ISTORA Senayan, tanggal 30 Oktober 1976. Peristiwa: final beregu
Kejuaraan Karate Asia Pasific (APUKO) ke-II. Suasana: hening . !
Para pembaca yang tidak melihat pertandingan ini mungkin merasa
aneh. Jenis olahraganya keras, tetapi dalam babak final para
penonton kali ini terhenyak diam bercampur dengan rasa tidak
begitu percaya. Team Indonesia "hanya" merebut gelar juara II.
Rasa kecewa yang timbul ini hanya dapat dimengerti bila kita
mengikuti pertandingan-pertandingan sejak awal.
Pada hari pertama penampilan karateka Indonesia benar
merangsang. Mereka menunjukkan permainan yang agresif, selalu
memberikan tekanan-tekanan yang keras kepada lawan, tetapi tetap
sportif. Tino Ceberano (wasit Internasional, Presiden Federasi
Karate Australia) yang duduk di samping penulis tercengang
melihat kecepatan gebrakan karateka-karateka Indonesia.
Berkali-kali kata-kata fantastic, marvellous keluar dari
mulutnya. Prestasi team Indonesia menurut pendapatnya meloncat
jauh ke depan bila dibandingkan ketika dalam APUKO I di
Singapura tahun 1973 (Indonesia menduduki tempat ke-3).
Kecepatan maupun tehnik anak-anak Indonesia hampir tidak berbeda
lagi dengan karateka Jepang, demikian komentarnya.
Babak demi babak berlalu dengan cepat dan team Indonesia
mengalahkan lawan-lawannya dengan tetap bermain keras dan
bermutu, sehingga perasaan yang optimistis makin berkembang:
gelar juara pertama bukan mustahil dapat direbut. Lalu tiba
saatnya final beregu: Indonesia vs Jepang. Para tokoh karate di
belakang layar sebelumnya memang sudah memperhitungkan bahwa
team Indonesia sebaiknya tidak bermain agresif bila menghadapi
Jepang. Sebab makin agresif hta menyerang lawan, pertahanan kita
mau terbuka. Dan bila lawan dapat melepaskan diri dari
tekanan-tekanan ini, maka tsuki, maegeri ataupun
serangan-serangan lain dengan mudah dapat menembus pertahanan
kita. Pemain Jepang mampu melakukan hal ini. Mereka hampir
komplit: kecepatan stamina, counter atack yang jitu, hampir
selau mengambil keputusan yang tepat dalam memilih tehnik
serangan berikutnya dan yang tidak kalah berbahaya adalah bahwa
mereka juga pintar dalam mencuri kesempatan untuk "masuk".
Team Indonesia dalam babak final bermain tenang, tetapi tetap
tajam dan solid terutama dalam counter. Bahkan salah satu
serangan Advent Bangun betul-betul mengagumkan. "Kilatan"
maegerinya hampir sempurna bila saja kakinya dapat lebih
"menyodok" ke depan. Walaupun team Indonesia telah berusaha
secara maksimal tetapi akhirnya dalam final team Jepang merebut
tempat pertama setelah menundukkan Indonesia. Para hadirin
kecewa, soalnya perasaan optimistis sudah sempat berkembang.
Istora hening sejenak . . ., yah, seandainya karateka Indonesia
tampil dengan permainan agresif yang mengagumkan seperti pada
hari pertama itu. Melalui teori ini dapat dibayangkan pemain
Jepang jadi sibuk melayani tekanan-tekanan keras dari Indonesia.
Apalagi dengan sorakan mendukung dari penonton, maka permainan
tidak dapat lagi didikte oleh karateka-Jepang. Dalam keadaan
demikian tinggal faktor luck, mana yang dapat memasukkan
serangannya terlebih dulu. Taktik ini tentunya masih perlu
dibuktikan. Mungkin ada manfaatnya dipergunakan pada kesempatan
lain. Teori ini memang tidak terlalu muluk, tetapi walaupun
demikian penulis masih lebih condong pada taktik yang pertama
(tenang tetapi tajam) lebih-lebih bila dianalisa secara lebih
dalam. Pemain-pemain Jepang terutama Hamaguchi dan Murase sangat
pandai memanfaatkan setiap kelengahan dalam pertahanan. Dalam
keadaan statis maupun dinamis setiap saat mereka dapat "masuk"
seirama dengan kedipan mata (!).
Akhirnya, kalau Gubernur DKI Ali Sadikin pernah meminta agar
olahragawan-olahragawan Indonesia berusaha mencapai
(sekurang-kurangnya) prestasi Asia, maka para pembina karate di
Indonesia boleh berbangga carena Harmen dkk sudah
mendemonstrasikan kwalitas Asia dalam gelanggang APUKO II yang
lalu. Bravo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini