KELUARGA kaya itu hanya memiliki seorang anak laki-laki. Pada
hari ulang tahunnya, si anak minta hadiah istimewa: seorang adik
angkat perempuan. Ia pun per se minta, adik angkat itu harus
seorang pengemis buta. Untung, yang dicari dapat. Lalu si anak
laki-laki mendapat kecelakaan. Dan sebelum menghembuskan napas
terakhir, ia masih sempat minta agar kornea matanya dicangkokkan
pada mata adik angkatnya.
Cerita yang mirip film India itu nyaris terpilih sebagai salah
satu calon pemenang Buku Utama 1982 untuk cerita anak-anak.
Untung bisa dicegah. Argumen saya: serba kebetulan seperti itu
terlalu jauh dari kenyataan. Jawaban yang saya peroleh: bukankah
kenyataannya cerita macam begitu yang mendominasi "pasar" bacaan
anak-anak kita ?
Jawab itu memang ada benarnya. Tahun lalu saya membaca 800
naskah cerita anak-anak yang diikutkan dalam sayembara. Tahun
ini sudah lebih dari 700 naskah yang saya baca. Dan, memang,
cerita terbanyak yang saya baca punya kemiripan plot berikut:
anak cacat miskin dan yatim piatu yang diadopsi keluarga kaya
anak cacat miskin yang satu per satu orangtuanya mati, tetapi
karena ulet lalu berhasil jadi kaya dan mempersunting gadis
cantik anak miskin, mungkin cacat, yang tak jelas latar
belakang keluarganya, lalu menemukan dompet berisi banyak uang,
mengembalikannya kepada yang empunya, lalu diadopsi.
Cerita-cerita melodrama dengan happy ending seperti itu memang
tampaknya hanya terjadi pada khayal pengarang pemula. Pada
kenyataannya? Adopsi merupakan masalah pelik yang akhir-akhir
ini semakin sering masuk surat kabar. Adopsi telah menjadi ajang
percaloan yang menghasilkan banyak uang. Tidak heran kalau
Menteri Sosial langsung menyeterika persoalan itu. Menyeterika
memang membuat baju lusuh jadi licin. Tetapi baju yang telah
rantas malah bisa robek.
Peraturan Menteri Sosial itu, antara lain, juga mengetatkan
(dengan tujuan nantinya melarang) adopsi anak Indonesia oleh
orang asing. Kalau tidak ada dampak negatif, tentu Menteri
tidak akam melarang. Tetapi bukankah pembangunan juga
menciptakan dampak negatif, dan kita tidak menghentikan
pembangunan karenanya? Analogi ini memang untuk mempertanyakan
apakah dampak negatifnya sudah sedemikian buruk sehingga perlu
mencari orang asing mengadopsi anak Indonesia. Tidak
dapatkah dampak itu dikhawatirkan? Misalnya seperti
memindahkan gajah ke Lebonghitam, agar tidak mengganggu wilayah
transmigran.
Dalam majalah Balita Agustus 1983 dimualt sebuah kisah nyata
tentang Cucu Rosjuli - bayi tiga bulan yang diselamatkan seorang
wanita Australia. Ibu bayi itu telah meninggal, sedang
ayahnya ikut transmigrasi ke Lampung. Cucu diserahkan pada
bibinya yang mandul. Ribuan orang telah datang ke daerah bencana
Galunggung untuk mengirim bantuan, dan ribuan orang pula telah
melihat Cucu Rosjuli yang pada usia itu beratnya hanya 1,9
kilogram.
Bahkan bayi baru lahir pun, dengan berat 1,9 kilogram,
akan dimasukkan dalam couveuse untuk mendapat rawatan
intensif. Cucu tidak lebih dari bangkai yang dinyatakan hidup
semata-mata hanya karena ia masih bisa mengulur napas. Kulitnya
yang kering penuh ruam menempel ke tulang. Ribuan orang hanya
melihatnya dengan iba. Kecuali seorang - Nyonya Cox - yang
langsum minta izin membawa bayi gawat itu ke Jakarta. Dan
merawatnya.
Tanpa kenal lelah dan tanpa perhitungan biaya Nyonya Cox
"menyelamatkan" Cucu. Bayi itu bagai balon ditiup. Dalam waktu
singkat ia mencapai bobot 3,6 kilogram. Beberapa krisis telah
dapat dilaluinya di ruang gawat darurat.
Satu pertanyaan moral: mengapa harus seorang wanita Australia
yang bertindak sebagai juru selamat Cucu Rosjuli? Tidak adakah
di antara ibu-ibu kita yang tergerak melakukan hal yang sama?
Dan apakah imbalan yang diterima Nyonya Cox? Ia memilih dituduh
mencuri Cucu karena janjinya untuk mengembalikan Cucu dalam
waktu 40 hari tidak terlaksana. Saat itu Cucu memang masih
mendekam di ruang gawat darurat.
Satu pertanyan moral: mengapa harus seorang wanita Australia
yang bertindak sebagai "juru selamat" Cucu Rosjuli? idak adakah
diantara ibu-ibu kita yang tergerak melakukan hal yang sama? Dan
apakah imbalan yang diterima nyonya Cox? Ia malah dituduh
mencuri Cucu, karena janjinya akan mengembalikan Cucu dalam
waktu 40 hari tidak terlaksana. Saat itu Cucu memang masih
mendekam diruang gawat darurat. Ketika Cucu telah mencapai berat
badan yang normal, dan punya harapan hidup yang tinggi, orang
memperebutkannya.
Memang mendera dan menyakitkan: seolah rasa kebangsaan kita
dihempas dan diinjak-injak. Tapi haruskah kita menangkan rasa
kebangsaan dari kemanusiaan?.
Adopsi adalah masalah kemanusiaan. Jadi, sebaiknya, tidak perlu
dibatasi pagar-pagar kebangsaan. Ia justru harus dipagari
pertimbangan kemanusiaan seutuhnya.
Pertanyaan berikut ini mungkin akan banyak mengganggu kita:
siapa yang akan mengadosi anak yang berkelainan? Mungkin anda
perlu berdiri dibandar udara Zaventem/Brussel,
Schiphol/Amsterdam, Roissy/Paris, atau Frangfurt, untuk
membuktikan bayi-bayi yang datang dengan pesawat terbang untuk
diadopsi ternyata bukan melulu bayi-bayi yang manis dan lucu.
Sebagian besar akan dibawa orang tua barunya kerumah sakit untuk
dirawat.
Ada juga yang menyandang cacat - baik fisik maupun mental.
Adakah orang lain, atau badan lain, yang bisa menjajikan masa
depan yang lebih baik bagi anak-anak ini, ditanah air kita?
Dapatkah kesejahteraan kita tukar dengan masa depan yang tidak
menentu, hanya agar tidak bercerabut dari akar budayanya?
Banyak wanita yang cukup menunggu sembilan bulan untuk mendapat
anak yang didambakannya. Tetapi tidak terbilang pula yang harus
menunggu bertahun-tahun, sampai dokter mengangkat tangannya
lalu mengucapkan resep lisan: adopsi.
Itu banyak terjadi di Eropa. Tetapi di Eropa tidak banyak bayi
yang available untuk adopsi. Lantas menengoklah mereka ke Asia,
tempat bayi-bayi mrojol terus dang tumbuh kembang dalam tingkat
kesejahteraan yang memilukan. Pasangan-pasangan suami-istri yang
dengan tulus menyediakan cakrawala baru bagi kesejahteraan
anak-anakyang dipungutnya, kini tidak bisa mencarinya di
Indonesia. Hanya karena ulah para calo dan kaki tanganya.
Kalau kuku jempol kita busuk busuk, perlukah kita memotong
tangan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini