KALAU Presiden Abdurrahman Wahid tetap saja ceplas-ceplos dan mengumbar kata-kata yang membuat masyarakat panik, sebaiknya ada yang mengalah, yaitu masyarakat itu sendiri. Artinya, marilah kita membiasakan diri dengan ucapan yang kadang menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat itu. Marilah kita membiasakan diri mendengar guyonan Presiden. Atau, membiasakan diri untuk tidak bereaksi terhadap ucapan itu. Kok, repot-repot. Kan, itu hanya canda.
Memang jadi serba sulit. Gus Dur sendiri tampaknya belum akan berubah. Butuh waktu lama untuk membiasakan diri menyaring kata-kata. Mana yang kurang perlu diucapkan dan mana yang perlu seperti tak ada sekat. Seperti pekan lalu, ketika Gus Dur tiba-tiba saja menyebutkan ada siaga satu di Jakarta, masyarakat menjadi panik, bursa saham guncang sesaat, ketegangan yang tak perlu pun terjadi. Padahal, ucapan Gus Dur itu dalam konteks yang lain, bukan semata-mata menyangkut rawan-tidaknya Ibu Kota.
Juga contoh lain. Misalnya, Gus Dur mengaku banyak mendapat informasi dari "intel NU" yang kemudian membuat repot pimpinan puncak NU. Atau, tiba-tiba Gus Dur menyebutkan ada rekayasa besar yang akan menjatuhkan dirinya dari tampuk kekuasaan. Kita sulit mendapatkan penjelasan, angin dari mana yang membisikkan informasi itu kepada Gus Dur sehingga kalimat-kalimat itu yang keluar. Yang repot kemudian adalah pembantu-pembantu presiden, untuk menjelaskan duduk permasalahan. Juga ikut repot pimpinan MPR dan DPR, yang kontan memberi jaminan tak ada rekayasa mendongkel kepemimpinan Gus Dur itu. Ini hanya sebagian dari "pekerjaan" yang tak perlu itu.
Tapi, kalau kita harus tidak menanggapi serius ucapan Kepala Negara, wah, repot juga. Omongan presiden, kok, dianggap angin lalu. Bahkan, mungkin bisa fatal. Dan ini bisa merepotkan Presiden sendiri kalau ternyata ucapannya kali ini serius dan harus dijadikan pegangan untuk dilaksanakan, sementara masyarakat luas sudah "diajari terbiasa" mengunyah guyonan Presiden. Berabe, memang.
Apa boleh buat, kita pun harus arif mencari jalan tengah. Sementara Gus Dur tetap seperti sekarang, para pembantunya—apakah itu menteri atau para sekretaris presiden—hendaknya bisa berkata "lebih tegas" kepada masyarakat, dengan kata-kata biasa, yang jauh dari guyonan, karena negeri ini bukan negerinya "ketoprak humor". Artinya, sekarang kita lebih baik mendengarkan kata-kata para pembantu presiden, yang tentunya berbicara dalam bidang tugasnya masing-masing. Bisa saja para pembantu presiden itu tengah menjabarkan ide-ide Presiden atau memberikan penjelasan tentang kebijakan yang diambil Presiden. Syukur-syukur kalau ada juru bicara khusus untuk tugas kenegaraan itu. Hanya dengan kata-kata yang lugas, jelas, tidak ngambang, masyarakat bisa menerima dengan tidak perlu panik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini