Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Tentang Rekapitalisasi

26 Oktober 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) bersama-sama bank beku operasi (BBO) dan bank taken over mungkin saja merupakan satu bab besar dalam krisis perbankan di Indonesia. Adapun rekapitalisasi barangkali merupakan bab ukuran menengah yang kurang menarik, tapi kalau tidak ada maka ia akan menjadi missing link dalam sejarah perbankan masa kini. Berita yang beredar bahkan mengisyaratkan, kendati program penyehatan dengan BLBI cenderung gagal, tapi rekapitalisasi tidak boleh gagal. Dalam kata lain, harus dilaksanakan. Padahal validitas dari due diligence yang dilakukan BI terhadap 80 bank yang siap masuk program rekapitalisasi, sungguh perlu dipertanyakan. Dalam menetapkan ukuran kesehatan bank, misalnya, BI hanya menggunakan rasio kecukupan modal (CAR), sedangkan Bank for International Settlement mengacu pada seperangkat indikator, di antaranya CAR, legal lending limit, dan loan to deposit ratio.

Ketegaran untuk meluncurkan rekapitalisasi itu sendiri tampaknya terpacu oleh faktor yang sulit dimengerti. Adalah menarik ketika mengungkapkan hasil due diligence pertengahan Oktober baru lalu, Gubernur BI merasa perlu mengatakan program rekapitalisasi yang sedang dipersiapkan itu mirip dengan program rekapitalisasi Jepang yang baru diluncurkan oleh PM Obuchi. Harus diakui, terobosan Obuchi memang mengejutkan, karena selain berhasil membentuk komite penyehatan bank-- krisis perbankan di negeri sakura itu sudah berlangsung delapan tahun--juga menyediakan dana 60 triliun yen (sekitar US$ 500 miliar). Seiring dengan menguatnya yen, maka dengan rekapitalisasi diharapkan perekonomian Jepang hidup kembali sehingga kawasan Asia Timur dan Tenggara juga mendapat energi untuk bangkit lagi.

Rekapitalisasi di Indonesia resminya bertujuan untuk mempertahankan bank-bank yang dianggap memiliki prospek untuk tetap hidup dan berkembang, sehingga ikut mempercepat pemulihan ekonomi. Mungkin dalam hal itulah ada kemiripan dengan rekapitalisasi yang diluncurkan Jepang. Tapi kalau Obuchi sudah menetapkan 60 triliun yen, Syahril Sabirin sama sekali tidak menyebutkan angka. Yang diungkapkan adalah caranya yaitu melalui restrukturisasi kepemilikan, bisa lewat proses merger atau injeksi dana. Dalam hal ini pemerintah akan sangat berperan dan itu tercermin dalam formula injeksi dana 1:4. Berdasarkan formula tersebut setiap tambahan modal Rp 1 yang diinjeksikan pemilik bank akan diimbangi pemerintah dengan Rp 4. Berarti ada penyertaan modal pemerintah, kendati sifatnya sementara.

Di tengah krisis perbankan yang belum kunjung reda, alasan untuk rekapitalisasi itu sangat masuk akal, sehingga sempat bikin orang terkesan. Tapi pada saat yang sama, juga merasa heran. Terkesan karena due diligence yang dilakukan BI menunjukkan rendahnya tingkat kesehatan sebagian besar bank di Indonesia. Dengan kategori B yang longgar, mencakup CAR di bawah 4 persen sampai 25 persen, maka bank-bank yang kurang sehat dikelompokkan satu kelas dengan bank-bank yang semestinya sudah gulung tikar. Mungkin kalau tidak demikian, akan lebih banyak bank yang bertumbangan dan dapat memicu runtuhnya sistem keuangan di Indonesia. Kalau itulah alasannya, maka rekapitalisasi memang tidak mengada-ada.

Tapi di sisi lain, rekapitalisasi butuh dana yang tidak sedikit. Dalam hal inilah, program rekapitalisasi yang diprakarsasi BI menjadi sangat berbeda dengan program Obuchi. Untuk membiayai jaringan pengaman sosial saja, Indonesia memerlukan pinjaman IMF, lalu dari mana uang untuk rekapitalisasi? Inilah tanda tanya besar yang membuat rekapitalisasi itu terlalu bagus untuk dipercaya. Lagi pula di sini tidak mungkin mengerahkan dana dari bank-bank yang lebih kuat untuk menolong bank-bank yang sekarat, seperti yang dilakukan Alan Greenspan di AS ketika menyelamatkan Long Term Capital Management. Sistem konvoi tak bisa diterapkan, karena hampir tidak ada bank yang kuat. Bank Mandiri yang merupakan hasil merger empat bank BUMN memerlukan dana Rp 4 triliun. Sementara itu utang BLBI dari bank beku operasi dan take-over sekitar Rp 143 triliun belum terlunasi, dan sekarang ada mimpi baru bernama rekapitalisasi.

Bercermin pada kasus BLBI, program rekapitalisasi ini kembali menunjukkan bahwa BI mau terus berperan sebagai lender of last resort, padahal perannya sebagai pengawas perbankan jauh lebih diperlukan. Di samping itu, ketegaran otoritas moneter untuk memulai lagi satu program penyehatan yang belum tentu bisa diselesaikan dengan baik, sungguh mengganggu daya nalar kita. Dalam pada itu tertundanya RUU Bank Sentral menambah keyakinan bahwa program apa pun tidak akan maksimal tanpa dukungan independensi dari Bank Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus