Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kuku busuk tangan dipotong

Adopsi adalah masalah kemanusiaan. pasangan eropa banyak mencari bayi dari asia dan tulus merawat, mensejahterakan anak pungutnya. mereka tidak mencari di indonesia, karena peraturan mensos yang ketat.

5 November 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KELUARGA kaya itu hanya memiliki seorang anak laki-laki. Pada hari ulang tahunnya, si anak minta hadiah istimewa: seorang adik angkat perempuan. Ia pun per se minta, adik angkat itu harus seorang pengemis buta. Untung, yang dicari dapat. Lalu si anak laki-laki mendapat kecelakaan. Dan sebelum menghembuskan napas terakhir, ia masih sempat minta agar kornea matanya dicangkokkan pada mata adik angkatnya. Cerita yang mirip film India itu nyaris terpilih sebagai salah satu calon pemenang Buku Utama 1982 untuk cerita anak-anak. Untung bisa dicegah. Argumen saya: serba kebetulan seperti itu terlalu jauh dari kenyataan. Jawaban yang saya peroleh: bukankah kenyataannya cerita macam begitu yang mendominasi "pasar" bacaan anak-anak kita ? Jawab itu memang ada benarnya. Tahun lalu saya membaca 800 naskah cerita anak-anak yang diikutkan dalam sayembara. Tahun ini sudah lebih dari 700 naskah yang saya baca. Dan, memang, cerita terbanyak yang saya baca punya kemiripan plot berikut: anak cacat miskin dan yatim piatu yang diadopsi keluarga kaya anak cacat miskin yang satu per satu orangtuanya mati, tetapi karena ulet lalu berhasil jadi kaya dan mempersunting gadis cantik anak miskin, mungkin cacat, yang tak jelas latar belakang keluarganya, lalu menemukan dompet berisi banyak uang, mengembalikannya kepada yang empunya, lalu diadopsi. Cerita-cerita melodrama dengan happy ending seperti itu memang tampaknya hanya terjadi pada khayal pengarang pemula. Pada kenyataannya? Adopsi merupakan masalah pelik yang akhir-akhir ini semakin sering masuk surat kabar. Adopsi telah menjadi ajang percaloan yang menghasilkan banyak uang. Tidak heran kalau Menteri Sosial langsung menyeterika persoalan itu. Menyeterika memang membuat baju lusuh jadi licin. Tetapi baju yang telah rantas malah bisa robek. Peraturan Menteri Sosial itu, antara lain, juga mengetatkan (dengan tujuan nantinya melarang) adopsi anak Indonesia oleh orang asing. Kalau tidak ada dampak negatif, tentu Menteri tidak akam melarang. Tetapi bukankah pembangunan juga menciptakan dampak negatif, dan kita tidak menghentikan pembangunan karenanya? Analogi ini memang untuk mempertanyakan apakah dampak negatifnya sudah sedemikian buruk sehingga perlu mencari orang asing mengadopsi anak Indonesia. Tidak dapatkah dampak itu dikhawatirkan? Misalnya seperti memindahkan gajah ke Lebonghitam, agar tidak mengganggu wilayah transmigran. Dalam majalah Balita Agustus 1983 dimualt sebuah kisah nyata tentang Cucu Rosjuli - bayi tiga bulan yang diselamatkan seorang wanita Australia. Ibu bayi itu telah meninggal, sedang ayahnya ikut transmigrasi ke Lampung. Cucu diserahkan pada bibinya yang mandul. Ribuan orang telah datang ke daerah bencana Galunggung untuk mengirim bantuan, dan ribuan orang pula telah melihat Cucu Rosjuli yang pada usia itu beratnya hanya 1,9 kilogram. Bahkan bayi baru lahir pun, dengan berat 1,9 kilogram, akan dimasukkan dalam couveuse untuk mendapat rawatan intensif. Cucu tidak lebih dari bangkai yang dinyatakan hidup semata-mata hanya karena ia masih bisa mengulur napas. Kulitnya yang kering penuh ruam menempel ke tulang. Ribuan orang hanya melihatnya dengan iba. Kecuali seorang - Nyonya Cox - yang langsum minta izin membawa bayi gawat itu ke Jakarta. Dan merawatnya. Tanpa kenal lelah dan tanpa perhitungan biaya Nyonya Cox "menyelamatkan" Cucu. Bayi itu bagai balon ditiup. Dalam waktu singkat ia mencapai bobot 3,6 kilogram. Beberapa krisis telah dapat dilaluinya di ruang gawat darurat. Satu pertanyaan moral: mengapa harus seorang wanita Australia yang bertindak sebagai juru selamat Cucu Rosjuli? Tidak adakah di antara ibu-ibu kita yang tergerak melakukan hal yang sama? Dan apakah imbalan yang diterima Nyonya Cox? Ia memilih dituduh mencuri Cucu karena janjinya untuk mengembalikan Cucu dalam waktu 40 hari tidak terlaksana. Saat itu Cucu memang masih mendekam di ruang gawat darurat. Satu pertanyan moral: mengapa harus seorang wanita Australia yang bertindak sebagai "juru selamat" Cucu Rosjuli? idak adakah diantara ibu-ibu kita yang tergerak melakukan hal yang sama? Dan apakah imbalan yang diterima nyonya Cox? Ia malah dituduh mencuri Cucu, karena janjinya akan mengembalikan Cucu dalam waktu 40 hari tidak terlaksana. Saat itu Cucu memang masih mendekam diruang gawat darurat. Ketika Cucu telah mencapai berat badan yang normal, dan punya harapan hidup yang tinggi, orang memperebutkannya. Memang mendera dan menyakitkan: seolah rasa kebangsaan kita dihempas dan diinjak-injak. Tapi haruskah kita menangkan rasa kebangsaan dari kemanusiaan?. Adopsi adalah masalah kemanusiaan. Jadi, sebaiknya, tidak perlu dibatasi pagar-pagar kebangsaan. Ia justru harus dipagari pertimbangan kemanusiaan seutuhnya. Pertanyaan berikut ini mungkin akan banyak mengganggu kita: siapa yang akan mengadosi anak yang berkelainan? Mungkin anda perlu berdiri dibandar udara Zaventem/Brussel, Schiphol/Amsterdam, Roissy/Paris, atau Frangfurt, untuk membuktikan bayi-bayi yang datang dengan pesawat terbang untuk diadopsi ternyata bukan melulu bayi-bayi yang manis dan lucu. Sebagian besar akan dibawa orang tua barunya kerumah sakit untuk dirawat. Ada juga yang menyandang cacat - baik fisik maupun mental. Adakah orang lain, atau badan lain, yang bisa menjajikan masa depan yang lebih baik bagi anak-anak ini, ditanah air kita? Dapatkah kesejahteraan kita tukar dengan masa depan yang tidak menentu, hanya agar tidak bercerabut dari akar budayanya? Banyak wanita yang cukup menunggu sembilan bulan untuk mendapat anak yang didambakannya. Tetapi tidak terbilang pula yang harus menunggu bertahun-tahun, sampai dokter mengangkat tangannya lalu mengucapkan resep lisan: adopsi. Itu banyak terjadi di Eropa. Tetapi di Eropa tidak banyak bayi yang available untuk adopsi. Lantas menengoklah mereka ke Asia, tempat bayi-bayi mrojol terus dang tumbuh kembang dalam tingkat kesejahteraan yang memilukan. Pasangan-pasangan suami-istri yang dengan tulus menyediakan cakrawala baru bagi kesejahteraan anak-anakyang dipungutnya, kini tidak bisa mencarinya di Indonesia. Hanya karena ulah para calo dan kaki tanganya. Kalau kuku jempol kita busuk busuk, perlukah kita memotong tangan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus