SEBANYAK 5.000 ton potongan tebu hari-hari ini dibiarkan
menghitam beronggok-onggok di tepi sawah di Kabupaten Klaten,
Jawa Tengah. Petani TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi) sengaja
mengeringkan tebu itu di bawah sinar matahari. "Untuk apa lagi,
kalau tidak untuk kayu bakar," kata Mbok Martodidjojo, petani
tebu di Ceper, Klaten.
Padahal, potongan tebu sepanjang 25 cm itu justru sangat tinggi
rendemennya (10%). Harga gula per ton sekarang mencapai Rp 500
ribu. Pada musim tanam 1982/1983, di Kabupaten Klaten areal TRI
mencapai 5.877 ha. "Sehingga untuk seluruh kabupaten, tak kurang
Rp 2,5 milyar yang jadi kayu bakar," ujar Robbani Thoha, anggota
DPRD Klaten yang turun ke lapangan meneliti kerugian petani.
Kerugian itu terutama akibat protes para penebang tebu. Bupati
Klaten mengeluarkan ketentuan ongkos tebang dan angkut sebesar
Rp 350 per kuintal tebu. Tapi yang dibayar di lapangan cuma Rp
265. "Untuk ongkos truk Rp 125, upah yang sampai ke tukang
tebang hanya Rp 140," kata Robbani. Sedangkan kekurangannya
ternyata "disunat" untuk macam-macam pungutan.
Para penebang akhirnya membabat sembarangan saja, terlebih
setelah uang ketelan tak mereka terima. Mereka memang mendapat
insentif khusus Rp 8 tiap kuintal tebu jika menebang ketel
(menebang sampai tak ada potongan yang tersisa).
Produksi gula nasional tahun ini agaknya bakal turun tajam. Tak
hanya karena ulah penebang seperti Diman, tapi juga karena
realisasi areal TRI tak mencapai proyeksi yang dibikin Menteri
Pertanian. Dalam Rapat Kerja Nasional TRI 20 - 21 Oktober di
Semarang dilaporkan, proyeksi areal TRI tahun anggaran lalu
hanya tercapai 70,48%, sedang proyeksi 1983/1984 baru
direalisasikan 54,51%. Sementara itu, produksi gula kristal
tahun ini juga turun, hanya 6,5 juta kuintal dibanding tahun
lalu yang 7 juta kuintal.
Kenyataan kurang menyenangkan itu masih ditambah lagi dengan
kekacauan jadwal giling tebu. Penanaman tebu rakyat bebas (TRB),
yang masa panennya tak sesuai dengan jadwal penggilingan,
dinilai Menteri Pertanian telah mengacaukan jadwal pabrik.
Kepada 51 administratur pabrik gula se-Jawa, 18 Oktober lalu,
Presiden Soeharto menyarankan agar TRB itu dibatasi.
Areal yang dipergunakan TRB memang juga areal yang dipakai TRI.
Caranya, tak semua tebu dipanen, dan lahan bekas panen sebagian
inilah yang dipakai oleh pengusaha TRB. "Karena TRB dilarang
oleh Bupati, mereka memakai kerudung TRI," kata Robbani.
Tapi pengusaha TRB menganggap apa yang mereka lakukan adalah
bisnis biasa. "Kami bekerja tidak dengan menipu," ujar
Padmokartono, petani TRB di Klaten "Kami keluar uang, dan
terkadang juga rugi. Sama seperti pedagang lainnya."
la juga membantah bahwa usahanya mengacaukan jadwal penggilingan
pabrik. "Ada atau tidak TRB, jadwal bisa saja kacau," kata
seorang petani 'TRB. "Pabrik gula yang perlu ditambah," katanya,
karena tak mampu lagi menampung produksi tebu. Di Jawa Tengah
memang hanya ada 15 pabrik gula.
Menurut gubernur Jawa Tengah, Ismail, pada tahun 1975 area tebu
di daerahnya hanya 40 ribu ha. "Sekarang terdapat 60 ribu
tanaman tebu di lahan sawah dan sekitar 10 ribu ha di lahan
kering," ujar Ismail. Areal bertambah terus sehingga pabrik
kewalahan padahal mesinnya sudah banyak yang tua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini