Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kutipan & Album

Mismanajemen Di Krakatau Steel

PENYELAMATAN PT Kraka-tau Steel tak hanya berlangsung kali ini.

6 April 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tempo Doeloe

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada masa Orde Baru, pemerintah pernah mengganti pimpinan pabrik baja pelat merah itu yang dianggap melakukan kesalahan manajemen. Kesalahan itu dianggap fatal karena berdampak kerugian hingga ratusan juta dolar. Padahal pabrik tersebut belum beroperasi alias masih dalam proses pembangunan. Artikel majalah Tempo berjudul “Langkah Perbaikan untuk Cilegon” mengulas polemik itu.

Skandal itu terungkap ketika Presiden Soeharto memimpin rapat kerja keuangan dan perbankan. Ia menyinggung perilaku orang-orang yang menyelewengkan penerimaan dan kekayaan negara untuk hidup bermewah-mewah. Rupanya, pernyataan itu dilontarkan Soeharto selepas menerima laporan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Sumarlin, yang mengganti pemimpin Krakatau Steel, Marjoeni Warganegara, dengan Tunky Ariwibowo pada hari yang sama.

Marjoeni adalah insinyur asal Lampung dan dikenal di kalangan atas Ibu Kota sebagai “direktur yang suka naik helikopter”. Sebelum 1966, ia pernah menjadi kepala proyek pabrik besi baja yang semula hendak dibangun di Kalimantan Selatan. Adapun Ariwibowo, seperti Marjoeni, adalah bekas pejabat tinggi Departemen Perindustrian. Pria asal Malang, Jawa Timur, itu juga pernah menjabat kepala proyek pembangunan pabrik besi baja Cilegon.

Sumarlin, salah satu komisaris Krakatau Steel, tidak banyak bicara tentang penggantian direktur yang mendadak tersebut. “Pokoknya demi efisiensi dan perbaikan manajemen PT Krakatau Steel,” kata Sumarlin, yang tidak lupa menerangkan bahwa penggantian itu dilakukan “atas petunjuk Presiden”.

Seorang sumber menjelaskan bahwa Soeharto harus turun tangan menangani Krakatau Steel karena, “Ada banyak yang tidak beres di sana.”

Krakatau Steel didirikan empat tahun lalu untuk meneruskan pabrik baja Cilegon yang terbengkalai. Proyek kapiran warisan pemerintah Rusia dan Sukarno itu dibiayai pemerintah dan Pertamina dalam tiga tahap. Pada tahap pertama, yang seharusnya selesai tahun depan, pemerintah melalui Departemen Perindustrian sudah menyediakan US$ 500 juta untuk pendirian pabrik. Adapun US$ 500 juta lainnya ditanggung Pertamina untuk pembangunan prasarana.

Tapi apa yang kemudian terjadi? Proyek itu seperti “besar pasak dari tiangnya”, kata seorang pejabat yang meninjau ke sana, memakai pepatah. “Sampai sekarang baru fondasi pabriknya yang selesai,” ujarnya. Di tengah polemik itu muncul kecurigaan permainan sulap angka. Misalnya untuk pembangunan rumah dinas yang mentereng. “Menurut standar harga sekarang, biaya rumah itu Rp 100 ribu per meter persegi. Tapi yang disodorkan dua-tiga kali lipat.”

Ada juga yang menyoroti hubungan akrab Krakatau Steel dengan perusahaan raksasa Jerman: Siemens, Ferrostaal, dan Kluckner. Pada 1973, Siemens dipasrahi tugas mengerjakan instalasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) sebesar 3 x 80 megawatt. Untuk itu, penawaran yang disodorkan Siemens dan disetujui Krakatau Steel mencapai sekitar US$ 150 juta. Sedangkan berdasarkan hitungan waktu itu, kalangan yang mengetahui menaksir harganya tidak akan melewati US$ 50 juta.

Pembengkakan harga sampai tiga kali lipat itu terulang pada 1974. Ketika itu disetujui nilai kontrak pemasangan instalasi PLTU sebesar 2 x 80 megawatt yang konon tercatat US$ 200 juta lebih. Kontrak senilai US$ 200 juta dengan perusahaan Kluckner kurang-lebih sama. Agak lain dengan Ferrostaal. Sebagai direktur utama dalam Krakatau Ferrosteel, Marjoeni banyak meneken kontrak dengan partnernya itu. Seluruhnya kurang-lebih mencapai US$ 1 miliar.

Kontrak dengan Ferrostaal bukan kesalahan andai saja tidak mencakup proyek tahap kedua—yang teorinya akan dimulai tahun depan. Menurut sebuah sumber, Ferrostaal dilimpahi hak dalam menentukan pembelian, pemasangan harga, bahkan penjualan. Padahal perusahaan asal Jerman tersebut baru menyodorkan penawaran. Toh, oleh pimpinan Krakatau Steel, penawaran itu dengan mudahnya disetujui sebagai suatu kontrak tanpa banyak negosiasi.

Apakah dengan demikian yang ceroboh adalah perusahaan Indonesia yang tanpa pikir panjang menelan apa saja yang disodorkan orang asing? Sebuah jawaban menyangsikan: “Bagaimana mungkin bertepuk sebelah tangan?” Betapapun, disengaja atau tidak, “partner-partner” asing tersebut telah ikut membawa proyek besi baja di Cilegon makin terbenam dalam lumpur utang, yang akhirnya toh harus ditanggung Bank Indonesia.

 


 

Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi  26 April 1975. Dapatkan arsip digitalnya di:

https://store.tempo.co/majalah/detail/MC201212280025/bersama-bung-hatta-bung-hatta#.XKd_GNIzaUk

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus