Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun kunci untuk pembenahan sektor keuangan ada pada rekapitalisasi bankprogram yang kini layak dipertanyakan ketepatannya dan peluang keberhasilannya. Soalnya, di tengah kesemrawutan kerja BPPN, belum juga terlihat adanya titik-titik terang. Rekapitalisasi bank-bank pemerintah, misalnya, terus tertunda. Begitu pula rekapitalisasi bank swasta seperti Bank Bali dan Bank Niaga. Situasinya secara keseluruhan sangat tidak menjanjikan, sehingga wajar kalau Menko Ekuin terlihat gundah-gulana.
Ketika berbicara tentang bagaimana ia harus bernegosiasi dengan IMF awal Februari lalu, di layar kaca Kwik terlihat menyunggingkan senyum hambar yang tampak dipaksakan. Keterpaksaan itu rupanya terkait dengan IMF, kepada siapa ia harus patuh; kalau tidak, bantuan lunak tidak akan cair dan akibatnya anak-anak Indonesia tidak bisa bersekolah. Kwik mengakui ia terpaksa menjadi kacung IMF agar tidak terjadi lost generation di negeri ini. Dan juga agar defisit RAPBN bisa ditutupi sebagian.
Itulah dua dari setumpuk persoalan besar yang harus dihadapi Menko Ekuin. Segalanya memang serba sulit, sedangkan Kwik tampaknya belum memiliki tim yang tangguh dan terkoordinasi dengan baik. Padahal, kebijakan yang tepat dan tim yang hebat mutlak diperlukan agar ekonomi Indonesia bisa keluar dari belitan krisis.
Tim itulah barangkali yang belum dimilikinya, dan yang menyebabkan Kwik jadi pemurung. Atau mudah berang, seperti yang terlihat dalam rapat konsultasi dengan DPR pekan silam. Dan yang sebelumnya mencuat di Roma, ketika ia mempermalukan pengusaha Indonesia dengan tudingan mereka brengsek dan suka melakukan mark-up. Pernyataan ini, selain gegabah, juga merugikan pengusaha.
Hal yang sama terulang ketika Kwik berbicara tentang dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI), yang katanya sebagian dana itu masuk ke kantong pribadi dan dibagi-bagi antara direksi Bank Indonesia dan bank-bank penerima BLBI. Kwik juga bercerita soal kredit macet seorang pengusaha yang jumlahnya Rp 100 miliar tapi bank krediturnya cuma mewajibkannya mencicil Rp 500 juta per tahun. Ini berarti seluruh utang baru lunas dalam 84 tahun. Pengusaha maling dan bankir maling seperti itu tentu harus diserahkan ke polisi untuk diproses ke kejaksaan, terus ke pengadilan, dan akhirnya mendekam di penjara.
Kwik bukan tidak mengetahui mekanisme penegakan hukum seperti itu, tapi ia sudah menggebrak lebih dulu. Kwik tampaknya sangat marah. Tapi mungkin juga ini awal yang positif dari strategi mempercepat pemulihan ekonomi, yaitu membongkar kelemahan struktural di lembaga tinggi negara seraya mempermalukan para debitur dan obligor yang selama ini leluasa ber-KKN. Atau yang populer disebut sebagai obligor yang tidak kooperatif dengan pemerintah. Andai kata asumsi ini benar, agaknya dalam tiga bulan ke depan kita sudah bisa melihat titik-titik terang. Mudah-mudahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo