Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Lear

Cerita karya Shakespeare ini banyak mengemukakan kritik sosial walaupun terselubung. Ditulis ketika perdagangan Inggris tumbuh dan status sosial penduduk membaik sebagai awal aristokrasi baru.

10 Maret 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SHAKESPEARE juga bicara kemiskinan dan keadilan. Dalam King Lear, raja tua itu berdiri di dataran yang dingin. Ia telah membagi kerajaannya kepada kedua putrinya, tapi ia merasa telah mereka khianati. Raja itu pun jadi sinting, bergelandang menadah topan dan hujan. Di situlah ia teringat akan mereka "yang bugil dan nestapa", yang "menanggungkan beringas badai yang tak berbelas" -- orang-orang yang kepalanya tak berumah dan perutnya tak beroti. Lalu ia pun berseru, agar yang berlimpah diguncang, hingga tertadah oleh yang tak punya, untuk "menunjukkan langit adalah adil". Shakespeare menulis King Lear ketika masyarakat Inggris berubah. Perdagangan tumbuh. Kapal niaga datang pergi lewat Sungai Thames. Kelas menengah, para saudagar, sedang naik. "London sangat kaya," tulis duta besar Italia waktu itu, "bukan hanya dari segi perdagangan besar dan jual-belinya dengan negeri lain, tapi juga dari privilese yang dinikmati oleh semua penduduknya..." Sang duta besar nampaknya tak tahu betapa banyak orang miskin di London saat itu, juga ketegangan sosial lain yang terasa. Bangsawan lama, yang tak begitu pandai mengelola kekayaan, tengah digantikan aristokrasi baru. Mereka ini yang membeli dan mengomersialkan tanah-tanah milik gereja yang dulu disita oleh Raja Henry VIII yang membangkang melawan Paus. Mereka agresif, maju -- dan tentu saja tak peduli akan orang yang menyewa tanah dengan tarif tinggi dan kemiskinan yang terjadi. Seorang pengkhotbah kemudian mengecam tipe "priayi baru" ini, our newcome gentleman, yang "menyangka bahwa kebangsawan bisa dibangun dari benda duniawi yang berlebihan". Tapi kaum aristokrasi baru inilah yang -- bergabung dengan para saudagar -- membentuk dukungan kukuh buat Ratu Elizabeth I. Dan seperti ditulis oleh Paul Siegel dalam satu telaah tentang masyarakat zaman Shakespeare, saat itulah para bangsawan istana menikmati monopoli dari Sri Ratu, dan bersekutu dengan "proyektor" atau saudagar yang punya modal. Dengan itu mereka menguasai pelbagai bidang industri. Tujuan Sri Ratu, tentu saja, adalah untuk melindungi industri ini dari persaingan. Tapi di akhir abad ke-16, Inggris mengalahkan Spanyol, dan ada yang bergerak di masyarakat. Perang dengan Spanyol memang berkobar atas nama Kristus, tapi di pihak Inggris, lebih banyak yang bersemangat menghabisi posisi istimewa Spanyol untuk berdagang budak dan emas ke Amerika. "Dunia-Baru" itu. Ketika Spanyol tak lagi jadi penghalang, kelas menengah Inggris pun kian yakin akan kemungkinan mereka berkembang. Suara mereka di parlemen mengeras. "Ini lebih mirip sekolah dasar ketimbang parlemen," tulis Cecil, Earl of Salisbury, aristokrat yang tak betah mengalami kegaduhan itu. Di tahun 1601, kritik terhadap pelbagai peraturan industri, terutama monopoli, kian sengit. Akhirnya Sri Ratu mengucapkan terima kasih kepada rakyatnya yang telah mengingatkannya akan soal itu. Ia tetap memegang hak prerogatifnya, tapi ia cabut beberapa monopoli yang banyak dikecam. Mungkin karena Sri Ratu tak ingin posisinya guncang dan kerajaan terancam. Ia sudah tua, dan orang belum pasti siapa pengganti Baginda yang tak berputra. Dalam sikap berjaga itu pula Sri Ratu memenjarakan Peter Wentworth, anggota parlemen yang mengusulkan agar ada undang-undang suksesi. Tapi toh akhirnya 24 Maret 1603, nyawa Baginda pergi tatkala ia duduk -- karena ia takut berbaring. Sesuai dengan pesan terakhirnya, Raja James diangkat. Zaman Tudor pun mulai tumbuh bersama kaum borjuasi dan pemegang monopoli baru. Di tahun 1605, Shakespeare menulis King Lear. Sastrawan sosialis George Orwell pernah mengatakan bahwa lakon ini banyak mengemukakan kritik sosial, meskipun terselubung. Agaknya benar, si Badut dalam Lear memang menyebut soal "monopoli" dan "tuan-tuan besar yang ingin kebagian laba", dan Gloucester, bangsawan tua yang dikhianati anak tirinya, berbicara tentang perlunya pembagian kekayaan yang akan "menghabisi keberlebihan" hingga "tiap orang berkecukupan". Syukurlah, King Lear tak dilarang. Shakespeare bukan Pramudya atau Rendra. Bahkan lakon itu dipentaskan di depan Raja di sekitar Natal tahun 1606. Toh Inggris dan sistem sosialnya tak runtuh. Shakespeare ikut menikmatinya. Dan kita hari ini tahu betapa beruntungnya dapat menemukan keindahan sebuah karya dan kearifan sebuah masa lalu. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus