Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Jurus-jurus melawan clurit

Berbagai cara telah dilakukan untuk memerangi kejahatan, a.l: operasi lingis, pukat, rajawali, dan clurit yang baru saja dilakukan, sampai pelaksanaan hukuman mati, tapi kejahatan terus meningkat.(krim)

29 Januari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERBAGAI cara dan operasi telah dicobakan untuk mengobati bermacam kejahatan. Sekali ini obat lain dicobakan lagi. Namanya "Operasi Clurit," mengambil nama senjata tajam yang akhir-akhir ini banyak dipakai penjahat untuk mengancam korbannya. Dimulai Jumat malam pekan lalu, seribu polisi dan tentara sibuk melaksanakan operasi dengan nama sandi senjata khas penduduk Madura itu. Hampir semua tempat rawan di Jakarta dijaga ketat. Hasilnya malam itu juga hampir 100 orang residivis (bromocorah) kena gulung. Tiga di antaranya tertangkap basah ketika melakukan penodongan di Pulomas, Jakarta Timur. "Anggap hasil ini sebagai penglaris dari operasi ini," ujar Mayjen TNI Try Sutrisno, Pangdam Jaya yang bertindak sebagai Komandan Operasi bersama Kadapol Metro Jaya, Brigjen Pol. Drs. R. Sudjoko. Ucapan Try Sutrisno Jumat tengah malam atau Sabtu dini hari itu terbukti. Sampai awal pekan ini, hampir semua pojok hitam di Jakarta. siang-malam diobrak-abrik petugas. Anehnya, walau sudah dikampanyekan sebelumnya, bahwa akan ada razia senjata tajam di Ibukota, toh banyak orang masih tertangkap basah membawanya. Setelah sehari semalam operasi dilancarkan, lebih dari 100 senjata tajam disita, khususnya clurit semacam sabit kecil. Akan mempankah operasi kali ini? Mayjen Try Sutrisno belum bersedia mengomentari. "Doakan saja supaya operasi ini berhasil," ujarnya. Tapi yang jelas Pangkopkamtib Laksamana Sudomo bertekad Pelaksanaan "operasi clurit" tidak main-main. Razia untuk mencari senjata tajam akan dilakukan dari rumah ke rumah. Untuk mencegah penjahat dari daerah lain atau Ibukota lari ke daerah lainnya, operasi akan dilancarkan di semua daerah. Dan yang lebih penting agaknya adalah rencana Sudom untuk membina revidivis yang 6 ribu orang di antaranya bermukim di Ibukota. "Jangan tanya bagaimana caranya, yang penting mau aman atau tidak," kata Laksamana Sudomo. Ia menjanjikan waktu 1 bulan untuk menilai berhasil atau tidaknya operasi itu. Berbagai operasi dan upaya sebenarnya sudah dilakukan oleh aparat keamanan selama 5 tahun terakhir ini. Ketika perampokan toko emas dan bank merajalela tahun 1979 lalu, Pangkopkamtib pun turun tangan. Ketika itu pula diperkenalkan sistem alarem bagi perusahaan-perusahaan dan bank-bank, termasuk toko emas yang banyak diincar penjahat bermotor. Berbagai operasi juga dilancarkan kepolisian dengan berbagai nama sandi. Ada operasi "Linggis", "Pukat", "Rajawali", "Cerah" dan "Parkit Mas". Selain itu Pangkopkamtib rajin pula melakukan berbagai operasi lain antaranya operasi "Sapu Jagat" dan operasi "Teratai". Setelah operasi "Sapu Jagat" dilakukan tahun 1981 berhasil menyita ratusan senjata api. Tapi tidak lama kemudian kejahatan dengan senjata api justru merajalela kembali. Menurut catatan polisi di tahun 1982 rata-rata setiap bulan, di Jakarta saja 7 pucuk senjata api diketahui digunakan untuk penodongan. Sebagian besar, dari pengusutan polisi, senjata itu milik oknum ABRI. Siskamling (Sistem Keamanan Lingkungan) ternyata memasyarakat dan cukup membawa hasil. Malahan di beberapa kampung dan desa penduduk mengerahkan berbagai kemampuan untuk mencegah masuknya para penjahat. Malahan di RT 011/08 Tanjung Duren, Jakarta Barat, para warga sepakat memakai alarm system. Sebanyak 47 KK di RT itu melengkapi rumahnya dengan tanda bahaya itu yang berpusat di rumah Ketua RT,Andu Rachman -- sekaligus sebagai Posko. Di Posko itu ada peta wilayah yang menggambarkan situasi rumah penduduk. Pada setiap rumah di peta itu ada lampu. Jika satu rumah menekan tombol, maka lampu merah di peta yang ada di Posko akan menyala dan mengeluarkan isyarat . . . tut . . . tut. Petugas ronda dan hansip yang bermarkas di Posko segera akan menelepon rumah yang memberi isyarat. Jika tidak dijawab, berarti ada apa-apa. Sirene yang dapat terdengar oleh seluruh warga pun dibunyikan. Sejak ada tanda alarem di situ, seperti dituturkan Andu Rachman kepada Pangkopkamtib Sudomo, ketika berkunjung ke sana, tidak pernah terjadi kejahatan. Untuk memiliki tanda bahaya itu penduduk secara patungan mengeluarkan uang masing-masing Rp 20 ribu. Cukup ampuh memang. Tapi itu tak berarti para penjahat enggan mendekat. Karena ternyata para penjahat tak kehabisan akal: mereka pun mengadakan perkongsian dengan cara beroperasi secara berkelompok. Tudingan yang klasik dialamatkan kepada residivis, sebagai penyebab utama kejahatan. Tapi untuk itu sudah beberapa kali pula aparat polisi melakukan penanganan. Ketika Letjen Pol. Anton Sudjarwo menduduki kursi sebagai Kadapol Metro Jaya, mengurusi residivis adalah agenda pertamanya. Berkat gebrakan Anton, Juli 1978, berpuluh-puluh bandit Jakarta diangkut dengan kereta api ke Cilacap. Tak peduli teri atau kakap, semua yang bercap residivis dibuang ke Nusakambangan. Tapi setelah bandit-bandit itu mendekam di pulau buangan itu, kejahatan tidak turun. Juga di wilayah Sumatera Utara yang ikut-ikutan mengirimkan "delegasi" ke Nusakambangan. Ternyata cara membuang residivis itu tidak membuat penjahat jera. "Ternyata mereka belum jera, karena itu cara mengirimkan penjahat ke Nusakambangan tidak akan diteruskan," ujar Kadispen Mabak, Kol. Pol. Sakir Subardi. Kadapol X Ja-Tim, Mayjen Pamudji (sekarang deputi Kapolri) memberikan resep yang lebih keras ketika kejalatan melonjak di wilayah Jawa Timur. Ia segera menjawab kejahatan itu dengan operasi khusus dengan nama "Parkit Merah" dan "Tameng". Hasilnya memang tidak main-main. Lebih dari 100 orang residivis terpaksa ditembak -- di antaranya 4 orang mati seketika dan 35 orang lainnya meninggal di rumah sakit. Sisanya hanya terluka. Tapi akibat tindakan keras itu, hampir 600 orang bromocorah menyerahkan diri lengkap dengan hasil kejahatannya. Operasi yang lebih lunak terhadap para residivis bukan tak ada: Depsos mencoba mendatangi para residivis untuk dibina agar mudah kembali ke masyarakat. Kepala Seksi Rehabilitasi Tuna Susila Dinas Sosial Jakarta Timur, Muh. Kasbullah, tahun ini mengaku membina 11 orang bekas narapidana. Mereka, katanya, tiga bulan dididik ketrampilan dan bimbingan rohani. Setelah itu disalurkan bekerja. Cukupkah waktu sesingkat itu mengubah bekas napi menjadi baik? "Tentu saja tidak, sebetulnya perlu waktu lebih lama dan pembinaan yang kontinyu," ujar Kasbullah. Pembinaan yang lebih massal antara lain dilakukan organisasi eks residivis sendiri, seperti "Prems" (Preman Sadar). Mengaku mempunyai 600 ribu orang anggota, Ketua Penertiban "Prems" Leo Bardo, melihat lebih tepat menyalurkan tenaga daripada melatih ketrampilan saja. Banyak anggota "Prems" bisa disalurkan menjadi keamanan perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik. Tapi toh ada juga, kata Leo, anggota yang tidak berdisiplin, artinya berbuat jahat lagi. "Mereka kami tangkap dan kami periksa, kalau jelas salah kami serahkan kepada yang berwajib," ujar Leo lagi. Leo yang mengaku sudah berkali-kali masuk penjara itu membenarkan, 60% kejahatan dilakukan residivis. "Jelas karena tekanan ekonomi. Mereka tidak bisa bekerja karena tidak mendapat surat keterangan berkelakuan baik dari polisi," ujar Leo Bardo. Seorang lainnya yang dekat dengan dunia kejahatan mengakui, para residivis itu tidak jera, karena penjara atau lembaga pemasyarakatan bukanlah hal yang menakutkan bagi mereka. "Toh di penjara bagi residivis lebih enak, karena bisa berkuasa dan juga dengan cara tertcntu bisa keluar malam dan pulang pagi," ujarnya. Mungkin karena itu pula, dalam pelaksanaan "Operasi Clurit" Panglima Kopkamtib Sudomo mengajak semua aparat yang berhubungan dengan kejahatan ikut serta. Tampaknya'operasi lurit" memang dilaksanakan melalui perackan yang serba komplit. Tapi apakah dengan itu penduduk akan kembali tidur nyenyak? Barangkali masih harus ditunggu sampai sebulan lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus