AKHIRNYA, setelah tiga bulan berunding, keinginan para fabrikan
roti, biskuit dan mi untuk memperoleh harga terigu yang sama
dengan penyalur Bulog, terkabul juga. Tapi sayangnya, para
fabrikan yang tergabung dalam asosiasi Robim itu tidak akan
dapat menikmati boom Natal & Tahun Baru secara maksimal. Sebab
"dualisme" harga antara penyalur dan fabrikan itu - yang sudah
berlaku sejak Juli lalu-baru akan dihapuskan setelah Tahun Baru.
Atau persisnya 2 Januari 1977. Mulai tanggal itu, terigu cap
Cakra Kembar keluaran Bogasari misalnya, yang selama ini hanya
boleh ditebus oleh anggota Robim seharga Rp 2552 per zak (a
22,68 kg) diturunkan oleh Bulog menjadi Rp 2452. Atau kurang
lebih sama dengan harga terigu untuk penyalur yang kurang-lebih
Rp 100 per kilo.
Tak ada keterangan resmi yang menyertai keputusan Bulog tanggal
27 Nopember lalu itu. Para pengusaha juga tidak dibenarkan
memberi keterangan berdasarkan konsensus rapat dengan Bulog.
Namun umumnya mereka berpendapat, bahwa keputusan Bulog itu
"baik dan realistis". Alasannya: "Orang kan tidak makan terigu
sebelum diproses. Sedang konsumen terbesar dan kontinyu adalah
pabrik-pabrik roti, biskuit dan mi itu".
Berapa ton terigu yang ditelan asosiasi Robim itu tak
dijelaskan. Tapi yang jelas, sistim dua harga yang sangat
menguntungkan penyalur--dan juga ibu-ibu rumah tangga yang
gemar bikin kue untuk hari-hari raya - sempat mengancam
kelancaran produksi pabrik-pabrik. Sampai bulan lalu, sudah dua
pabrik yang mati di Jakarta. Masing-masing pabrik mi Aroma dan
pabrik roti Indo Bread. Maka selain menyelamatkan suasana kerja
di pabrik-pabrik Robim dengan 20 ribu karyawannya itu, agaknya
Bulog mau menghilangkan kesan "pilih kasih pada penyalur"
seperti anggapan para fabrikan roti, biskuit dan mi itu.
Kurus
Apakah sistim satu harga itu akan lebih menguntungkan kedua
fabrikan terigu, Bogasari dan Prima? Direksi Bogasari yang
dihubungi TEMPO juga tak mau memberi komentar. Katanya: "kami
tak berwenang memberi penjelasan" Sedang fihak Prima, itu pabrik
PMA (Singapura) yang memprodusir terigu cap Prima, Olympic dan
Kereta di Ujungpandang nenjawab: "semua keterangan harap tanya
pada Bulog. Kami hanya menggiling biji gandum yang diimpor
Bulog. Sedang harga, pemasaran dan distribusinya adalah urusan
Bulog". Fabrikan terigu, menurut dia, harus menyesuaikan diri
dengan ketentuan pemerintah.
Berbeda halnya dengan pabrik-pabrik Bogasari di Tanjung Priok
dan Tanjung Perak, pabrik terigu Prima yang mulai berproduksi
tahun 1972 sampai kini belum mencapai kapasitas penuh. Pabrik
seharga AS$ 9 juta itu punya kapasitas giling 1000 ton gandum
atau 745 ton tepung terigu sehari. Tapi kapasitas yang dicapai
baru sekitar 60%. Dengan kata lain, ada pengangguran sebanyak
40%. Menganggurnya sebagian mesin Prima di Ujung Pandang itu
kabarnya karena pabrik itu hanya kebagian daerah pemasaran di
luar Jawa & Sumatera yang relatif "kurus". Maklumlah, 70% dari
53 pabrik roti, biskuit dan mi yang bermesin lokasinya di
Jakarta dan sekitarnya. Sehingga pabrik-pabrik Bogasari I & II
yang sanggup menggiling gandum lebih dari 300 ribu ton setahun
bisa meraih gelar pabrik terigu terbesar di Asia Tenggara.
Sayangnya, monopoli pemasaran terselubung yang diberikan Bulog
pada Bogasari belum menjamin stabilnya harga terigu di pasaran
bebas. Bahkan sebaliknya. Kalau di tahun 1975 untuk terigu cap
Cakra Kembar oleh Bulog ditetapkan harganya setinggi Rp 2100 per
karung, sebelum lebaran yang lalu dinaikkan menjadi Rp 2552. Dan
sampai minggu lalu menjelang Natal & Tahun Baru gejolak harga
di pasaran bebas mencapai Rp 2625 per karung, bayar tunai.
Walhasil dalam tempo setahun penduduk yang mulai menyukai terigu
untuk selingan makanan pokoknya terpaksa menerima kenaikan harga
sekitar 25%.
Membonceng kenaikan harga terigu, pabrik-pabrik roti tentunya
tidak mau ketinggalan. Sepotong roti manis/coklat keluaran
pabrik Merbabu, Jakarta naik dari Rp 25 menjadi Rp 30 sejak dua
bulan terakhir. Pedagang roti keliling yang menjajakan roti Tan
Ek Tjoan, Bogor memasang tarif Rp 40 untuk sepotong roti manis
yang tadinya Rp 35. Sementara roti tawar yang dulunya berharga
Rp 150 kini dijual Rp 200. Kenaikan harga roti itu terasa lebih
mahal lagi karena ukurannya pun mengecil. Dan meskipun harga
baru untuk terigu sudah ditetapkan, para pedagang tentunya masih
senang berspekulasi memanfaatkan nikmat Tahun Baru, mumpung
masih ada waktu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini