Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Memutus Siklus Intoleransi

Seorang seniman Katolik ditolak tinggal di Desa Karet, Yogyakarta. Pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia.

6 April 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Memutus Siklus Intoleransi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seolah-olah tak ada habisnya, untuk kesekian kalinya kasus intoleransi terjadi di Yogyakarta. Belum hilang dari ingatan kasus pemotongan nisan salib di Purbayan pada Desember tahun lalu, kini muncul kasus penolakan masyarakat Desa Karet, Bantul, terhadap seorang pendatang nonmuslim. Ini jelas merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia dan konstitusi.

Slamet Jumiarto, pelukis beragama Katolik, ditolak aparat Desa Karet ketika hendak bermukim di sebuah rumah yang sudah dikontraknya di sana. Aparat pemerintah setempat beralasan bahwa penduduk keberatan menerima pendatang nonmuslim. Bahkan pelarangan itu telah disepakati menjadi aturan yang disahkan Lembaga Pemasyarakatan Desa Kelompok Kegiatan Dusun Karet dan berlaku sejak 2015.

Pelarangan semacam itu, apalagi diformalkan dalam aturan tertulis, adalah pelanggaran ganda terhadap hak asasi manusia. Pertama, kebijakan desa itu melanggar hak setiap warga negara untuk bertempat tinggal di mana pun di wilayah Indonesia. Hak itu dilindungi dengan tegas oleh Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945. Aparat desa, sebagai bagian dari aparatur sipil negara, seharusnya justru menjamin hak itu terpenuhi.

Kedua, penolakan terhadap Slamet juga melanggar jaminan negara atas hak bagi setiap warga negara untuk beragama dan beribadah menurut keyakinannya. Aparat Desa Karet lupa bahwa konstitusi menjamin hak tersebut. Undang-Undang Hak Asasi Manusia bahkan menetapkan bahwa hak untuk beragama itu tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun.

Dengan parameter apa pun, keputusan Lembaga Pemasyarakatan Desa Karet, yang disahkan kepala desa, merupakan tindakan sewenang-wenang. Apalagi peraturan itu menetapkan, jika diizinkan tinggal di sana, setiap pendatang wajib membayar biaya administrasi sebesar Rp 1 juta. Mereka yang tak bisa membayar juga diusir dari desa. Ini jelas bentuk pungutan liar yang harus diberantas. Keputusan itu tak hanya zalim, tapi juga jauh melampaui kewenangan pemerintah desa.

Berbeda dengan kasus-kasus intoleransi sebelumnya, kali ini Pemerintah Kabupaten Bantul dan Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta bertindak cepat. Selain mencabut aturan diskriminatif di Desa Karet, Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X merilis Instruksi Nomor 1/Inst/2019 tentang Pencegahan Potensi Konflik Sosial. Meski isinya masih sangat umum, setidaknya kini ada pedoman jelas bagi aparat pemerintah untuk melarang segala jenis tindakan intoleransi di Yogyakarta.

Tapi itu saja tak cukup. Sri Sultan juga perlu menjatuhkan sanksi yang tegas bagi Kepala Desa Karet dan semua aparat desa yang terlibat dalam melahirkan aturan yang diskriminatif di wilayahnya. Hal ini diperlukan agar ada efek jera dan tak muncul kebijakan serupa. Pembiaran akan menyuburkan kesewenang-wenangan dan sikap intoleran yang berpotensi ditiru aparat di wilayah lain. Semua warga negeri ini berhak hidup tanpa diskriminasi.

Semoga saja kasus ini merupakan peristiwa intoleransi terakhir di Yogyakarta. Publik sudah lelah mendengar kabar buruk, dari pembubaran misa pagi di Gereja Santa Lidwina Bedog, pembubaran bakti sosial yang digelar Gereja Santo Paulus di Banguntapan, hingga pemotongan nisan salib di Purbayan. Saatnya Yogyakarta kembali menjadi daerah yang menghormati keberagaman dan melindungi warganya yang minoritas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus