BARANG kerajinan Bali kini sedang diarahkan ke babak baru:
ekspor. Macam-macam usaha menuju langkah itu tengah dilakukan
antara produsen, eksportir, pemerintah dan juga fihak luar
negeri sebagai calon pembeli. Di Pusat Kesenan Denpasar 8
sampai 12 Desember lalu, jenis barang kerajinan yang cukup
potensiil dipamerkan. Juga diselenggarakan diskusi yang membahas
soal produksi, pembiayaan, pemasaran, angkutan, pembinaan mutu
dan peningkatan ketrampilan pengusaha. Namun dalam Pekan Ekspor
Hasil Kerajinan dan Industri Bali itu, rupanya hanya dua masalah
yang dibicarakan secara teliti dan serius: pelayanan ekspor dan
peningkatan mutu.
Pande Wayan Nonik, pengusaha pertemuan di kota Gianyar,
beranggapan mengalirnya hasil kerajinan Bali ke luar negeri
masih dalam taraf "barang suvenir'. Tapi diakuinya
barang-barang kerajinan yang dibeli via para turis itu kemudian
beroleh nama di luar negeri. Berdasarkan pengalaman Nonik,
banyak juga pesanan dari luar negeri. Baik dari para turis yang
datang sebelumnya maupun berkat promosi turis itu di negerinya.
"Sayangnya pesanan itu tak semuanya bisa dilayani, karena para
produsen belum merangkap sebagai eksportir. Yang ada baru
pengakuan sebagai usaha industri", katanya.
Tapi menurut Kepala Kanwil Departemen Perdagangan Bali, "saat
ini ada 82 eksportir yang sudah memiliki Angka Pengenal Ekspor
(APE) di Bali. Dan mereka sudah mengekspor barang-barang
kerajinan Bali ke luar negeri".
Hasil kerajinan memang tak bisa disamakan dengan hasil pabrik
yang bisa ditentukan denan cermat besar produksinya. Tapi
tergantung dari rajin atau malasnya pengrajin. Maka
sesungguhnya, yang paling tepat mengekspor hasil kerajinan
adalah produsen sendiri. Setidaknya gabungan antara beberapa
produsen yang didukung unit-unit produksi.
Langkah ke arah itu - khususnya di bidang pertenunan - sudah ada
titik terang, ketika 25 Nopember lalu terbentuk PT Sanjiwani
sebagai hasil usaha penjajagan antara Badan Pengembangan Ekspor
Nasional (BPEN) dan swasta. PT ini selain maksudnya mengekspor
hasil kerajinan tenun, juga membina pengrajin dalam pencelupan,
motif dan disain misalnya. Tapi untuk menenunnya tetap merupakan
usaha industri rumahan yang tersebar di masyarakat. Hanya saja
ATBM (alat tenun dari kayu) yang selama ini berukuran 60 senti
akan diganti menjadi 105 senti. Dan dijanjikan dalam masa 5
tahun mulai sekarang akan dibagikan 100.000 ATBM jenis besar
itu, yang menelan modal sekitar Rp 800 juta.
Dari Solo
Kepada masyarakat pendukung PT itu juga dijanjikan pemberian
bahan baku dan perangsang masing-masing anggota Rp 120.000.
Dengan motif, bahan baku dan disain yang sudah ditentukan, para
pengrajin mudah-mudahan tak perlu cemas lagi hasilnya menumpuk
tanpa pembeli. Sebab PT itulah yang nanti akan mengumpulkan
produksinya, yang akan mencarikan bahan baku dan sekaligus
mengekspornya. Disebut-sebut PT Sanjiwani yang sudah berdiri
namun belum beroperasi itu punya pendukung 3.000 pengrajin plus
beberapa usaha pertenunan yang tersebar di kabupaten Badung,
Gianyar dan Bangli. Direksinya adalah pimpinan Bank Indonesia
Cabang Denpasar yang langsung di tunjuk pemerintah.
Ada juga pertenunan yang maju dan boleh dibilang dalam beberapa
hal mampu berdikari. Pertenunan Togog Yang mulai berdiri sejak
1953 dengan 25 ATBM, kini memiliki 400 ATBM. Menurut pemiliknya,
Nyoman Gde Maruta, hasil sehari rata-rata 1.600 meter dengan 900
pekerja. Banyak di antara pekerja masih di bawah umur, antara 10
sampai 15 tahun, dengan upah sehari rata-rata 300 perak.
Bahan baku juga tak lagi jadi soal bagi banyak pemilik
pertenunan. Mereka biasa memakai benang tenun asal Jepang dan
RRT. Tapi untuk mengimpornya tak usah pesan jauh-jauh. Cukup
membelinya dari Solo yang terkenal menampung benang tenun dan
cat dari luar negeri. Sayangnya, produksi benang tenun keluaran
Patal Cilacap dan Tohpati tak bisa digunakan karena dianggap
terlalu kasar hingga tak cocok untuk membuat tenun ikat.
Kabarnya pesanan tenun ikat semakin besar. Disebut-sebut Jepang
telah meminta 10 ribu meter untuk dibuat kimono. Begitu pula
beberapa negara Eropa. Ketika pembicaraan sudah sampai di situ,
tampillah Iwan Tirta. Komentarnya: "Jangan paksakan diri kalau
kita merasa belum mampu melayani permintaan, Sebab yang kita
jual bukanlah barang seni yang tak bisa diproduksi secara
masal".
Betul juga. Tapi mengapa patal Tohpati tak memproduksi kebutuhan
ATBM di daerahnya? Kepada TEMPO seorang staf humas patal itu
merasa tak kuasa memberikan keterangan. "Di sini ada ketentuan
setiap keterangan pada pers hanya diberikan setelah ada
persetujuan atau izin dari direksi di Jakarta" katanya. Patal
Tohpati sampai sekarang mengolah jenis kapas dari Amerika yang
menghasilkan benang tenun nomor 40/2 ke bawah. Sedang yang
dibutuhkan penenun Bali adalah nomor 70/2 atau 60/2.
Lain lagi kisah yang terjadi dengan ekspor patung atau perabot
berukir. Menurut bekas bupati Gianyar yang kini jadi eksportir
patung, sering ada pengaduan dari para pembeli di luar negeri.
"Patung diterima dalam keadaan retak", katanya. Tapi dia cepat
menyela, "itu bukan salah eksportir, namun para pengrajin
menerima bahan baku yang belum diawetkan", katanya. Sulitnya di
Bali kabarnya tak ada yang mampu membeli mesin pengering kayu.
"Itu membutuhkan modal besar", kata CV Satya. Dalam diskusi soal
pengeringan itu juga menjadi bahan perdebatan yang hangat. Dan
yang diperbincangkan bukan bagaimana caranya agar Bali bisa
memiliki mesin pengeringan kayu. Tapi adu argumen antara
dikeringkan dulu kayunya baru diukir atau diukir dulu baru
kemudian dikeringkan kayunya".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini