BETAPA mulia semangat nasional dan cinta tanah air. Coba lihat Sargent Pepper yang stram as a rod memberi hormat kepada Stars and Stripes yang dinaikkan di Capitol Hill. Atau Colonel Beachcraft waktu mendengar lagu God Save the King. Lebih hebat lagi salut yang diberikan Graf von und zu Schweinefurt waktu beliau dengan suara sekuat terompet menyanyi Deutschland Deutschland uber alles. Lain Jan Krelis dari Krommenie. Waktu mendengar Het Wilhelmus, sangjan tidak menjadi dingin atau panas. Lagu itu cukup bagus, kata Jan Krelis, tapi terlalu panjang. Jumlah kuplet sama banyaknya dengan huruf Wilhelmus van Nassaue yaitu 17 biji. Kopi yang masih panas sudah dingin kalau nyanyian selesai. Daerah dalam negeri menurut Jan Krelis terlalu kecil, sehingga luar negeri terlalu besar. Tidak heran negara Jan Krelis (Belanda) pernah mempunyai dua menteri luar negeri. Kekurangan lain, kata Jan Krelis, Belanda tidak mempunyai pahlawan nasional. Satusatunya pahlawan ialah Piet Hein, seorang perampok yang mencuri uang dari Spagnol. Adakah perasaan yang lebih mulia dari cinta tanah air? Kekalkah perasaan itu?. Pernah dikatakan oleh Einstein, Prof. Drijarkara, dan saya sendiri bahwa satu tambah satu sama dengan dua, dan yang berjalan waktu hujan deras menjadi basah kuyup. Itu pasti. Yang tidak pasti, apakah rasa kebanggaan nasional perasaan kekal. Van Pcursen berpendapat bahwa mula-mula manusia bersatu dengan kosmos (pada zaman mitos), lantas menjauhkan diri dari kosmos (pemikiran ontologis dari para filsuf), dan akhirnya berpikir secara fungsional, yaitu mencari korelasi antara pelbagai data dalam usaha ilmiah zaman modern. Perkembangan itu diikutsertakan dengan perubahan dalam corak sosial. Mula-mula manusia bergaul dalam relasi kcluarga (Musa, Ibrahim, Yakub) keluarga menjadi suku suku menjadi daerah, dan daerah menjadi bangsa nasional. Kelahiran negara nasional agak modern:Jerman 1870, Italia 1890, India,Jepang, Pakistan, Indonesia pada abad ini. Mungkin sejarah tidak setop di stasiun ini dan corak nasional diikuti corak internasional. Kemarin, desa, kampung, daerah, dan negara besok, kontinen atau masyarakat mondial. Sudah ada badan tempat perkembangan ini diberi dasar hukum, yaitu badan tempat para ahli berkumpul menciptakan hukum internasional untuk laut, angkasa, dan perdagangan. Mungkin, karena itu, Jan Krelis tidak begitu panas kalau dia mendengar lagu kebangsaan. Negara Belanda salah satu corak nasional tertua dalam sejarah dunia - mungkin mereka sudah melihat cahaya dan mengerti kalau kita tidak mencapai dengan cepat suatu international understanding, nanti seluruh umat manusia hancur waktu itu the Day After dan hilang dari muka bumi di bawah naungan pelbagai nyanyian kebangsaan. Sudah ada bom komunis, bom kapitalis, dan nanti Pakistan mengharapkan membuat bom beragama. Bahaya itu hanya dikurangi atas dasar suatu corak internasional. Bisa jugakah persoalan ini diterangkan dalam cahaya ilmiah? Memang bisa, karena, menurut sang filsuf, perubahan sosial terjadi sesuai dengan suatu mekanika yang disebut dialektika infrastruktur. Contoh yang jelas dilihat bulan februari 1984, waktu para sopir truk pelbagai negara Eropa mogok karena benci proses panjang-lebar di perbatasan mengenai bea dan cukai atau izin ckspor-impor. Perbatasan ialah gejala nasional, sedangkan kepentingan sopir truk ialah gejala supranasional yang pertama berasal dari suprastruktur (negara, politik, hukum), yang kedua dari infrastruktur (produksi). Sang filsuf bertutur: kalau corak infrastruktur (keadaan produksi) tidak cocok lagi dengan corak suprastruktur (hukum, politik, ideologi), terjadi suatu perubahan, revolusi atau evolusi cepat. Tangan sopir truk lebih kuat dari tangan menteri kehakiman. Manusia harus makan, kalau tidak, dia tidak bisa omong atau berdoa. Gejala ini yang berdasarkan mekanika sosial cukup jelas untuk bangsa tua seperti Yan van Krommenie atau Piet van Krelis van het kalke piepske. Tapi bagi bangsa yang belum lama mendapat kemerdekaan, seperti India, Pakistan, Filipina, atau Indonesia, belum bcgitu jelas. Semangat nasional sering diperkuat xenofobia seperti di Tiongkok, Iran, atau Rusia. Bisa terjadi ambivalensi: terlalu memuji barang luar negeri, terlalu mengagumi prestasi negara asing, di lain pihak benci segala yang tidak dibikin dalam kampung kita sendiri. Padahal, sejarah tidak berhenti dan sejarah tidak tahu kasihan. Yang terjadi di Kamboja, Vietnam, atau Muangthai ialah kebakaran rumah sebelah, bukan urusan kita dan home sweet home, hujan batu di negeri sendiri, hujan emas di negeri luar, lebih baik negeri sendiri. Teori domino tidak berlaku dan setiap bangsa mungkin susah kecuali kita. Polpot membunuh tiga juta orang yang pakai kaca mata tapi hal itu statistik, dan buku Pin Ya Thai (Utopie Meutriere) tidak begitu mengesankan. Sampai akhirnya satu per satu orang datang mengetuk pintu: Son San, Heng Samrin, Thach, dan wakil Muangthai. Pintu diketuk, dan mau tidak mau harus dibuka. Itulah drama akulturasi, bukan komedi melainkan drama tragis. Seperti pemuda berubah menjadi laki-laki, kepompong berubah menjadi kupu-kupu, begitulah suasana mulia integritas nasional harus menghadap mekanika sejarah yang tidak tahu kasihan. Setiap perubahan, kata Agostino Gemelli OFM, ialah integrasi yang didesintegrasi menuju suatu reintegrasi yang baru. Dan desintegrasi ialah suatu krisis, suatu kemungkinan, tapi juga suatu bahaya. Tragedi bangsa-bangsa Rusia yang dipaksa masuk Uni Soviet, tragedi bangsa Amerika yang dihancurkan (Indian) atau disepak masuk Amerika Serikat, apalagi drama unifikasi Tiongkok, akan diulang dan diulang, kalau terjadi kelahiran masyarakat mondial, ketika tidak ada lagi Barat atau Timur, Selatan atau Utara. Yang mana lebih cepat selesai, superbomb yang direncanakan Rusia, yaitu die Bombe der Endlosung, atau masyarakat tempat semua bangsa duduk keliling satu meja bundar raksasa. It is Zero Hour. Jawaban hanya diketahui cucu-cucu kita kalau mereka diberi kesempatan hidup.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini