Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Lorong Gelap Pemberantasan Korupsi

19 Juli 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Zainal Arifin Mochtar
  • Pengajar ilmu hukum dan Direktur PuKAT Korupsi Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta

    SALAH satu negara yang dikenal dunia berhasil menjinakkan korupsi adalah Hong Kong. Tapi itu hasil kerja panjang yang tak semudah membalik telapak tangan. Ketika Independent Commission Against Corruption (ICAC) Hong Kong didirikan untuk melakukan pembersihan besar-besaran terhadap penegakan hukum, muncul perlawanan. Sejarah mencatat demo besar menentang pendirian ICAC terjadi pada 1974. ICAC awalnya menjadi musuh bagi siapa pun yang terindikasi korupsi.

    Dunia juga mengenal Nuhu Ribadu, seorang hero kepolisian Nigeria dengan karier cemerlang dan jempolan memberantas korupsi. Sejak 2003 ia adalah Kepala Economic and Financial Crimes Commission Nigeria. Sepak terjangnya luar biasa. Berbagai kasus sogok dengan jumlah luar biasa ia lawan, bahkan ia jadikan sebagai pintu masuk untuk membongkar skandal korupsi yang lebih besar.

    Namun malang, setelah mengejar dan menghajar seorang politikus senior dengan tuduhan korupsi, ia terlempar dari jabatannya. Ia dituduh melakukan berbagai kejahatan, bahkan diancam akan dibunuh. Pada awal 2009 ia terpaksa ”melarikan diri” ke Inggris.

    Di Indonesia, hanya perlu menyebutkan skandal krimina lisasi Bibit-Chandra dan badai cicak versus buaya sebagai contoh aksi ”balas dendam” para koruptor menentang ge rakan antikorupsi. Skandal ini juga memperlihatkan betapa mudahnya komisioner pemberantas korupsi dihajar dengan berbagai tuduhan miring. Juga betapa vulgarnya sepak terjang aparat hukum yang sedang dikejar lembaga antikorupsi itu. Posisi lembaga pemberantas korupsi tampak jelas begitu lemah di hadapan lembaga penegak hukum lain.

    Skema pemberantasan korupsi memang harus ditempatkan pada konteks aksi-reaksi. Makin deras upaya menguatkan pemberantasan korupsi, makin besar aral menghadang. Mestinya, setelah itu gerakan antikorupsi lebih diperkuat lagi—seperti pertandingan antara program virus dan antivirus.

    Mudahnya para koruptor mengkonsolidasi diri sehingga membuat sang antivirus babak-belur menghadapi virus—terjadi karena beberapa hal.

    Pertama, lemahnya dukungan pemerintahan (baca: Presi den) dan Dewan Perwakilan Rakyat. Sejujurnya, ini yang masih memprihatinkan. Sulit rasanya membayangkan kepolisian dan kejaksaan di republik ini giat bekerja memberantas korupsi tanpa dukungan kuat Presiden. Seperti laik nya di banyak negara, kejaksaan dan kepolisian berada di ”ketiak” Presiden. Tapi kenyataannya kedua lembaga inilah yang sering tidak memihak pemberantasan korupsi.

    Kasus cicak versus buaya, rekening gendut perwira polisi, serta keterlibatan jaksa dan polisi dalam ”main perkara” tak mendapat perhatian bahkan lewat begitu saja di depan hidung Presiden. Kepala Negara tak menunjukkan keingin an melakukan intervensi—sesuatu yang sebetulnya menjadi kewajibannya.

    Iktikad pemberantasan korupsi mestinya juga ditunjukkan dengan komitmen anggaran dan pemberian akses yang luas kepada lembaga pemberantas korupsi. Hong Kong beruntung karena didukung pemerintah.

    Ribuan pegawai disiapkan untuk membantu ICAC. Lembaga itu juga diinjeksi duit sekitar US$ 90 juta per tahun untuk bekerja. ICAC bahkan diberi kewenangan mengakses hal-hal penting untuk percepatan pemberantasan korupsi.

    Nasib berbeda dialami KPK. Boro-boro mendukung, DPR malah mempersoalkan pemeriksaan KPK yang mereka anggap tak sesuai dengan tata krama antarlembaga. Anggaran KPK terus diancam akan disunat.

    Dukungan legislasi juga meredup. DPR kini sibuk menghardik KPK ketimbang memperbaiki perundangan anti korupsi. Kalaupun ada, program legislasi DPR untuk pe nguatan pemberantasan korupsi sering ditafsirkan berbeda malah kerap menegasikan satu dengan yang lain.

    Andai Mahkamah Konstitusi tidak sering ”berakrobat hukum” untuk mendukung dan melindungi undang-undang pemberantasan korupsi, sudah banyak aturan pemberantasan korupsi yang rontok karena ketidakmampuan legislator membangun peraturan antikorupsi yang rapi.

    Kedua, independensi Komisi Pemberantasan Korupsi tak maksimal diterapkan karena hanya berlaku institusional, bukan fungsional. Jangan lupa: yang kita butuhkan bukan hanya pernyataan bahwa KPK harus independen, melainkan para komisioner dan berbagai langkah pelaksanaan fungsinya harus pula independen—termasuk dalam tugas penyidikan. Selama ini untuk tugas penyidikan KPK masih bergantung pada penyidik Polri.

    Ketiga, dukungan publik nasional dan kerja sama internasional yang baik belum maksimal—meski bukan sama sekali tak ada. Yang saya maksud dengan kerja sama internasional termasuk dalam hal asset recovery yang memang menisca yakan kerja sama dengan pihak luar.

    Sayangnya, dari tiga lentera besar penerang jalan pemberantasan korupsi, hanya yang terakhir yang relatif kita miliki. Karena itu, upaya pemberantasan korupsi ibarat seseorang berjalan di lorong yang gelap dengan penerangan yang sangat terbatas.

    Siapa pun yang berjalan di lorong gelap itu mudah menjadi sasaran kejahatan dari para koruptor yang menjelma menjadi begundal jalanan. Apalagi di Indonesia korupsi sering dilakukan untuk mempertahankan pengaruh dan kekuasa an serta akses sumber daya. Sehingga yang kita temukan adalah para begundal sering hadir dengan wujud negara atau meminjam wajah negara.

    Serangan terhadap aktivis antikorupsi—lembaga pembe rantasan korupsi, LSM yang melaporkan kasus korupsi, ataupun media yang menginvestigasi skandal besar—sangat mudah terjadi. Setiap upaya penegakan hukum antikorupsi dengan mudah dilawan dengan serangan balik para koruptor—tak jarang dengan cara yang cukup mematikan.

    Siapa pun yang bertekad melakukan pemberantasan korupsi akhirnya dipaksa berjalan sendirian di lorong yang gelap. Menjadi Nuhu Ribadu adalah konsekuensi logis bagi mereka yang berlaga di lorong suram itu. Sampai kapan? Tidak ada yang tahu kecuali dua lentera lainnya segera dinyalakan.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus