Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jenderal Wiranto barangkali bukan pengagum Maslow. Mungkin ia lebih tertarik pada Soeharto, bekas bosnya. Setelah sebagai Menko Polkam ia "digusur sementara" dari kabinet Gus Dur gara-gara dianggap terlibat "bumi hangus" Timor Timur, ia butuh alat untuk menjelaskan kepada rakyat luas bahwa ia tak bersalah. Wiranto pun sanggup membayar untuk itu.
Djody butuh sarana, Wiranto butuh alat, media televisi butuh dana masuk. Klop. Mereka berdua pun membeli waktu (to block time), dan publik pemirsa di beberapa stasiun televisi sekaligus "dipaksa" mengikuti "dawuh" Pak Djody dan Wiranto selama berjam-jam. Hak publik untuk memilih informasi agak "terganggu" malam itu. Kedua tokoh itu dengan leluasa bercerita apa saja di layar kaca. Bahkan, acara Djody lebih terkesan sebagai "pidato tunggal" ketimbang sebuah diskusi, walau dipandu Eep Saefulloh Fatah dan M. Sobarydua cendekiawan terkemukayang saat itu entah kenapa mendadak "tumpul".
Tapi, apakah Djody dan Wiranto tak boleh melakukannya? Boleh-boleh saja. Walaupun, untuk alasan ikut mencerdaskan pemirsa televisi, seharusnya pewawancara kritis bertanya sehingga sang tokoh tak asal goblek dan hak publik atas informasi yang benar tidak terganggu oleh kalimat-kalimat sang tokoh yang belum (atau tidak) dicek dengan kritis.
Yang harus dipersoalkan adalah etika media televisi. Dengan berbagai dalih, urusan duit di balik tayangan itu mungkin saja bisa diakalimisalnya pembelaan seorang direktur televisi bahwa Wiranto itu tokoh menarik sehingga layak tayang. Publik pun dengan gampang bisa dikibuli. Namun, kalau mau menegakkan etika dan menghormati hak pemirsa untuk tahu mana yang benar, seharusnya pihak televisi menjelaskan mana yang berita, mana yang berita berbau "iklan", agar masyarakat tak salah "beli".
Kalau ini pun tak dilakukan televisi? Sanksinya cuma kehilangan kredibilitas. Itu pun kalau masyarakat cukup kritis. Sanksi lain, barangkali, sebuah cap: bahwa televisi A adalah milik mereka yang "mampu membayar" saja.
Maka, sudah saatnya republik ini punya televisi publik, televisi yang benar-benar memihak kepentingan publik. TVRI mungkin bisa diarahkan ke arah ini, walau untuk itu dia harus disubsidi besar agar awaknya lebih profesional dan bisa menolak tayangan "pesan sponsor". Televisi swasta, yang menerima iklan, juga tayangan "setengah iklan", wajar saja bila diharuskan menyumbang ke TVRI, sebagai kompensasi TVRI tak menerima pemasukan iklan. Sebagai televisi alternatif, ia tak akan direcoki oleh banyak kepentingan pribadi-pribadi yang lagi butuh "pengakuan diri" atau butuh corong untuk ngomong kepada rakyat, atau mereka yang berani membayar mahal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo