Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Andaikata Ktut Tantri masih ada, barangkali suhu amarah orang Bali hari-hari ini akan cukup untuk mendorong pengarang Amerika itu menulis lagi
Revolt in Paradise bagian kedua. Di luar dugaan, marahnya rakyat penganut Hindu Bali ini memuncak menjadi protes politik yang serius. Mereka mengancam akan melakukan pemboikotan umum pekan ini, serentak-- bila niat itu tidak berhasil diredam--di seluruh pulau penghasil utama devisa pariwisata Indonesia itu, kalau tuntutan mereka tak dipenuhi pemerintah Habibie. Yang dituntut bukan agar tanah mereka yang dijadikan hotel-hotel dan lapangan golf milik keluarga dan para kroni Soeharto disita kembali, atau agar misteri penculikan dan pembunuhan yang melibatkan satuan ABRI segera diusut terbuka sampai tuntas. Melainkan agar Menteri Pangan dan Hortikultura "Pak AM" Saefuddin dicopot dari kursinya di kabinet, bukan lagi cuma meminta maaf pada seluruh umat Hindu Bali.
Ada ungkapan Inggeris, lidah orang goblok cukup panjang untuk mencekik lehernya sendiri. Pak AM sama sekali bukan tergolong bodoh, bahkan sangat terpelajar. Tapi siapa menyangka, karena mengucapkan satu kalimat lebih panjang dari yang perlu, beliau telah membuat blunder yang menyulitkan dirinya.
Relakah rakyat Indonesia dipimpin orang yang beragama Hindu, begitu inti komentar Pak AM menanggapi popularitas Megawati baru-baru ini, ketika mencoba meyakinkan peluangnya sendiri untuk jadi calon presiden nanti. Inilah biang keladi kemarahan warga Hindu Bali.
Pak AM boleh dikatakan sering sial. Entah untuk kompensasi penampilan yang kurang mengagumkan atau karena merasa bebas mengemukakan apa yang dianggapnya faktual, sering dengan ringan saja--sesekali dengan nada humor, tapi bisa seperti congkak--dia melontarkan pendapatnya. Ada di antaranya yang kontroversial, sehingga terpaksa diluruskan kembali ketika banyak orang bereaksi negatif, yaitu ketika ia dikutip mengatakan, bahwa penjarahan barang bisa diterima sampai lima persen. Dari semuanya, reaksi orang Bali sekali inilah yang paling keras. Karenanya Pak AM telah minta maaf, walaupun seakan-akan kurang bisa mengerti mengapa omongannya ditanggapi sebagai penghinaan. Mungkin dia lupa, bahwa sekalipun dalam kebebasan berpendapat seseorang tak harus selalu berkata dengan tepat, tapi itu tidak berarti orang bebas untuk salah bicara.
Tetapi perkara salah bicara ini menyangkut soal tafsiran, yang acapkali rumit dan berbelit. Pak AM merasa tidak menyinggung Hindu sebagai agama, melainkan tentang orang yang beragama Hindu, dalam konteks pembicaraan politik. Dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana memang ada pasal tentang penghinaan pada golongan penduduk yang beragama tertentu, yang termasuk haatzaai artikelen bikinan penguasa kolonial dulu. Kejaksaan Agung akan berpikir ulang sebelum menggunakannya sebagai dasar bertindak. Salah-salah, bisa dituduh menekan kebebasan berpendapat. Lain halnya kalau langsung tertuju pada agama dan bentuknya penghinaan formal.
Tetapi yang lebih emosional di antara warga Hindu Bali ada yang tetap merasa bahwa secara materil ada unsur pelecehan. Mereka bukannya mengadu ke polisi, tetapi menggelar protes di jalan, sampai menggertak akan memisahkan Bali dari negara kesatuan Indonesia, kalau perlu. Ini sudah terlampau jauh rasanya, hanya lantaran salah bicara seorang menteri yang kurang berbakat melucu. Lagi pula memisahkan diri dari negara kecil kemungkinannya. Karena rakyat Bali belum sepenuhnya siap, baik hatinya maupun kemampuannya,untuk mendukung pemberontakan sejenis itu.
Pandangan sempit
Kalau pun salah bicaranya Pak AM bukan berniat menghina, tak bisa disangkal hal itu telah mempengaruhi ketenteraman hubungan antaragama yang cukup peka itu. Sementara itu kita hidup bersama dalam masyarakat yang majemuk, di mana tiap orang menyandang berbagai identitas dalam diri masing-masing. Seseorang sekaligus bisa berasal dari Bugis berdarah Arab, beragama Islam, sekaligus seorang perempuan, sebagai isteri perajurit TNI, menjadi guru sekolah swasta, warga kota Denpasar, atau mungkin juga anggota partai politik tertentu misalnya. Bisa dikatakan, komentar Pak AM itu didasarkan pada pandangan bahwa hanya ada satu identitas saja yang berlaku. Sehingga seluruh tingkah laku seseorang melulu diikatkan pada identitas tunggalnya yang paling awal atau yang asli, seperti jenis kelamin, agama, dan suku bangsa. Selanjutnya, demikian jalan pikiran identitas singular tersebut, yang Islam akan memilih presiden beragama Islam, Hindu hanya akan didukung yang beragama Hindu, yang Jawa tidak mau memilih Batak, perempuan akan berpihak hanya pada perempuan. Pandangan sempit dan kaku ini tidak patut diterapkan lagi dalam masyarakat sekarang, apalagi yang dalam kenyataan pluralistis dan dalam cita-cita demokratis, pandangan itu bahkan bisa jadi bibit disintegrasi.
Benar, orang Bali--yang frustrasinya sudah meluap akibat tidak sensitifnya pemerintah sejak zaman Soeharto sampai dengan Habibie kepada perasaan orang Bali, yang terakhir misalnya diangkatnya seorang Bali yang tak disukai di dalam kabinet--boleh marah mendengar salah bicara Pak AM yang berlebihan itu. Yang kurang benar ialah cara menyatakan kemarahan itu--suatu cara yang akhir-akhir ini juga dilakukan oleh sekelompok orang beragama Islam di Jakarta.
Karena cara melampiaskan amarah yang mengancam dan menakut-nakuti begitu bisa sama dasarnya dengan apa yang menyebabkan timbulnya gugatan pada Pak AM sendiri, yang bersumber pada kemutlakan singularitas identitas asli tadi.
Kita menyesali adanya anggota kabinet yang tidak hati-hati berseloroh, tapi akan lebih harus disesali bila pemerintah kurang berwibawa dan bijaksana untuk melayani ancaman yang mutlak-mutlakan sifatnya. Sekarang satu kalimat yang berlebih, besok satu kata keseleo, sudah harus ada yang habis riwayatnya. Siapa berani bicara bebas lagi? Ancaman atas keleluasaan berpendapat pun berdatangan dari setiap penjuru, kemarin datang dari penguasa sipil dan militer, kini bisa datang dari massa, dan percayalah, tak ada yang diuntungkan kalau sudah begitu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo