Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Akal Bulus Perpu Omnibus

Pemerintah menerbitkan perpu omnibus Cipta Kerja dengan mengakali putusan Mahkamah Konstitusi. Bukti menguatnya gejala legalisme otokratik.

8 Januari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENERBITAN Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Cipta Kerja merupakan contoh terbaru kelihaian pemerintah Joko Widodo mengakali hukum. Masyarakat sipil tak boleh lengah mengantisipasi pembajakan hukum yang membahayakan konstitusi dan demokrasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kita masih ingat bagaimana pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menutup telinga rapat-rapat ketika publik menolak keras pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja yang pro-kepentingan oligarki pada 2020. Lalu Presiden Jokowi mempersilakan rakyat yang kecewa mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Tapi, setelah MK menyatakan omnibus law itu cacat formil dan inkonstitusional bersyarat, di masa liburan akhir tahun lalu, Presiden malah meneken dan mengumumkan Perpu Cipta Kerja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelumnya, merespons putusan MK yang menyatakan metode omnibus tak dikenal dalam sistem pembuatan hukum nasional, pemerintah dan DPR bergegas merevisi Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Alih-alih mengoreksi kekeliruan, revisi itu malah melegalkan apa yang semula ilegal. Pemerintah pun mengabaikan perintah MK untuk membahas ulang pasal-pasal kontroversial pada Undang-Undang Cipta Kerja dengan membuka pintu bagi “partisipasi publik yang bermakna”.

Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945 memang membolehkan pemerintah menerbitkan perpu bila ada kegentingan yang memaksa. Namun, faktanya, penerbitan Perpu Cipta Kerja jauh dari situasi darurat seperti yang dimaksud oleh konstitusi. Tak ada pula situasi gawat akibat kekosongan hukum. Setelah MK menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja inkonstitusional, pemerintah sendiri berulang kali mengklaim bahwa ketentuan pada undang-undang lain yang dirangkum dalam omnibus law itu tetap berlaku.

Pemerintah lantas membuat alasan mengada-ada bahwa perpu terbit untuk mengantisipasi inflasi, stagflasi, resesi ekonomi, serta dampak perang Rusia dan Ukraina. Padahal, sebelumnya, pemerintah kerap menyatakan bahwa konflik tersebut membawa berkah tak terduga: harga komoditas ekspor Indonesia melambung tinggi.

Berlindung di balik proses hukum, pemerintah Jokowi telah menerapkan praktik autocratic legalism. Istilah ini merujuk pada tindakan mengkonsolidasikan kekuasaan lewat sejumlah cara yang seolah-olah legal padahal secara esensial mencederai demokrasi dan konstitusi, termasuk ihwal pembatasan kekuasaan.

Sialnya, gejala legalisme otokratik tak mudah dideteksi. Di permukaan, situasi hukum dan politik bisa tampak baik-baik saja. Tak ada kudeta militer, kekerasan bersenjata, ataupun guncangan politik yang tiba-tiba. Para otokrat memakai segala cara untuk menutupi akal bulus mereka. Media massa yang membebek kekuasaan, pendengung di media sosial, serta akademikus bayaran riuh mendukung pemerintah yang mereka sebut bekerja dalam koridor hukum dan demokrasi.

Ketika publik menyadari kembalinya otoritarianisme, para otokrat sudah terlalu kuat untuk dilucuti. Maka publik pun terperangah ketika pemerintah dan DPR begitu mudah mengebiri Komisi Pemberantasan Korupsi lewat revisi undang-undang pada 2019. Kelompok oposisi yang berpotensi merintangi kepentingan penguasa telah dikooptasi atau dipinggirkan pelan-pelan. Tak ada lagi yang bisa membendung ketika DPR mengesahkan undang-undang yang memperkuat posisi penguasa di depan rakyatnya, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Seperti pintu darurat pada pesawat, perpu seharusnya hanya diterbitkan bila situasinya benar-benar gawat. Pemerintah tak boleh sembarangan memakai dalih kedaruratan untuk menerabas prosedur hukum yang normal. Bila syahwat mencederai konstitusi lewat perpu tak dicegah, siapa yang bisa menjamin pemerintah tak akan menerbitkan perpu untuk menunda Pemilihan Umum 2024 nanti.

DPR seharusnya menolak Perpu Cipta Kerja yang tak pernah melibatkan partisipasi publik dalam pembahasannya. Tapi, melihat DPR yang kerap bersekongkol dengan pemerintah, kita sulit berharap mereka berani mengatakan tidak. Jalan terakhir, bila DPR meloloskan Perpu Cipta Kerja, adalah menggugat ke Mahkamah Konstitusi. Kalaupun permohonan uji materi kelak ditolak oleh MK, setidaknya sejarah akan mencatat bahwa telah ada orang bekerja untuk melawan politikus berakal busuk.

Artikel:

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus