KOMPETISI sepak bola antar-negara Eropa berlangsung di Portugal. Selain begadang sampai belekan, bertaruh kecil-kecilan (atau malah besar-besaran kalau Anda anggota sindikat judi bola), sesungguhnya Piala Eropa kali ini bisa kita jadikan momentum. Bukan, bukan momentum buat mengangkat sepak bola nasional yang nyaris membuat kita frustrasi itu (bayangkan, melawan tim anak kemarin sore Sri Lanka saja PSSI hanya menang satu gol!). Piala Eropa alias Euro 2004 bisa kita jadikan momentum menguji kemampuan dan sportivitas para kandidat presiden kita.
Caranya? Lima kandidat itu masing-masing diminta membentuk kesebelasan dan saling bertanding di lapangan hijau. Jangan dianggap main-main, ini bentuk kampanye yang pasti efektif. Ketimbang calon presiden berpidato di gedung pertemuan kosong atau penuh dengan massa yang dikerahkan (dan memberi "sedikit" ongkos hadir), pertandingan bola pasti akan menyedot ribuan penonton. Apalagi kalau pertandingan itu gratis. Daripada uang para kandidat dihamburkan untuk bikin kaus, bikin warung, bikin buku, bikin stiker, lebih baik dipakai membayar pemain sepak bola yang direkrut dalam tim kesebelasan kandidat itu.
Dari cara membentuk tim itu saja si kandidat sudah diuji kemampuan manajemennya. Akan kelihatan apakah kesebelasan SBY, misalnya, memang mengambil pemain-pemain yang paling berkompeten untuk posisinya, atau malah mengambil seorang gelandang yang hebat tapi kemudian dipaksakan bermain sebagai kiri luar. Akan kelihatan juga kalau tim Hamzah, misalnya, cenderung asal main sabet pemain bintang dan menggabungnya dalam satu kesebelasan. Hasilnya mungkin mirip cerita kesebelasan New York Cosmos, yang menghimpun hampir semua pemain beken dunia tapi ternyata tidak berprestasi baik.
Ujian lain adalah soal sportivitas. Akan ketahuan juga apakah satu kesebelasan memenangi pertandingan dengan cara menyuap pemain, menyuap wasit, atau kesebelasan itu benar-benar piawai dalam menggoreng bola. Jika terbukti menyuap, jelas kita layak meragukan bahwa dalam masa pemerintahan si kandidat nanti (kalau dia menang) urusan suap, sogok, korupsi akan dikikis habis.
Yang juga bisa diuji dari pertandingan bola adalah keberanian menerima kekalahan. Politisi Indonesia jarang mau menerima kekalahan. Kalau partainya kalah, yang suka digembar-gemborkan adalah partai lain berlaku curang—sesuatu yang mungkin benar. Dari sepak bola, mereka bila belajar. Seandainya kesebelasan Amien Rais menang, seharusnya sang lawan pada detik peluit panjang dibunyikan itu langsung menyalami si pemenang dan di stadion itu juga mengumumkan penghormatan untuk pemenang—seraya mengakui bahwa permainan si kalah lebih buruk hari itu. Penonton akan memberikan aplaus meriah dan bertepuk tangan panjang untuk sang pemenang. Dalam perjalanan pulang, tak akan ada insiden dan benturan.
Semua ini kalau kita mau sedikit bersibuk-sibuk mengait-ngaitkan Euro 2004 Portugal dengan pemilihan presiden. Kalau kita tak mau sibuk, ya, boleh-boleh saja. Kita tonton saja David Beckham, Raul Gonzales, atau Alessandro del Piero beraksi sampai pagi di layar televisi. Inilah waktunya para maniak bola merebut kembali televisi di rumah dari tangan istri—yang kena candu telenovela, sinetron misteri, atau acara berhantu-hantu yang konyol—atau dari tangan si bujang dan si gadis yang tengah mabuk AFI.
Dengan 31 pertandingan di televisi, baik langsung maupun ulangan, badan Anda pasti loyo, mata bengkak, muka Anda mungkin pucat. Tapi tetaplah datang ke tempat pemungutan suara pada 5 Juli nanti, setelah pertandingan final pada dini hari itu. Tetaplah mencoblos, walaupun di surat suara tidak ada foto David Beckham atau Luis Figo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini