Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Taufiq Ismail punya resep. Senin pekan lalu, di SMU Islam Cipasung, Tasikmalaya, bersama "presiden penyair Indonesia" Sutardji C. Bachri, Hamid Jabbar, dan Agus Sarjono, mereka menggelar acara "Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya". Mereka membacakan puisi karya masing-masing. Siswa dilibatkan untuk berdiskusi.
Sambutan cukup luar biasa. Sekitar 2.000 siswa Cipasung itu betah duduk selama tujuh jam dan terus-menerus melontarkan pertanyaan. Seorang siswa mengaku karya-karya para sastrawan itu baru pertama kali didengarnya. Di sekolah, biasanya ia hanya menghafal judul buku dan nama pengarangnya. Mau baca? La, bukunya mana? Di perpustakaan sekolah tak tersedia banyak buku.
Sudah begitu, metode pengajaran sastra juga tak keruan. Seorang siswa bercerita tatkala ia mengikuti ujian bahasa Indonesia. Ada soal begini, "Apakah makna kata binatang jalang dalam puisi Chairil Anwar yang berjudul Aku?" Si siswa bukan harus menuliskan jawaban dalam esai, tapi harus memilih satu dari beberapa pilihan jawaban. Ganjil, memang. Sastra diperlakukan layaknya ilmu pasti.
"Perlakuan" buruk terhadap sastra itu diendus Taufiq sudah terjadi sejak 1950, saat penyerahan kedaulatan negara kepada Indonesia. Itulah awal ketika ilmu pasti dan sosial "didewakan". Tak ada lagi keharusan di SMU untuk melahap 25 buku sastra setiap tahun seperti di AMS (setingkat SMU) pada zaman Belanda.
Pelajaran mengarangyang kini diajarkan di Malaysia selama tujuh tahun dari SMP sampai SMAnyaris absen dari kelas-kelas siswa Indonesia. Akibatnya, kemampuan menulis ambruk, jarang lagi lahir para penulis kreatif. "Sebagai bangsa, kita lumpuh menulis."
Taufiq, yang membandingkan pelajaran sastra di sini dengan di 13 negara lain, menemukan bahwa siswa SMU Indonesia tidak sebiji pun diwajibkan membaca buku sastra. Sementara itu, di Malaysia dan Singapura mereka membaca enam buku sastra selama di SMU. Jangan bandingkan dengan siswa SMU di Amerika atau Prancis, yang membaca sekitar 30 buku sastra dan mendiskusikannya di kelas. Jangan kaget kalau anak-anak SMU di mancanegara itu dengan lancar bercerita apa isi Voina I Mir karya besar Leo Tolstoy, atau Faust milik Goethe.
Yang perlu "digarap" bukan cuma siswa, tapi juga mahasiswa dan bahkan guru sastra. Repotnya, di sini, Universitas Nasional Jakarta (dulu IKIP) sebagai "pabrik guru" tak menyediakan jurusan untuk mencetak guru sastra. Mata kuliah sastra ternyata hanya 21 kredit dari 144 kredit untuk meraih sarjana. Itu sebabnya Taufiq Ismaildisokong Ford Foundation dan Bappenasjuga membuat program untuk mahasiswa dan guru. Mereka sudah "mendidik" 400 orang guru SMU sejak April 1999. April mendatang, giliran Universitas Indonesia dan kampus lain dimasuki. Sementara itu, sejak Februari ini, dengan 37 sastrawan, Taufiq cs bersafari dan bicara di 30 tempat di 20 kota. Lumayan juga untuk "sekadar memercik air di tanah yang gersang".
Sapardi Djoko Damono optimistis cara yang dilakukan para sastrawan itu bisa membawa hasil walaupun tak seketika. Perubahan sistem pendidikan sastra di Amerika dilakukan selama 30 tahun. Dan itulah yang membuat negeri itu subur karya sastra bermutu tinggi.
Apa kata pihak Departemen Pendidikan? Menurut Boediono, Direktur Jenderal Penelitian Departemen Pendidikan Nasional, pihaknya memberikan pilihan untuk mengganti jam pelajaran sastra yang kurang itu dengan menambah buku-buku sastra yang berkualitas di sekolah-sekolah. Ini pun baru rencana.
Sebaiknya itu jangan ditunda lagi. Sebab, tertinggalnya urusan sastra ini, di mata Taufiq Ismail, adalah penyebab ketidakmampuan kita berbeda pendapat. Gampang ngamuk, main bakar, memuja api.
Laporan Ardi Bramantyo, Setiyardi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo