DARI mana datangnya kultus? Kenapa seorang pemimpin bisa dipuja-puja di suatu zaman ketika nabi tidak ada lagi? Mungkin Kim Il-sung tahu jawabnya. Di depan Museum Revolusi di Pyongyang, berdiri tegak arca pemimpin Korea Utara itu setinggi 20 meter. Di tiap kelas, di tiap sekolah, anak-anak Korea Utara bersumpah di depan patung putih Kim yang ditaruh pada beledu merah. "Tujuan tertinggi pendidikan kami," kata seorang guru kepala kindergarten kepada wartawan Die Zeit yang berkunjung, "ialah menyatakan rasa terima kasih rakyat kami, secara setia, kepada Bapa Agung Kim Il-sung." Maka, tiap hari ulang tahun Kim, seluruh negeri mengadakan upacara. Ketika umurnya mencapai 70 tahun, koran resmi Rodong Shinmun menulis puja-pujaannya satu halaman penuh: Tersebut ia mengubah pasir jadi padi membuat bom dari batang pohon tinggi Dan agaknya khas Kim Il-sung, bukan cuma pemimpin besar itu sendiri yang disanjung. Juga kakek Kim, nenek Kim, bapak Kim, emak Kim, mendiang istri pertama Kim dan, kemudian, anaknya, diriwayatkan sebagai tokoh-tokoh gemilang dalam sejarah perjuangan bangsa. Terutama si buyung, Kim Chong-il, yang kini berumur 44 tahun. Tokoh yang disiapkan menggantikan papinya ini kini sudah disebut sebagai "Pusat Partai yang gilang-gemilang". Tak mudah memahami kenapa semua itu bisa terjadi. Tapi, bagaimanapun juga, kultus di Korea Utara hanyalah salah satu bentuk puncak dari yang sebelumnya pernah ada, di tempat lain. Kita ingat Stalin, kita ingat Mao. Kita ingat Bung Karno. Stalin punya sejumlah gelar, bukan cuma "Pemimpin Besar Rakyat Soviet". Jika kita bisa percaya pada buku sejarah yang ditulis Anton Antonov-Ovseyenko, semuanya ada 24 titel pada pemimpin ini. Ada misalnya yang menyebut Stalin sebagai "Genius Umat Manusia", "Cahaya Pembimbing Ilmu", dan "Ahli Agung Dalam Hal Keputusan-Keputusan Revolusioner Yang Berani". Di Indonesia sendiri, Bung Karno disanjung dengan sebutan "Pemimpin Besar Revolusi", "Penyambung Lidah Rakyat", "Nakoda Agung", "Wartawan Agung" dan sederet yang lain lagi. Mao Zhedong tak punya nama pujaan sebanyak itu, tapi kita tidak bisa mengatakan bahwa dia tidak mengembangkan kultusnya sendiri. Sebab, pemujaan tak selamanya disertai gelar berangkai-rangkai, dan adanya gelar tak selalu berarti adanya kultus. Raja-raja dalam sejarah Jawa menyandang julukan yang menggelegar, misalnya Senapati Ing Alaga Sayidin Panatagama, ataupun Paku Buwana. Di Sumatera Barat gelar bahkan bisa diberikan tak perlu kepada seorang raja, meskipun dengan kata-kata yang hebat seperti Sutan Manjinjing Alam. Dalam kasus-kasus ini, sang tokoh tak sampai disembah. Ia cuma dihormati. Mao jelas lebih dari cuma sekadar dihormati. Para Pengawal Merah yang dierahkan tak hanya berhasrat menghafal tiap ucapannya. Mereka juga menyebutnya Matahari Yang Tak Pernah Tenggelam". Siapa yang beruntung dapat menyalami tangan Sang Matahari akan dicari rekan-rekannya untuk disalami -- agar mereka ini pun dapat, biar sedikit, merasakan bekas tangan Juru Mudi Agung itu. Seperti dulu di Cirebon: sejumlah istri pejabat berebut berguling-guling di tempat tidur yang malam sebelumnya jadi peraduan Bung Karno.... Tak aneh sebetulnya: Elvis Presley, Thc Beatles, dan Mick Jager juga punya "grupi" mereka. Seorang gadis konon pernah menyimpan beberapa helai rumput yang baru saja diinjak sepatu John Lennon. Dengan kata lain, memang ada pemujaan yang tulus, yang tak ada hubungannya dengan pengaruh kekuasaan yang besar. Manusia bisa dengan blo'on sekali merindukan Sang Bapa atau Sang Terkasih, yakni pengejawantahan segala hal yang diidamkan. Dan ketika Tuhan tak diyakini lagi atau disingkirkan dari perbendaharaan kata -- misalnya seperti di Korea Utara itu -- Sang Bapa dan Sang Terkasih pun hadir dalam sosok orang semacam Kim. Maka, beruntunglah yang percaya bahwa Tuhan tak bisa digantikan dan nabi tak ada lagi. Sebab, dengan itu ia bisa pas memasuki "zaman analisa" ini, ketika doktrin dan kultus disoroti secara kritis dan ketika tiap tokoh diurai-jajaki jiwanya sampai ke dalam. Bukankah Freud telah bicara tentang libido, dan Marx telah bicara tentang tak adanya manusia yang bebas dari sejarah sekitar? Memang tak ada lagi manusia serba luar biasa: Superman pun datang dari planet Krypton, dan itu cuma khayal. Sayangnya, negeri-negeri totaliter bisa menampilkan mahamanusia dari Mangyongdae di dekat Pyongyang atau nabi baru dari Hunan. Di situ, "zaman analisa" dihentikan. Pikiran kritis mati. Ajaran pun dijejal-jejalkan, dan kultus disemarakkan, dengan rasa hormat dan takut. Mereka seperti lupa bahwa semua ini tak bisa untuk selama-lamanya, tak bisa. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini