat enggan
mendekat. Karena ternyata para penjahat tak kehabisan akal:
mereka pun mengadakan perkongsian dengan cara beroperasi secara
berkelompok.
Tudingan yang klasik dialamatkan kepada residivis, sebagai
penyebab utama kejahatan. Tapi untuk itu sudah beberapa kali
pula aparat polisi melakukan penanganan. Ketika Letjen Pol.
Anton Sudjarwo menduduki kursi sebagai Kadapol Metro Jaya,
mengurusi residivis adalah agenda pertamanya. Berkat gebrakan
Anton, Juli 1978, berpuluh-puluh bandit Jakarta diangkut dengan
kereta api ke Cilacap. Tak peduli teri atau kakap, semua yang
bercap residivis dibuang ke Nusakambangan.
Tapi setelah bandit-bandit itu mendekam di pulau buangan itu,
kejahatan tidak turun. Juga di wilayah Sumatera Utara yang
ikut-ikutan mengirimkan "delegasi" ke Nusakambangan.
Ternyata cara membuang residivis itu tidak membuat penjahat
jera. "Ternyata mereka belum jera, karena itu cara mengirimkan
penjahat ke Nusakambangan tidak akan diteruskan," ujar Kadispen
Mabak, Kol. Pol. Sakir Subardi.
Kadapol X Ja-Tim, Mayjen Pamudji (sekarang deputi Kapolri)
memberikan resep yang lebih keras ketika kejalatan melonjak di
wilayah Jawa Timur. Ia segera menjawab kejahatan itu dengan
operasi khusus dengan nama "Parkit Merah" dan "Tameng".
Hasilnya memang tidak main-main. Lebih dari 100 orang residivis
terpaksa ditembak -- di antaranya 4 orang mati seketika dan 35
orang lainnya meninggal di rumah sakit. Sisanya hanya terluka.
Tapi akibat tindakan keras itu, hampir 600 orang bromocorah
menyerahkan diri lengkap dengan hasil kejahatannya.
Operasi yang lebih lunak terhadap para residivis bukan tak ada:
Depsos mencoba mendatangi para residivis untuk dibina agar mudah
kembali ke masyarakat. Kepala Seksi Rehabilitasi Tuna Susila
Dinas Sosial Jakarta Timur, Muh. Kasbullah, tahun ini mengaku
membina 11 orang bekas narapidana. Mereka, katanya, tiga bulan
dididik ketrampilan dan bimbingan rohani. Setelah itu disalurkan
bekerja. Cukupkah waktu sesingkat itu mengubah bekas napi
menjadi baik? "Tentu saja tidak, sebetulnya perlu waktu lebih
lama dan pembinaan yang kontinyu," ujar Kasbullah.
Pembinaan yang lebih massal antara lain dilakukan organisasi eks
residivis sendiri, seperti "Prems" (Preman Sadar). Mengaku
mempunyai 600 ribu orang anggota, Ketua Penertiban "Prems" Leo
Bardo, melihat lebih tepat menyalurkan tenaga daripada melatih
ketrampilan saja. Banyak anggota "Prems" bisa disalurkan menjadi
keamanan perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik. Tapi toh ada
juga, kata Leo, anggota yang tidak berdisiplin, artinya berbuat
jahat lagi. "Mereka kami tangkap dan kami periksa, kalau jelas
salah kami serahkan kepada yang berwajib," ujar Leo lagi.
Leo yang mengaku sudah berkali-kali masuk penjara itu
membenarkan, 60% kejahatan dilakukan residivis. "Jelas karena
tekanan ekonomi. Mereka tidak bisa bekerja karena tidak mendapat
surat keterangan berkelakuan baik dari polisi," ujar Leo Bardo.
Seorang lainnya yang dekat dengan dunia kejahatan mengakui, para
residivis itu tidak jera, karena penjara atau lembaga
pemasyarakatan bukanlah hal yang menakutkan bagi mereka. "Toh di
penjara bagi residivis lebih enak, karena bisa berkuasa dan juga
dengan cara tertcntu bisa keluar malam dan pulang pagi,"
ujarnya.
Mungkin karena itu pula, dalam pelaksanaan "Operasi Clurit"
Panglima Kopkamtib Sudomo mengajak semua aparat yang berhubungan
dengan kejahatan ikut serta.
Tampaknya'operasi lurit" memang dilaksanakan melalui perackan
yang serba komplit. Tapi apakah dengan itu penduduk akan kembali
tidur nyenyak? Barangkali masih harus ditunggu sampai sebulan
lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini