Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kuningan mampang

Jakarta telah membangun jalan layang serta gedung-gedung modern. penduduk semakin tergusur ke pinggir. masalah penggantian tanah serta ganti rugi mewarnai suasana kota. (kl)

18 Mei 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBAGAI anak kampung pinggiran Jakarta, tentu saja saya sangat terpesona melihat bangunan jalan-jalan di Bangkok. Sepanjang jalan dari airport ke kota, mata saya tak sekejap pun berkedip. Bangunan-bangunan jembatan yang kukuh melingkar-lingkar, sementara kendaraan lalu lalang. Rasa terpesona ini semakin menjadi-jadi ketika kendaraan yang saya tumpangi merambat jalan-jalan layang Tokyo. Jalan yang bertumpuk-tumpuk - lebih mirip kandang semut - menerobos suasana privat kamar-kamar flat yang menjulang. Sambil melintas, saya bisa melongok ke jendela-jendela kamar flat yang terbuka, betapapun tmggmya. Entah mengapa, saat itu saya Jadi ingat Mampang dan Kuningan. Belakangan, setelah dua jembatan layang selesai, kebanggaan akan Jakarta pun hinggap di benak saya. Pendakian deras kendaraan, melintas jembatan layang Pancoran dan perapatan Cililitan, menimbulkan rasa nikmat tersendiri. Dan ketika malam, lampu-lampu jalan berbinar-binar, memperlihatkan konstruksi bangunan jembatan yang kukuh. "Inilah Jakarta," seru saya dalam hati. Tapi selalu ada rasa asing setiap saya melintas daerah perapatan Kuningan. Di sini satu lagi jalan layang sedang dibangun. Saya melirik ke arah Mampang. Sebuah jalan telah dilapangkan, tembus ke perapatan Kuningan. Jalan itu menerobos sebuah permukiman. Di situ Pak Kahar Masyhur, guru bahasa Arab saya di Taman Pendidikan Al-Falah, tergusur. Dan sebuah sekolah aliyah tergores tepinya. Inilah daerah Kuningan Barat, tempat Fathurrahman bersemayam. Dari rumah anak penjual susu sapi ini, dulu, kami bergerak ke Kuningan Timur, menyusuri semak-semak dan kebun-kebun orang. Di sana Pak Chaironi, guru ilmu hayat, melangsungkan pernikahannya. Sebuah rumah besar dikelilingi pepohonan rimbun. Kini daerah itu lenyap - hanya dalam sepuluh tahunan. Ada orang Turki di situ yang membangun kedutaannya. Ada Hilal, tokoh mahasiswa ITB (1978) yang saya kagumi, dan ada Adi Sasono. Keduanya berkuasa di Setiabudi Building. Ada gedung mahasiswa dan berbagai gedung lain yang aneh-aneh. Dan di tengah terik mentari, saya tegak di tepi perapatan Kuningan. Sambil menyaksikan pembangunan Jalan layang - dengan suaranya yang berdentam-dentam - saya melihat reruntuhan rumah. Dulu sekitar itu adalah daerah belakang kampung Kuningan Barat. Ada sumur-sumur penduduk, ada anak-anak kecil mandi, ada perempuan-perempuan mencuci beras. Dan dari dapur-dapur rumah, sore hari, keluar kepulan asap: bau nasi segar, sayur asam, serta sambal terasi menerawang ke mana-mana. Ada sebuah masjid. Menara dan gentingnya rusak di masjid inilah dulu saya berpidato dengan Fathur. Pidato saya datar, sementara Fathur bergelombang. Masyarakat lebih menyenangi Fathur, tentunya. " Ya ayyuhallaziina aamanuu !" seru Fathur dengan gaya. "Wahai orang-orang beriman !" Tumitnya terangkat, tangan kanannya membentang ke atas, menirukan gaya pidato Ustad Abdussalam Djailani, ulama Mampang dari Warung Buncit. "Kutiba 'alaikumusshiaam. Kamaa kutiba 'alallaziina min qablikum. La'allakum tattaquun." "Telah dituliskan untuk kamu kewajiban puasa, sebagaimana telah dituliskan untuk orang-orang sebelum kamu, agar ...." Waktu itu memang menjelang bulan Ramadan. Dilindungi gedung HKTI, tempat seminar-seminar dan kerja intelektual berlangsung, saya melangkah. Ke tempat Fathur. "Abis semua...," ucap Fathur, memelas dan amat perlahan seperti kepada diri sendiri. Matanya memandang sekeliling, seakanakan tldak percaya melihat perubahan yang terjadi di kampungnya. Saya berdiri, melangkah ke luar. Dan, memang, saya tidak melihat sapi-sapi perah lagi. Padahal, dulu tempat ini pusat produksi susu. Kandangnya pun sudah tak terlihat. Udara bertiup, tapi terasa panas. Tanpa pepohonan. Punggung saya basah. Matahari menyengat. "Mengapa saya usulkan supaya Fathur tanya kepada Edward teman sekolah di Al-Falah dulu, tentang pengasingan orang-orang Mampang dan Kuningan, dan soal penggantian tanah dan milik mereka yang tergusur, yang sebagian sampai kini belum juga selesai? Apa kuasa Edward? Dia 'kan cuma pegawai kecil di DKI?" tanya saya dalam hati. "Tapi kepada siapa lagi? Siapa yang mau mendengar mereka? Bukankah yang membangun Jakarta semuanya orang pendatang? Bahkan juga dari Korea dan Jepang? Mereka tak punya kesadaran empiris tentang perkembangan masyarakat ini. Bukankah wajar kalau mereka tidak merasakan apa-apa?" Tanya jawab seperti ini silih berganti melintas dalam benak. "Yaa ayyuhallaziina aamanuu!" saya mengenang pidato Fathur. Dan perkauman agamis itu menyimak dengan takzim. Kini, satu demi satu, anggota perkauman itu menyusut, terhisap dinamika pembangunan dengan proses-prosesnya yang rumit. Terbayang oleh saya reruntuhan perkampungan orang-orang Melayu di Singapura. Semua dipindahkan ke flat-flat. "Yaa ayyuhallaziina aamanuu... !" seru Fathur, kali ini samar-samar. Suaranya ditelan deru kendaraan berseliweran, produk negara Takeo Fukuda atau negara Paman Sam atau lainnya, yang makin lancar sarananya di sini. Dan dentam-dentam pembangunan jalan layang terus berbunyi. Siang, malam, tanpa henti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus