Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Pardede, si pemain kelereng

Kisah sukses pengusaha medan, t.d pardede, dengan berbagai usahanya. semua hartanya dihibahkan kepada anak-anaknya dan yayasan. kini mencurahkan perhatian pada rumah sakit dan univ. yang didirikan. (tk)

5 November 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI dunia usaha, namanya mencuat: dari julukan raja tekstil, sampai penusaha hotel bertaraf internasional. Di bidang olah raga, ia memperkenalkan sepak bola bayaran sebelum orang berpikir tentang Galatama. Di bidang pendidikan, ia mendirikan perguruan tinggi dengan ribuan mahasiswa. Dalam bidang sosial ia membuat rumah sakit. Dalam politik ia pernah menjadi anggota DPR dan menteri - tapi sejak beberapa tahun belakangan lalu ia mengundurkan diri dari gelanggang politik. Tapi harta kekayaannya, yang tahun 1980 saja bernilai Rp 50 milyar, pada ulang tahunnya ke-67, 16 Oktober lalu, ia hibahkan semua. Satu bagian untuk putranya yang berjumlah tiga orang, satu bagian untuk enam putrinya, dan satu bagian lagi untuk yayasan yang ia dirikan bersama para putra-putri dan menantu, termasuk 24 cucunya. Memang, Tumpal Dorianus Pardede, 67, tampaknya sadar benar ia kian surut. Langkahnya kian terbatas. Apalagi istrinya pemberi semangat dan pendorong sampai ia meraih sukses - telah meninggal dunia, tahun lalu. Terima kasih kepada wanita itu ia abadikan dalam bentuk mausoleum di halaman rumah sakit yang didirikannya. Kisah sukses Pardede ia mulai sejak masa kecil. Walaupun kakeknya, Raja Ihutan, dikenal sebagai orang kaya dan berpengaruh di kalangan orang Batak, ayahnya, Willem Pardede, hanya mewariskan beberapa bidang sawah Tumpal Dorianus Pardede, anak bungsu dari enam bersaudara, sejak umur lima tahun dikenal jago bermain kelereng di kampungnya, Desa Tambunan Lumbangaol, Balige, Kabupaten Tapanuli Utara. Dengan naluri bisnisnya di masa anak-anak itu, kelereng yang dimenangkannya tadi ia jual. Uangnya dijadikan modal untuk berjualan kembang gula. Maka, jadilah Tumpal penjual kembang gula sambil bersekolah di HIS Balige. "Sejak di sekolah dasar itu saya tak dibelanjai orangtua. Buku dan jajan saya peroleh dari hasil berjualan," katanya. Pada usia 14 tahun, Tumpal Pardede bekerja di Central Plantation Hospital, rumah sakit Belanda di Langsa, Aceh Timur. Selama tiga tahun menjadi pegawai di sana, naluri dagangnya makm berkembang. Ia menjadi makelar obat. "Komisi menjadi makelar tujuh kali lipat Iebih besar dari gaji saya di rumah sakit itu," katanya. Waktu itu ia bergaji 10 gulden . Keluar dari rumah sakit, Pardede bekerja di perkebunan milik Belanda di Dolok Ilir, Kabupaten Deli Serdang. Di sinilah ia mengenal Hermina boru Napitupulu, adik teman sekerja. Ia menikahi Hermina 16 Mei 1937. Perempuan inilah yang mendorong jiwa dagang Pardede dan sekaligus menjadi penasihat dan pengawasnya. "Kami dijodohkan Tuhan menjadi sejoli. Saya punya bakat dagang, Tuhan memberi saya seorang pengawas," katanya. Di kebun itu, Pardede menjual pakaian dan beras. Dengan sepeda, ia berkeliling mencari langganan. Sementara itu, istrinya membuka warung tuak yang cukup laris. Jika warung tetangga tutup pukul 6 sore, warung Hermma tutup pukul 4 sore karena semua tuak telah habis ditenggak para langganan . Selama revolusi kemerdekaan, Tumpal Pardede ikut berjuang. Malah komandan resimen Tarutung waktu itu memberi dia pangkat letnan satu. Pardede ditempatkan di bagian perbekalan. Bidangnya sesuai dengan bakat dagangnya. Ia mensuplai beras dan ikan asin untuk pasukan yang sedang bertempur. Pangkat letnan satu dilepaskan Pardede setelah penyerahan kedaulatan. Bahkan semua hartanya di Tapanuli ia jual. Bersama istrinya ia mulai karier baru di Medan dengan mendirikan NV Roma, usaha penganghutan penumpang dengan 40 bis. Namun, usaha ini pun, setelah berjalan baik, ia lepaskan. September 1953 berdiri usaha baru di bidang sandang. Produksi pabriknya pada tahun-tahun awal lebih banyak berupa kaus singlet dan selimut. Industri ini berkembang dan tahun 1960 lahir pabrik pemintalan. "Di bidaPg inilah saya terbesar sampai 1966," katanya. Karena itu, ia pernah digelari Raja Tekstil. Usaha itu tetap dipegangnya sambil mendirikan jenis-jenis usaha lain, seperti cold storage di Sibolga, Belawan, dan Lhoseumawe. Ketika ia membangun Hotel Danau Toba Internasional di Medan, 1970, banyak orang menjuluki "Pardede sudah gila". Sebab, pada saat itu, turis asing belum seberapa di Medan dan orang tak pernah mimpi ada hotel bertaraf internasonal di sana. "Saya tak peduli. Buktinya hotel itu berkembang sekarang," katanya. Usaha "gila" lain adalah lahirnya kesebelasan Pardedetex dengan menghimpunkan pemain dari berbagai perserikatan. Kesebelasan ini merupakan klub sepak bola bayaran pertama di Indonesia, walau dengan dalih "dijadikan karyawan pabrik". Banyak pemain, seperti Iswadi Idris, Ronny Pattinasarani, Sucipto, Basri, dan Abdul Kadir, pernah bergabung di Pardedetex. "Pemain dapat gaji tetap. Asrama dan lapangan sepak bola disediakan," kata Pardede. Toh ada juga yang gagal di tangan Pardede. Yakni mencukongi koran. Tahun 1960 ia memodali koran Patriot. Lenyap koran ini lahir koran Berdikari, (1966). Gagal lagi dan ia memodali koran Warta Sumatera. Koran ini pun mati, 1975, dan kembali Pardede memodali koran Proklamasi, yang bangkrut juga, 1976. Akhirnya, ia putuskan menjauhi bisnis penerbitan. "Saya gagal karena tak bisa campur tangan di bidang redaksi," katanya. Tapi kenapa ia begitu getol memodali koran sampai empat penerbltan tak putusputus? "Saya melihat aspek politisnya, bukan bisnis. Terjun di politik tanpa surat kabar rasanya seperti nasi basi," katanya. Pardede dikenal sebagai tokoh PNI dan mungkin karena itu, tahun 1966, Bung Karno mengangkatnya sebagai menteri negara urusan berdikari - yang tak sampai setahun karena kabinet itu bubar. Pernah pula duduk di DPR mewakili PNI lewat Pemilu 1971. Ketika Pemilu 1977, dengan bendera PDI Pardede tampil pula sebagai calon Nomor untuk Sum-Ut. Tapi ia melepaskan haknya menjadi anggota DPR - tak dijelaskan alasannya. Kini ia mencurahkan perhatian pada rumah sakit, Universitas Darma Agung, dan Universitas HKBP Nommensen, keduanya di Medan. Tidak sebagai dosen walaupun Pardede menyandang gelar Doktor Honoris Causa dalam Ilmu Perekonomian dari Universitas Takushoku (1967). Setiap subuh ia memeriksa RS Herna (dari singkatan nama istrinya). Siang tidur sebentar, sore bermain golf di belakang hotelnya. Malam tidur di samping makam istrinya. Di sela-sela waktunya itu, staf ahli dan pembantu di berbagai perusahaannya datang melapor, dan T.D. Pardede mengambil keputusan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus