"KONTRASEPSI tidak bertentangan dengan syariat Islam." Ini penjelasan Deklarasi Aceh, hasil Kongres Internasional tentang Islam dan Kebijaksanaan Kependudukan (KIIKK) di Lhokseumawe, akhir Februari lalu. Inti deklarasi ini anjuran mengikuti program keluarga berencana (KB). Tapi tidak dijelaskan apa yang dimaksudkan dengan kontrasepsi. Batasan urung digariskan karena ada perbedaan pendapat tentang pengguguran kandungan (isqath al-haml) yang juga bisa dikategorikan pencegahan kehamilan. Menurut Prof.Dr. Fouad Hefnawi, Direktur Pusat Studi dan Riset Kependudukan Islam Internasional di Universitas Al-Azhar, Mesir, penolakan aborsi sejalan dengan keputusan KIIKK tahun 1984. Aborsi tergolong pembunuhan. "Karena manusia terbentuk sejak rahim menerima air mani," kata Hefnawi. Aborsi boleh dilakukan jika si ibu terancam kematian. Pernyataan Hefnawi sama dengan kesimpulan musyawarah nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI), 1983. MUI malah menganggap aborsi adalah pembunuhan terselubung. Debat aborsi meledak pada diskusi pleno hari kedua KIIKK. Pasalnya, ada beberapa negara berpenduduk muslim sudah melegalkan aborsi. Misalnya Tunisia, Turki, dan India. Tunisia menghalalkan aborsi sejak 1970. Dasar kebijaksanaannya sebenarnya sama saja. "Kalau ada alasannya, misalnya nyawa si ibu terancam. Bukan untuk menekan jumlah penduduk," kata Dr. Neziha Mezhoud, 49 tahun, dokter spesialis jantung dan Ketua Persatuan Wanita Nasional Tunisia. Namun, menurut Neziha, laju pertambahan penduduk di Tunisia baru bisa direm justru setelah aborsi dilegalkan -- 6 tahun setelah KB dijalankan di Tunisia. Di India, aborsi mendapat legalisasi pada 1971. Seperti juga di Tunisia, aborsi langsung berkaitan dengan keberhasilan KB. Pertambahan penduduk jadinya bisa ditekan drastis. Legalisasi aborsi di Tunisia didasarkan pada Quran (surat al-Mukminun ayat 12-14). Ayat itu menegaskan, janin disebutkan bernyawa setelah berusia 4 bulan (120 hari). Turki menggunakan ayat yang sama untuk memperbolehkan aborsi. Namun, menurut undang-undang KB Turki, aborsi hanya boleh dilakukan atas kandungan di bawah 10 pekan (70 hari). Perdebatan tentang boleh tidaknya aborsi bukan hal baru. Para ahli hukum mazhab Hanafi berdebat sengit dengan kalangan ulama Syafii dan Maliki karena memberi hak pada wanita hamil untuk menggugurkan kandungan. Bahkan tanpa persetujuan suami. Sementara itu, dokter muslim terkemukaa Ibnu Sina berpendapat, "Kadang-kadang pengguguran kandungan perlu dilakukan." Di Kitab al-Qanun fi al-Thibb, buku kedokteran Islam klasik paling lengkap, filosof sufi ini menyebutkan alasan medisnya. Antara lain, apabila wanita yang hamil muda usia atau berbadan kecil. Ibnu Sina dikenal melakukan aborsi dengan memasukkan segulungan kertas ke rahim, atau bulu burung dan yang diolesi cairan untuk menggugurkan kandungan. Al-Razi dan Ibn Juma'i, juga dokter muslim terkenal menunjuk alasan yang sama dalam membenarkan aborsi. Dalam ilmu kedokteran modern dikenal dua jenis aborsi. Aborsi spontan, yakni kandungan gugur dengan sendirinya, dan aborsi provokatus yaitu pengguguran secara sengaja. Aborsi provokatus boleh dilakukan bila ada alasan medis. Misalnya kehamilan membahayakan nyawa ibu atau sang bayi cacat berat. Di luar alasan medis, antara lain untuk KB, konon, ada konsensus di kalangan dokter, batas usia kandungan untuk pengguguran: di bawah 28 pekan. Namun, inilah yang selalu menjadi pangkal perdebatan: pada usia berapa janin disebutkan manusia. Al-Razi dan Ibn Juma'i sepakat menetapkan batas 120 hari sesuai dengan Quran. Namun, perdebatan mazhab Hambali dengan ulama Syafii dan Maliki menunjukkan sulitnya mencapai kesepakatan dalam menentukan batas ini. Hal yang sama agaknya terjadi di KIIKK. Ahmadie Thaha dan Diah Purnomowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini