Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mulharnetti Syas punya gelar baru: ”doktor infotainmen”.Perempuan 45 tahun itu bukan ikut-ikut an menjadi penggembira dalam debat yang kembali memanas soal apakah infotainmen itu produk jurnalistik atau gosip semata, melainkan melakukan penelitian. Mulharnetti mendapat gelar doktor ilmu komunikasi dengan disertasi ”Relasi Kekuasaan dalam Budaya Industri Televisi di Indonesia: Studi Budaya Televisi pada Program Infotainment”, Selasa pekan lalu. Pengukuhan yang berlangsung di Ruang AJB Fakultas Ilmu So sial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Depok, itu dihadiri sejumlah tokoh pe nyiaran dan televisi, seperti Ilham Bintang, Tarman Azzam, dan Ishadi S.K. ”Saya tak bisa mengklaim ini karya ilmiah pertama soal infotainmen di Indonesia,” ujar Mulharnetti kepada Tempo.
Meski mungkin bukan karya ilmiah pertama tentang infotainmen, disertasi Netti panggilan Mulharnetti bisa menjadi bukti konkret di tengah debat tentang infotainmen yang kembali bergejolak belakangan ini. Sebab, kesimpulan Mulharnetti dari penelitiannya adalah infotainmen bukan produk jurnalistik karena dalam prosesnya pekerja infotainmen tidak menjalankan kaidah jurnalistik. ”Program infotainmen menjadi produk budaya populer dan berbentuk program gosip yang tidak mematuhi kode etik jurnalistik,” ujarnya.
Untuk sampai ke kesimpulan itu, Netti melakukan penelitian dengan terlibat langsung dalam proses produksi infotainmen. Ibu dua anak ini memulainya dengan mengumpulkan rekaman 49 infotainmen yang ditayangkan di televisi. Setelah menganalisis konten, ia turun ke lapangan. Sejumlah tokoh diwawan carainya, termasuk yang hadir dalam sidang disertasinya.
Mulharnetti selama enam bulan ikut dalam tim produksi salah satu tayang an infotainmen. Ia terlibat sejak mengambil logistik dan kamera, meliput ke lapangan, mewawancarai selebritas, menyetor hasil liputan, hingga proses editing, mixing, sampai hasilnya layak ta yang. ”Saya pernah di Taman Mini sampai pukul satu dinihari, menunggu artis,” ujar Ketua Jurusan Jurnalistik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ini.
Pengorbanannya tak sia-sia. Ia menyaksikan bagaimana pekerja infotainmen beraksi tak sesuai dengan ka idah jurnalistik. Misalnya memepet artis Dewi Persik hingga keluar teriakan ”Kepung!” dari salah satu awak infotainmen. Dia juga melihat kemarahan Raffi Ahmad karena dipaksa infotainmen berkomentar soal hubungan dengan kekasihnya. Ada yang menggunakan kamera tersembunyi di ruang ganti padahal sang selebriti sudah menolak memberikan komentar. ”Saya meng amati semuanya,” katanya.
Pelanggaran demi pelanggaran terhadap kode etik jurnalistik itu menggiring penelitian kekesimpulan bahwa pekerja infotainmen bukan jurnalis. Kasus infotainmen yang menguatkan kesimpulan itu antara lain soal Aurel, 11 tahun, anak Anang Hermansyah dan Krisdayanti, yang diwawancarai soal pernikahan orang tuanya.Juga soal penolakan Luna Maya untuk diwawan carai ketika tengah menggendong anak Nazril Irham atau Ariel ”Peterpan” hingga menyebabkan makian Luna dalam akun Twitter-nya.
Seakan gayung bersambut, sehari setelah sidang disertasi itu, Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi informasi mengambil kesimpulan yang hampir sama. Rapat bersama Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers memutuskan mengubah status tayangan infotainmen dari faktual menjadi nonfaktual. ”Kesimpulan ini merupakan pedoman dan mengikat di antara kita,” kata Wakil Ketua Komisi I Dewan, T.B. Hasanudin.
Dengan kesimpulan Dewan yang tak mengkategorikan infotainmen sebagai berita, para pekerja infotainmen juga tak bisa disebut sebagai wartawan. Ketiga lembaga negara itu menilai infotainmen, reality show, dan sejenisnya melanggar kode etik jurnalistik serta Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran Komisi Pe nyiaran Indonesia. ”Dari cara meng olah informasi jadi berita, mirip jurnalistik. Tapi beberapa aspek penting kadang tidak terpenuhi,” kata Agus Sudibyo, anggota Dewan Pers.
Kontan kesimpulan disertasi dan rapat Komisi I ini mendapat tentangan dari praktisi dan pemilik rumah produksi infotainmen, Ilham Bintang. ”Ini bisa jadi persekongkolan memberangus kebebasan pers,” ujar pemilik Bintang Group ini. Ia berpendapat infotainmen adalah berita karena me ngabarkan fakta yang ada di seputar selebritas walau Ilham mengaku tidak setuju dengan cara-cara pemaksaan narasumber. ”Harusnya, begitu tutup mulut, stop.”
Hal senada diungkapkan Tarman Azzam, Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia. Info tainmen, kata dia, memenuhi salah satu fungsi pers, yakni fungsi hiburan. ”Yang penting narasumbernya jelas,” ujarnya. PWI, kata Tarman, tidak berencana mencoret pekerja infotainmen dari organisasi profesi itu, karena mereka juga melakukan apa yang dilakukan wartawan pada umumnya, mencari, mengolah, dan menyampaikan informasi. ”Faktanya mereka memang wartawan,” kata mantan Ketua PWI yang mendeklarasikan pekerja infotainmen sebagai wartawan ini walau hingga kini kurang dari 10 persen pekerja infotainmen yang mendaftar sebagai anggota PWI.
Sedangkan Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia Imam Wahyudi berpendapat produk yang memenuhi standar dan etika jurnalistiklah yang bisa digolongkan sebagai berita. Ikat an Jur nalis Televisi, kata Imam, tidak me nampung pekerja infotainmen kare na tidak terpenuhinya syarat tersebut. ”Ada majalah hiburan, tapi cara kerja warta wan nya tidak seperti itu,” kata Imam. Bagi Ikatan Jurnalis Televisi, mereka yang menjalankan kaidah jurnalistik layak disebut wartawan. ”Kami tidak mau terjebak penamaan. Yang penting kaidah dijalankan,” ujarnya.
Tito Sianipar, Harun Mahbub, Aryani Kristanti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo