DI dunia usaha, namanya mencuat: dari julukan raja tekstil,
sampai penusaha hotel bertaraf internasional. Di bidang olah
raga, ia memperkenalkan sepak bola bayaran sebelum orang
berpikir tentang Galatama. Di bidang pendidikan, ia mendirikan
perguruan tinggi dengan ribuan mahasiswa. Dalam bidang sosial ia
membuat rumah sakit. Dalam politik ia pernah menjadi anggota DPR
dan menteri - tapi sejak beberapa tahun belakangan lalu ia
mengundurkan diri dari gelanggang politik.
Tapi harta kekayaannya, yang tahun 1980 saja bernilai Rp 50
milyar, pada ulang tahunnya ke-67, 16 Oktober lalu, ia hibahkan
semua. Satu bagian untuk putranya yang berjumlah tiga orang,
satu bagian untuk enam putrinya, dan satu bagian lagi untuk
yayasan yang ia dirikan bersama para putra-putri dan menantu,
termasuk 24 cucunya.
Memang, Tumpal Dorianus Pardede, 67, tampaknya sadar benar ia
kian surut. Langkahnya kian terbatas. Apalagi istrinya pemberi
semangat dan pendorong sampai ia meraih sukses - telah meninggal
dunia, tahun lalu. Terima kasih kepada wanita itu ia abadikan
dalam bentuk mausoleum di halaman rumah sakit yang didirikannya.
Kisah sukses Pardede ia mulai sejak masa kecil. Walaupun
kakeknya, Raja Ihutan, dikenal sebagai orang kaya dan
berpengaruh di kalangan orang Batak, ayahnya, Willem Pardede,
hanya mewariskan beberapa bidang sawah Tumpal Dorianus Pardede,
anak bungsu dari enam bersaudara, sejak umur lima tahun dikenal
jago bermain kelereng di kampungnya, Desa Tambunan Lumbangaol,
Balige, Kabupaten Tapanuli Utara. Dengan naluri bisnisnya di
masa anak-anak itu, kelereng yang dimenangkannya tadi ia jual.
Uangnya dijadikan modal untuk berjualan kembang gula. Maka,
jadilah Tumpal penjual kembang gula sambil bersekolah di HIS
Balige. "Sejak di sekolah dasar itu saya tak dibelanjai
orangtua. Buku dan jajan saya peroleh dari hasil berjualan,"
katanya.
Pada usia 14 tahun, Tumpal Pardede bekerja di Central Plantation
Hospital, rumah sakit Belanda di Langsa, Aceh Timur. Selama tiga
tahun menjadi pegawai di sana, naluri dagangnya makm berkembang.
Ia menjadi makelar obat. "Komisi menjadi makelar tujuh kali
lipat Iebih besar dari gaji saya di rumah sakit itu," katanya.
Waktu itu ia bergaji 10 gulden .
Keluar dari rumah sakit, Pardede bekerja di perkebunan milik
Belanda di Dolok Ilir, Kabupaten Deli Serdang. Di sinilah ia
mengenal Hermina boru Napitupulu, adik teman sekerja. Ia
menikahi Hermina 16 Mei 1937. Perempuan inilah yang mendorong
jiwa dagang Pardede dan sekaligus menjadi penasihat dan
pengawasnya. "Kami dijodohkan Tuhan menjadi sejoli. Saya punya
bakat dagang, Tuhan memberi saya seorang pengawas," katanya.
Di kebun itu, Pardede menjual pakaian dan beras. Dengan sepeda,
ia berkeliling mencari langganan. Sementara itu, istrinya
membuka warung tuak yang cukup laris. Jika warung tetangga tutup
pukul 6 sore, warung Hermma tutup pukul 4 sore karena semua tuak
telah habis ditenggak para langganan .
Selama revolusi kemerdekaan, Tumpal Pardede ikut berjuang. Malah
komandan resimen Tarutung waktu itu memberi dia pangkat letnan
satu. Pardede ditempatkan di bagian perbekalan. Bidangnya sesuai
dengan bakat dagangnya. Ia mensuplai beras dan ikan asin untuk
pasukan yang sedang bertempur.
Pangkat letnan satu dilepaskan Pardede setelah penyerahan
kedaulatan. Bahkan semua hartanya di Tapanuli ia jual. Bersama
istrinya ia mulai karier baru di Medan dengan mendirikan NV
Roma, usaha penganghutan penumpang dengan 40 bis. Namun, usaha
ini pun, setelah berjalan baik, ia lepaskan. September 1953
berdiri usaha baru di bidang sandang.
Produksi pabriknya pada tahun-tahun awal lebih banyak berupa
kaus singlet dan selimut. Industri ini berkembang dan tahun 1960
lahir pabrik pemintalan. "Di bidaPg inilah saya terbesar sampai
1966," katanya. Karena itu, ia pernah digelari Raja Tekstil.
Usaha itu tetap dipegangnya sambil mendirikan jenis-jenis usaha
lain, seperti cold storage di Sibolga, Belawan, dan Lhoseumawe.
Ketika ia membangun Hotel Danau Toba Internasional di Medan,
1970, banyak orang menjuluki "Pardede sudah gila". Sebab, pada
saat itu, turis asing belum seberapa di Medan dan orang tak
pernah mimpi ada hotel bertaraf internasonal di sana. "Saya tak
peduli. Buktinya hotel itu berkembang sekarang," katanya.
Usaha "gila" lain adalah lahirnya kesebelasan Pardedetex dengan
menghimpunkan pemain dari berbagai perserikatan. Kesebelasan ini
merupakan klub sepak bola bayaran pertama di Indonesia, walau
dengan dalih "dijadikan karyawan pabrik". Banyak pemain, seperti
Iswadi Idris, Ronny Pattinasarani, Sucipto, Basri, dan Abdul
Kadir, pernah bergabung di Pardedetex. "Pemain dapat gaji tetap.
Asrama dan lapangan sepak bola disediakan," kata Pardede.
Toh ada juga yang gagal di tangan Pardede. Yakni mencukongi
koran. Tahun 1960 ia memodali koran Patriot. Lenyap koran ini
lahir koran Berdikari, (1966). Gagal lagi dan ia memodali koran
Warta Sumatera. Koran ini pun mati, 1975, dan kembali Pardede
memodali koran Proklamasi, yang bangkrut juga, 1976. Akhirnya,
ia putuskan menjauhi bisnis penerbitan. "Saya gagal karena tak
bisa campur tangan di bidang redaksi," katanya.
Tapi kenapa ia begitu getol memodali koran sampai empat
penerbltan tak putusputus? "Saya melihat aspek politisnya, bukan
bisnis. Terjun di politik tanpa surat kabar rasanya seperti nasi
basi," katanya. Pardede dikenal sebagai tokoh PNI dan mungkin
karena itu, tahun 1966, Bung Karno mengangkatnya sebagai menteri
negara urusan berdikari - yang tak sampai setahun karena kabinet
itu bubar. Pernah pula duduk di DPR mewakili PNI lewat Pemilu
1971. Ketika Pemilu 1977, dengan bendera PDI Pardede tampil pula
sebagai calon Nomor untuk Sum-Ut. Tapi ia melepaskan haknya
menjadi anggota DPR - tak dijelaskan alasannya.
Kini ia mencurahkan perhatian pada rumah sakit, Universitas
Darma Agung, dan Universitas HKBP Nommensen, keduanya di Medan.
Tidak sebagai dosen walaupun Pardede menyandang gelar Doktor
Honoris Causa dalam Ilmu Perekonomian dari Universitas Takushoku
(1967).
Setiap subuh ia memeriksa RS Herna (dari singkatan nama
istrinya). Siang tidur sebentar, sore bermain golf di belakang
hotelnya. Malam tidur di samping makam istrinya. Di sela-sela
waktunya itu, staf ahli dan pembantu di berbagai perusahaannya
datang melapor, dan T.D. Pardede mengambil keputusan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini