MINGGU lalu Mochtar Riady dari Bank Central Asia mengadakan jamuan makan malam dengan sekelompok terbatas wartawan. Dalam kongko-kongko itu ia antara lain juga menjelaskan maksudnya untuk membuka cabang BCA di New York bulan Mei yang akan datang. Bos BCA Cabang New York itu nanti adalah seorang Amerika. Lho, mengapa bukan orang Indonesia sendiri? Bukankah orang Indonesia pun sudah berkemampuan mengelola bank dan bisnis keuangan? Nah, Anda perlu mendengar kiat Mochtar. Menurut dia, banyak bank-bank Asia yang membuka usaha di Amerika Serikat dengan membawa satu partai besar pegawai dari negara asal. Dan banyak yang gagal berkembang justru karena cara ini. "Kalau kita buka usaha di New York, kita tentu ingin nasabah oran New York, bukan sekadar orang kita yang tinggal di New York," kata Mochtar. Karena itu, ia mensyaratkan bahwa cabang banknya harus dipimpin oleh orang yang sebudaya dengan calon nasabah yang bakal digaetnya. "Kalau mau menangkap kuda, kita juga harus pakai kuda," begitulah kiatnya. Ini bukan lelucon. Pernyataan itu sebenarnya mempunyai dasar pemikiran yang jernih. Ungkapan Mochtar Riady tadi bisa dengan mudah kita kembalikan pada teori komunikasi. Bahwa komunikasi akan terselenggara, dan itu berarti dua arah, kalau antara penyampai pesan dan penerima pesan terdapat kesamaan medan pengalaman (field of expenene). Banyak kegagalan komunikasi yang dapat dibuktikan sebagai hasil tidak diperhitungkannya kesamaan medan pengalaman ini. Kabarnya, orang India justru menggelengkan kepala untuk mengatakan "ya". Padahal, pengalaman dan kultur kita mengatakan bahwa geleng-geleng berarti "tidak". Nama saya bisa berbahaya kalau diucapkan di Malaysia karena terdengar seperti pondan yang artinya . . . bencong. Tetapi, anehnya, hal-hal subtil yang bisa berarti besar ini justru banyak diabaikan orang. Atau, memang terlupa untuk dipikirkan. Mochtar Riady memberikan pula contoh lain guna menunjukkan perhatiannya pada soal ini. Untuk resepsi pembukaan BCA Cabang New York itu nanti, ia memakai nama partner bisnisnya, Jack Stephens, sebagai pengundang. Mengapa ia memberikan kredit kehormatan itu kepada partner bisnisnya untuk perhelatan sepenting itu? "Ya, inilah yang saya maksud dengan kuda tangkap kuda itu," kata Mochtar kalem. "Nama saya 'kan belum dikenal luas di Amerika. Sedangkan Jack Stephens adalah bankir terkemuka yang dikenal luas dalam masyarakat perbankan Amerika Serikat. Kalau saya yang mengundang, siapa yang bakal datang ke resepsi saya?" Cara berpikir seperti ini memang sepenuhnya dapat dimengerti kalau kita menyadari bahwa bisnis bank pada hakikatnya bukanlah bisnis uang, melainkan bisnis kepercayaan. Seorang datang dengan uang tunai ke bank dan menyetorkan ke rekeningnya. Untuk itu, ia hanya diganti dengan secarik kertas yang dibawanya pulang. Kalau ia tak percaya kepada bank, mana mungkin orang itu mau menukarkan uangnya dengan sehelai kertas? Dan soal kepercayaan ini memang soal pelik. Kalau Anda warga Kebayoran Baru yang sedang tersesat di daerah Tebet, dan di depan Anda ada seorang Indonesia dan seorang Belanda, kepada siapakah Anda akan bertanya ? Tanpa berpikir dua kali tentulah Anda akan pergi kepada orang Indonesia itU untuk menanyakan jalan. Bukan berarti bahwa Anda tak percaya kepada orang Belanda, cuma dalam hal ini Anda lebih percaya kepada penduduk setempat. Kuda pun lebih mudah berkomunikasi dengan sesama kuda. Dan untuk ini sudah banyak contohnya. Perusahaan-perusahaan Amerika yang masuk ke Jepang, misalnya, menyewa ahli-ahli komunikasi bangsa Jepang untuk menangani program komunikasinya. Indonesia pun mempunyai NDIO (National Development Information Office) yang bekerja sama dengan biro humas Amerika Serikat, Hill and Knowlton, untuk mengkomunikasikan hasil-hasil serta program pembangunan Indonesia kepada masyarakat bisnis Amerika. Tentu ada yang sinis dan bertanya, "Bukankah orang Indonesia tebih mampu mengkomunikasikan soal pembangunan Indonesia sendiri?" Ya dan tidak. Ya, kalau komunikasi itu diarahkan kepada masyarakat Indonesia. Tidak, kalau komunikasi itu disasarkan kepada masyarakat Amerika. Kita meman harus membuat pengakuan bahwa budaya kita berbeda. Orang Amerika tidak sabar melihat film Indonesia karena editing-nya sangat lamban. Orang Amerika sulit menangkap kalimat yang belak-belok untuk menjelaskan sesuatu. Dan orang Amerika selalu menabrak orang kalau berjalan di Malioboro karena langkahnya terlalu cepat. Karena itu, bukanlah sekadar sombong-sombongan kalau TEMPO pun mempekerjakan orang Jepang asli sebagai korespondennya di Tokyo. Bondan Winarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini