Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tahun Baru, Harga Sama

Para fabrika roti, biskuit dan mi memperoleh harga terigu yang sama dengan penyalur bulog. Tapi Bulog belum dapat menghapus dualisme harga antara penyalur dan fabrika sampai dengan 2 januari 1977. (eb)

25 Desember 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIRNYA, setelah tiga bulan berunding, keinginan para fabrikan roti, biskuit dan mi untuk memperoleh harga terigu yang sama dengan penyalur Bulog, terkabul juga. Tapi sayangnya, para fabrikan yang tergabung dalam asosiasi Robim itu tidak akan dapat menikmati boom Natal & Tahun Baru secara maksimal. Sebab "dualisme" harga antara penyalur dan fabrikan itu - yang sudah berlaku sejak Juli lalu-baru akan dihapuskan setelah Tahun Baru. Atau persisnya 2 Januari 1977. Mulai tanggal itu, terigu cap Cakra Kembar keluaran Bogasari misalnya, yang selama ini hanya boleh ditebus oleh anggota Robim seharga Rp 2552 per zak (a 22,68 kg) diturunkan oleh Bulog menjadi Rp 2452. Atau kurang lebih sama dengan harga terigu untuk penyalur yang kurang-lebih Rp 100 per kilo. Tak ada keterangan resmi yang menyertai keputusan Bulog tanggal 27 Nopember lalu itu. Para pengusaha juga tidak dibenarkan memberi keterangan berdasarkan konsensus rapat dengan Bulog. Namun umumnya mereka berpendapat, bahwa keputusan Bulog itu "baik dan realistis". Alasannya: "Orang kan tidak makan terigu sebelum diproses. Sedang konsumen terbesar dan kontinyu adalah pabrik-pabrik roti, biskuit dan mi itu". Berapa ton terigu yang ditelan asosiasi Robim itu tak dijelaskan. Tapi yang jelas, sistim dua harga yang sangat menguntungkan penyalur--dan juga ibu-ibu rumah tangga yang gemar bikin kue untuk hari-hari raya - sempat mengancam kelancaran produksi pabrik-pabrik. Sampai bulan lalu, sudah dua pabrik yang mati di Jakarta. Masing-masing pabrik mi Aroma dan pabrik roti Indo Bread. Maka selain menyelamatkan suasana kerja di pabrik-pabrik Robim dengan 20 ribu karyawannya itu, agaknya Bulog mau menghilangkan kesan "pilih kasih pada penyalur" seperti anggapan para fabrikan roti, biskuit dan mi itu. Kurus Apakah sistim satu harga itu akan lebih menguntungkan kedua fabrikan terigu, Bogasari dan Prima? Direksi Bogasari yang dihubungi TEMPO juga tak mau memberi komentar. Katanya: "kami tak berwenang memberi penjelasan" Sedang fihak Prima, itu pabrik PMA (Singapura) yang memprodusir terigu cap Prima, Olympic dan Kereta di Ujungpandang nenjawab: "semua keterangan harap tanya pada Bulog. Kami hanya menggiling biji gandum yang diimpor Bulog. Sedang harga, pemasaran dan distribusinya adalah urusan Bulog". Fabrikan terigu, menurut dia, harus menyesuaikan diri dengan ketentuan pemerintah. Berbeda halnya dengan pabrik-pabrik Bogasari di Tanjung Priok dan Tanjung Perak, pabrik terigu Prima yang mulai berproduksi tahun 1972 sampai kini belum mencapai kapasitas penuh. Pabrik seharga AS$ 9 juta itu punya kapasitas giling 1000 ton gandum atau 745 ton tepung terigu sehari. Tapi kapasitas yang dicapai baru sekitar 60%. Dengan kata lain, ada pengangguran sebanyak 40%. Menganggurnya sebagian mesin Prima di Ujung Pandang itu kabarnya karena pabrik itu hanya kebagian daerah pemasaran di luar Jawa & Sumatera yang relatif "kurus". Maklumlah, 70% dari 53 pabrik roti, biskuit dan mi yang bermesin lokasinya di Jakarta dan sekitarnya. Sehingga pabrik-pabrik Bogasari I & II yang sanggup menggiling gandum lebih dari 300 ribu ton setahun bisa meraih gelar pabrik terigu terbesar di Asia Tenggara. Sayangnya, monopoli pemasaran terselubung yang diberikan Bulog pada Bogasari belum menjamin stabilnya harga terigu di pasaran bebas. Bahkan sebaliknya. Kalau di tahun 1975 untuk terigu cap Cakra Kembar oleh Bulog ditetapkan harganya setinggi Rp 2100 per karung, sebelum lebaran yang lalu dinaikkan menjadi Rp 2552. Dan sampai minggu lalu menjelang Natal & Tahun Baru gejolak harga di pasaran bebas mencapai Rp 2625 per karung, bayar tunai. Walhasil dalam tempo setahun penduduk yang mulai menyukai terigu untuk selingan makanan pokoknya terpaksa menerima kenaikan harga sekitar 25%. Membonceng kenaikan harga terigu, pabrik-pabrik roti tentunya tidak mau ketinggalan. Sepotong roti manis/coklat keluaran pabrik Merbabu, Jakarta naik dari Rp 25 menjadi Rp 30 sejak dua bulan terakhir. Pedagang roti keliling yang menjajakan roti Tan Ek Tjoan, Bogor memasang tarif Rp 40 untuk sepotong roti manis yang tadinya Rp 35. Sementara roti tawar yang dulunya berharga Rp 150 kini dijual Rp 200. Kenaikan harga roti itu terasa lebih mahal lagi karena ukurannya pun mengecil. Dan meskipun harga baru untuk terigu sudah ditetapkan, para pedagang tentunya masih senang berspekulasi memanfaatkan nikmat Tahun Baru, mumpung masih ada waktu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus