Pernyataan Kwik Kian Gie yang menolak bantuan Bank Dunia untuk Program Pengembangan Kecamatan memang sangat dilematis. Kwik, yang pendapatnya sering menyimpang ini, tidak seluruhnya salah, tetapi juga tidak seluruhnya bijak. Program Pengembangan Kecamatan adalah program yang berhasil, dan inilah salah satu program yang nyata-nyata dinikmati oleh masyarakat kelas bawah. Ada pasar desa yang tiba-tiba jadi bagus, ada air bersih yang tiba-tiba mengucur di pedesaan. Semuanya adalah fakta, tak bisa dibantah, meskipun di beberapa kecamatan program ini kurang berhasil.
Yang tidak salah dari Kwik adalah kalau program itu berhasil dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat pedesaan, kenapa tidak dicarikan sumber dana dari dalam negeri? Kenapa harus berutang ke Bank Dunia? Ini kerisauan Kwik lantaran utang Indonesia sudah begitu bejibun.
Jadi, inti penolakan Kwik semata-mata karena beban utang yang membesar. Lagi pula, trauma dalam masalah utang luar negeri yang mungkin mengganggu Kwik adalah dananya bocor ke mana-mana alias dikorupsi. Karena itu Kwik menyarankan dipikirkan dana pengganti, misalnya dari penjualan aset yang ada di Badan Penyehatan Perbankan Nasional.
Yang tidak bijak dari Kwik tentu saja ia menyamaratakan jenis utang dari luar negeri. Ia menutup mata bahwa bantuan Bank Dunia untuk program ini bunganya sangat lunak dengan tenggang waktu pengembalian yang panjang. Lagi pula, untuk ukuran besarnya, pinjaman ini jumlahnya tidak seberapa dibandingkan dengan proyek lain yang tidak langsung bersentuhan dengan rakyat kecil. Utang baru yang akan diteken nanti?yang ditolak Kwik?hanya sekitar Rp 2 triliun atau tepatnya US$ 220 juta.
Kebocoran dana juga jauh lebih kecil dalam program ini, lantaran ada pengawasan langsung dari masyarakat. Pengawasan itu terkait dengan partisipasi masyarakat dalam membangun proyek. Proyek yang dibangun dari program ini tidak seratus persen dananya disediakan, sehingga kekurangan dana dicarikan secara swadaya, dan penyertaan dana swadaya ini secara tidak langsung terkait dengan pengawasan.
Kalaupun Kwik dan jajarannya masih takut akan adanya kebocoran dana itu, kenapa tidak dipikirkan cara pengawasan yang lebih ketat? Ini tentu lebih bijak ketimbang menyetop bantuan yang ditunggu-tunggu masyarakat pedesaan.
Namun, ke depan, apa yang dirisaukan Kwik agaknya perlu dipikirkan bersama. Yakni, utang yang membengkak terus yang membuat kita kehilangan harga diri. Kwik yang juga politisi PDI Perjuangan ini betul sekali dengan mengatakan harga diri kita sebagai bangsa sudah jatuh di tangan kreditor luar negeri yang datang ke sini dengan pura-pura memberikan bantuan. Istilah donatur dan bantuan menurut politisi ini hanyalah pemanis kalimat pada saat memberikan pinjaman. Tetapi pada saat menagih utang, tidak ada lagi kata pemanis itu, para kreditor akan menagihnya dengan keras.
Syukurlah, Kwik bukan menolak dengan harga mati. Ia akhirnya setuju dengan memberikan beberapa catatan. Entah apa catatan itu, karena persetujuan pinjaman baru dilakukan pekan ini. Dan yang penting, kebijakan menerima atau tidak menerima pinjaman itu bukan di tangan Kwik, karena Bappenas hanyalah sebagai perencana program. Kebijakan persetujuan pinjaman ada di tangan Presiden dan Departemen Keuangan. Apakah karena tahu posisinya seperti itu Kwik lantas bersikap aneh?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini