Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menunggu Sanjiwani

Pekan ekspor hasil kerajinan dan industri Bali di pusat kesenian Denpasar, Bali, selain memamerkan barang kerajinan juga menyelenggarakan diskusi yang membahas pelayanan ekspor & peningkatan mutu. (eb)

25 Desember 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BARANG kerajinan Bali kini sedang diarahkan ke babak baru: ekspor. Macam-macam usaha menuju langkah itu tengah dilakukan antara produsen, eksportir, pemerintah dan juga fihak luar negeri sebagai calon pembeli. Di Pusat Kesenan Denpasar 8 sampai 12 Desember lalu, jenis barang kerajinan yang cukup potensiil dipamerkan. Juga diselenggarakan diskusi yang membahas soal produksi, pembiayaan, pemasaran, angkutan, pembinaan mutu dan peningkatan ketrampilan pengusaha. Namun dalam Pekan Ekspor Hasil Kerajinan dan Industri Bali itu, rupanya hanya dua masalah yang dibicarakan secara teliti dan serius: pelayanan ekspor dan peningkatan mutu. Pande Wayan Nonik, pengusaha pertemuan di kota Gianyar, beranggapan mengalirnya hasil kerajinan Bali ke luar negeri masih dalam taraf "barang suvenir'. Tapi diakuinya barang-barang kerajinan yang dibeli via para turis itu kemudian beroleh nama di luar negeri. Berdasarkan pengalaman Nonik, banyak juga pesanan dari luar negeri. Baik dari para turis yang datang sebelumnya maupun berkat promosi turis itu di negerinya. "Sayangnya pesanan itu tak semuanya bisa dilayani, karena para produsen belum merangkap sebagai eksportir. Yang ada baru pengakuan sebagai usaha industri", katanya. Tapi menurut Kepala Kanwil Departemen Perdagangan Bali, "saat ini ada 82 eksportir yang sudah memiliki Angka Pengenal Ekspor (APE) di Bali. Dan mereka sudah mengekspor barang-barang kerajinan Bali ke luar negeri". Hasil kerajinan memang tak bisa disamakan dengan hasil pabrik yang bisa ditentukan denan cermat besar produksinya. Tapi tergantung dari rajin atau malasnya pengrajin. Maka sesungguhnya, yang paling tepat mengekspor hasil kerajinan adalah produsen sendiri. Setidaknya gabungan antara beberapa produsen yang didukung unit-unit produksi. Langkah ke arah itu - khususnya di bidang pertenunan - sudah ada titik terang, ketika 25 Nopember lalu terbentuk PT Sanjiwani sebagai hasil usaha penjajagan antara Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN) dan swasta. PT ini selain maksudnya mengekspor hasil kerajinan tenun, juga membina pengrajin dalam pencelupan, motif dan disain misalnya. Tapi untuk menenunnya tetap merupakan usaha industri rumahan yang tersebar di masyarakat. Hanya saja ATBM (alat tenun dari kayu) yang selama ini berukuran 60 senti akan diganti menjadi 105 senti. Dan dijanjikan dalam masa 5 tahun mulai sekarang akan dibagikan 100.000 ATBM jenis besar itu, yang menelan modal sekitar Rp 800 juta. Dari Solo Kepada masyarakat pendukung PT itu juga dijanjikan pemberian bahan baku dan perangsang masing-masing anggota Rp 120.000. Dengan motif, bahan baku dan disain yang sudah ditentukan, para pengrajin mudah-mudahan tak perlu cemas lagi hasilnya menumpuk tanpa pembeli. Sebab PT itulah yang nanti akan mengumpulkan produksinya, yang akan mencarikan bahan baku dan sekaligus mengekspornya. Disebut-sebut PT Sanjiwani yang sudah berdiri namun belum beroperasi itu punya pendukung 3.000 pengrajin plus beberapa usaha pertenunan yang tersebar di kabupaten Badung, Gianyar dan Bangli. Direksinya adalah pimpinan Bank Indonesia Cabang Denpasar yang langsung di tunjuk pemerintah. Ada juga pertenunan yang maju dan boleh dibilang dalam beberapa hal mampu berdikari. Pertenunan Togog Yang mulai berdiri sejak 1953 dengan 25 ATBM, kini memiliki 400 ATBM. Menurut pemiliknya, Nyoman Gde Maruta, hasil sehari rata-rata 1.600 meter dengan 900 pekerja. Banyak di antara pekerja masih di bawah umur, antara 10 sampai 15 tahun, dengan upah sehari rata-rata 300 perak. Bahan baku juga tak lagi jadi soal bagi banyak pemilik pertenunan. Mereka biasa memakai benang tenun asal Jepang dan RRT. Tapi untuk mengimpornya tak usah pesan jauh-jauh. Cukup membelinya dari Solo yang terkenal menampung benang tenun dan cat dari luar negeri. Sayangnya, produksi benang tenun keluaran Patal Cilacap dan Tohpati tak bisa digunakan karena dianggap terlalu kasar hingga tak cocok untuk membuat tenun ikat. Kabarnya pesanan tenun ikat semakin besar. Disebut-sebut Jepang telah meminta 10 ribu meter untuk dibuat kimono. Begitu pula beberapa negara Eropa. Ketika pembicaraan sudah sampai di situ, tampillah Iwan Tirta. Komentarnya: "Jangan paksakan diri kalau kita merasa belum mampu melayani permintaan, Sebab yang kita jual bukanlah barang seni yang tak bisa diproduksi secara masal". Betul juga. Tapi mengapa patal Tohpati tak memproduksi kebutuhan ATBM di daerahnya? Kepada TEMPO seorang staf humas patal itu merasa tak kuasa memberikan keterangan. "Di sini ada ketentuan setiap keterangan pada pers hanya diberikan setelah ada persetujuan atau izin dari direksi di Jakarta" katanya. Patal Tohpati sampai sekarang mengolah jenis kapas dari Amerika yang menghasilkan benang tenun nomor 40/2 ke bawah. Sedang yang dibutuhkan penenun Bali adalah nomor 70/2 atau 60/2. Lain lagi kisah yang terjadi dengan ekspor patung atau perabot berukir. Menurut bekas bupati Gianyar yang kini jadi eksportir patung, sering ada pengaduan dari para pembeli di luar negeri. "Patung diterima dalam keadaan retak", katanya. Tapi dia cepat menyela, "itu bukan salah eksportir, namun para pengrajin menerima bahan baku yang belum diawetkan", katanya. Sulitnya di Bali kabarnya tak ada yang mampu membeli mesin pengering kayu. "Itu membutuhkan modal besar", kata CV Satya. Dalam diskusi soal pengeringan itu juga menjadi bahan perdebatan yang hangat. Dan yang diperbincangkan bukan bagaimana caranya agar Bali bisa memiliki mesin pengeringan kayu. Tapi adu argumen antara dikeringkan dulu kayunya baru diukir atau diukir dulu baru kemudian dikeringkan kayunya".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus