Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Barangkali, itulah penyebab diundurnya penyampaian laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dari jadwal semula, Jumat lalu. Tim yang dibentuk pemerintah dan dua pertiga anggotanya berasal dari kalangan non-pemerintah ini rupanya pecah di dalam. Setelah melakukan penyelidikan selama tiga bulan, kedelapan belas anggota tampaknya belum mencapai kata sepakat dalam menyimpulkannya.
Ada apa? Rupanya, soal mengenai jumlah korban yang berhasil didata dan kategori penggolongannya mencuatkan perbedaan pandangan. Juga soal sejauh mana tuduhan dapat dilontarkan kepada orang atau institusi berdasarkan data yang dijumpai di lapangan. Perbedaan ini lahir karena perbedaan kutub pemikiran, terutama di antara mereka yang konvensional dan mereka yang ideolog.
Bagi kelompok konvensional, kesimpulan yang didapat haruslah berdasarkan data pendukung yang kuat. Jika dari, katakanlah, 400-an laporan tentang korban pemerkosaan ternyata yang dapat diverifikasi hanya 16 laporan, maka yang dilaporkan adalah yang 16 itu. Tentu dengan catatan bahwa jumlah sebenarnya kemungkinan besar lebih tinggi lagi karena, di mana pun di dunia, kasus pemerkosaan selalu under reported. Apalagi jika definisi pemerkosaan itu dilonggarkan menjadi penyerangan seksual, pasti jumlah yang dapat dipertanggungjawabkan akan meningkat lagi, mungkin hampir mencapai 200. Di lain pihak, tudingan terhadap keterlibatan tokoh atau institusi juga harus didukung dengan fakta yang tinggi. Bila tidak, perlu diambil kebijakan untuk memegang prinsip praduga tak bersalah.
Prinsip inilah yang ditolak para ideolog. Bagi kelompok ini, proses verifikasi pemerkosaan terlalu membebani korban pemerkosaan yang sudah menderita trauma berat itu. Karena itu, upaya menemukan mereka untuk diverifikasi saja sudah dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Maka, ada kecenderungan untuk lebih mengandalkan laporan, kendati tanpa verifikasi. "Kami kan tugasnya mencari fakta, bukan bukti, kilah seorang ideolog.
Kilah ini tidak terlalu keliru jika ada kesepakatan tentang apa yang disebut "fakta". Namun, ternyata, inilah salah satu alasan yang menyebabkan rapat-rapat TGPF lantas menemui jalan buntu. Maka, timbul kekhawatiran bahwa perjalanan Tim akan beranjak ke sebuah keadaan yang mirip dengan judul sebagai novel terkenal di zaman dulu, sebuah "jalan tanpa ujung".
Bila ini terjadi, entah ke mana muka bangsa ini harus disembunyikan karena kredibilitas Tim akan hancur dan, dengan itu, turut karam pula citra pemerintah, bahkan juga bangsa. Ini jelas harus dicegah.
Salah satu cara adalah dengan mengundang tim internasional yang profesional dan kredibel, misalnya saja yang dinaungi oleh special rapporteur di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kehadiran tim ini diharapkan dapat menjembatani jurang antara kelompok konvensional--yang mungkin memiliki masalah kredibilitas di mata orang ramai karena kedekatannya dengan pemerintah--dan kelompok lembaga swadaya masyarakat yang cenderung nyaring tuduhannya tapi lemah dalam dukungan bukti. Dengan kata lain, politisasi dalam TGPF dapat dinetralisir.
Depolitisasi tidak selalu berarti negatif, terutama dalam upaya mengungkapkan suatu tragedi nasional. Sebab, tidak ada satu pihak pun yang pernah memegang monopoli kebenaran. Kebenaran itu ada di mana-mana, termasuk di tempat-tempat yang tidak kita sukai. Tugas Tim adalah mengumpulkan kebenaran itu. Tanpa kecuali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo