Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pepatah bahasa Latin corruptio optimi pessima—jika yang terbaik di antara kamu korup, itu yang terburuk bagi semua—tak cukup menggambarkan kebobrokan di PT Krakatau Steel Tbk. Apa yang terjadi di perusahaan baja negara ini jauh lebih buruk. Pimpinan Krakatau Steel selama ini terlihat kurang kompeten karena membawa perusahaan menuju bangkrut. Salah satu anggota direksinya bahkan tersangkut kasus korupsi karena diduga menerima hadiah dari perusahaan rekanan.
Utang Krakatau Steel hampir Rp 31 triliun, sementara arus kasnya per September 2018 hanya Rp 2,5 triliun. Angka itu setara dengan 12 kali pendapatan sebelum dipotong pajak, bunga, dan penyusutan (EBITDA). Para bankir paham, mereka akan cemas jika utang dibanding arus kas lima kali lebih besar karena hal itu menunjukkan tak imbangnya kecukupan biaya operasional dengan beban yang harus ditanggung perusahaan.
Pada Krakatau Steel, kondisinya jauh lebih parah. Utangnya macet ke sejumlah bank negara dan bank swasta. Sejumlah investasinya mangkrak karena tak ada perencanaan matang. Kita baru tahu hari ini, perusahaan sebesar Krakatau Steel yang berusia hampir setengah abad dan mempekerjakan 7.000 lebih karyawan itu tak punya departemen penelitian dan pengembangan. Setiap orang yang belajar manajemen tahu bahwa perusahaan dan organisasi yang berhasil selalu berinvestasi lebih di departemen ini.
Tugas membereskan pelbagai persoalan itu kini harus dihadapi Silmy Karim, yang diangkat menjadi Direktur Utama Krakatau Steel pada September tahun lalu. Tak cuma mengurus utang, ia juga perlu mengevaluasi investasi perusahaan ini, yang mandek karena kurang akurat menghitung perubahan pasar dan kemajuan teknologi. Bayangkan, salah satu anak perusahaan Krakatau Steel bergerak di bidang teknologi, tapi tak punya divisi yang meneliti dan mengembangkan produk yang menjadi bisnis utamanya. Yang terjadi bisa ditebak: banyak proyek mubazir karena produknya tak lagi sesuai dengan laju zaman.
Mismanajemen Krakatau Steel selama bertahun-tahun juga menunjukkan tak berjalannya pengawasan pemegang saham, yakni pemerintah, yang diwakili Kementerian Badan Usaha Milik Negara. Audit rutin pemegang saham tak menelisik jauh ke pokok masalah perusahaan ini sehingga penyakit menahun itu kadung merembet ke organ-organ pokoknya. Kasus Krakatau Steel mirip Asuransi Jiwasraya, yang baru terdeteksi tak bisa bayar premi setelah jumlahnya menggunung hingga puluhan triliun.
Upaya restrukturisasi utang dan jual aset Krakatau Steel yang dilakukan sekarang harus dilihat sebagai solusi jangka pendek dan perlu dihitung secara cermat. Penundaan bayar utang kepada bank negara mungkin bisa dilakukan karena pemegang sahamnya sama, tapi utang kepada bank swasta mesti ditinjau hati-hati karena bisa menimbulkan problem sistemis yang bisa merembet ke mana-mana. Menjual aset-aset penting Krakatau Steel juga akan meninggalkan problem lain yang serius: makin kolapsnya perusahaan ini karena tak punya sumber pendapatan.
Krakatau Steel adalah perusahaan besar yang punya aset strategis karena menjadi penopang utama pembangunan infrastruktur. Privatisasi Krakatau Steel mungkin jalan terbaik untuk mengembalikan nyawanya yang hampir melayang itu. Sebab, tak hanya mengembalikan utang, perusahaan ini perlu manajemen yang kuat dengan strategi bisnis yang mumpuni di tengah persaingan keras industri baja dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo