Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DINA Mayasari, 42 tahun, dan Fajar Irawan, 43 tahun, tentu tak pernah bermimpi bakal berurusan dengan aparat hukum. Tinggal di Bogor, sehari-hari keduanya mengelola Yayasan Panti Sosial Permata Hati, panti asuhan dengan belasan anak asuh, peninggalan mendiang ibu mereka, Lily Rosliah.
Dina memimpin yayasan tersebut setelah Lily meninggal Oktober tahun lalu. Dina terpaksa mundur dari pekerjaannya di sebuah hotel berbintang di Jakarta demi mengurus panti. Saat itu, operasionalisasi Permata Hati sempat terbengkalai karena tak semua tenaga sukarela tetap membantu sepeninggal Lily.
Karena keterbatasan dana, Permata Hati memberikan kesempatan kepada sejumlah pihak, khususnya donatur, untuk mengasuh anak-anak tersebut. ”Kami menyerahkan hak asuh sementara kepada orang yang telah kami kenal, baik keluarga maupun latar belakang ekonominya,” kata Fajar Irawan, Kamis pekan lalu.
Tapi, siapa sangka, semua ini akhirnya membuat kakak-adik itu berurusan dengan kepolisian. Jumat dua pekan lalu, Dina diperiksa Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Bogor.
Semua ini bermula dari laporan pengaduan Dyah Ayu Maliana, 35 tahun, ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia, akhir Juni lalu. Nana, begitu ibu satu anak itu biasa dipanggil, mengaku tidak bisa mengambil anak yang baru saja dia lahirkan atas bantuan biaya Permata Hati. ”Bisa, tapi harus ditebus Rp 10 juta,” kata Hadi Supeno, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Rabu pekan lalu di kantornya.
Setelah menghubungi Dina dan tak mendapatkan titik temu, dengan menggandeng Dinas Sosial Kabupaten Bogor dan Kepolisian Sektor Bogor Tengah, Komisi Perlindungan Anak Indonesia mendatangi dua kantor Panti Asuhan Permata Hati, di Jalan Roda dan Jalan Mushola, Bogor.
Di dua tempat terpisah itu, menurut Hadi Supeno, mereka mendapati kondisi panti yang tidak layak untuk merawat anak. Bangunan panti yang berukuran sekitar 4,5 x 20 meter persegi itu memiliki sirkulasi udara yang sangat minim. Rombongan juga mendapati empat bayi, sepasang di antaranya kembar, dan dua perempuan yang sedang hamil tua tak didampingi babysitter atau bidan. ”Hanya ada seorang nenek yang untuk merawat dirinya sendiri saja pasti kerepotan,” ujar Hadi.
Tudingan miring pun diarahkan ke Permata Hati. Panti ini dianggap mene lantarkan anak karena tidak mampu memberikan tempat perlindungan dan perawat yang layak. Selain itu, panti ini dianggap menyalahgunakan wewenang karena memberikan izin adopsi anak kepada orang lain. Setidaknya diketahui Permata telah menyerahkan hak asuh satu dari dua bayi kembar ke seorang perempuan asal Bontang, Kalimantan Timur. ”Padahal Permata Hati tidak memperoleh izin untuk memberikan anak buat diadopsi orang lain,” kata Harry Hikmat, Direktur Pela yanan Sosial Anak Kementerian Sosial, Kamis pekan lalu.
Tuduhan lainnya, Permata dianggap melakukan sistem ijon terhadap ibu hamil, yakni membiayai proses persa linan kemudian meminta hak asuh anak tersebut. Kementerian Sosial dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia juga mencium adanya praktek jual-beli anak oleh panti ini. ”Ada indikasi transaksi pihak-pihak yang menginginkan bayi dari yayasan itu,” kata Harry Hikmat.
Peristiwa yang dinilai sebagai trans aksi itu terjadi pertengahan Juni lalu. Saat itu, hak asuh sementara satu dari dua bayi kembar yang ada di Permata Hati diserahkan kepada seorang ibu berinisial K di Bontang. Kala itu, K memberikan duit Rp 500 ribu kepada yayasan ini. Berpegang pada kasus inilah Komisi Perlindungan Anak Indonesia melaporkan Yayasan Permata Hati ke polisi. Mereka juga meminta Dinas Sosial menutup panti tersebut.
Kepada Tempo, Dina membantah semua tuduhan itu. Menurut dia, yaya sannya memang memberikan hak asuh sementara satu dari dua anak kembar yang ada di Permata Hati kepada keluarga K. Mengetahui ada bayi kembar yang dilahirkan, ujar Dina, K lantas menitipkan uang Rp 500 ribu kepada Rohani, orang tua anak kembar yang akan ia asuh itu. ”Ya, barangkali bisa untuk beli jamu ibunya,” ujar Fajar meniru ucapan K.
Fajar membantah Permata Hati telah melakukan praktek adopsi ilegal. Selama ini, kata dia, yayasannya hanya memberikan hak asuh sementara kepada orang lain. Tak ada pemutusan identitas anak. Anak tetap memiliki akta kelahiran atas nama orang tua asli.
MENEMBUS gerimis hujan, Jumat pekan lalu, Dina mendatangi kantor Komisi Nasional Perlindungan Anak di bilangan Pasar Rebo, Jakarta Timur. Sejam kemudian, Fajar menyusul. ”Kami hanya ingin berkonsultasi,” kata Dina.
Kepada Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Mer deka Sirait, Dina menjelaskan persoalan antara Nana dan Permata Hati serta kedatangan Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan rombongan, juga menceritakan kondisi terakhir yaya sannya.
Yayasan Permata Hati, ujar Dina, mengeluarkan biaya Rp 10.451.150 untuk membantu proses persalinan Nana. Saat itu, kata Dina, setelah melahirkan, Nana mengaku tidak punya biaya untuk mengasuh anaknya dan menyerahkan sepenuhnya hak asuh anaknya kepada Permata Hati. Namun, dua hari setelah anaknya dititipkan di Permata Hati, Nana berubah pikiran. Dia berniat mengambil dan mengasuh sendiri anaknya.
Dina dan Fajar menyatakan kala itu mereka sempat ragu dengan kesungguh an Nana merawat anak yang baru dilahirkan itu. Kepada Nana, Dina sempat menanyakan pertanggungjawaban uang yayasan yang sempat dikeluarkan untuk biaya persalinan. ”Ini kan uang yayasan sumbangan dari donatur yang harus kami pertanggungjawabkan,” kata Fajar. ”Kalau dituduh menjual, di mana keuntungan kami?” Nana sendiri rupanya mengadukan persoalannya itu ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
Arist menyesalkan langkah yang ditempuh Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan Dinas Sosial, yang langsung mendatangi Permata Hati dan membawa lima bayi yang ada di tempat tersebut. ”Itu melanggar hak anak,” kata Arist. Yang dilakukan Permata Hati, menurut Arist, bukan praktek adopsi ilegal atau praktek jual-beli anak. ”Itu tempat penitipan anak bagi keluarga tak mampu.”
Pengalihan hak asuh yang dilakukan Permata, menurut Arist, juga tidak bisa dikatakan melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak. Apalagi tidak terjadi pemutusan identitas anak. Baik perorangan maupun lembaga, ujarnya, memiliki hak dalam mengasuh anak asalkan seizin dinas sosial. Kalaupun Permata Hati mengalihkan hak asuh anak tanpa izin dari dinas sosial, itu pun merupakan masalah administrasi yang bisa diselesaikan kemudian. ”Dalam waktu dekat, kami akan meminta keterangan Nana,” ujar Arist.
Walau sudah memeriksa Dina, Kepolisian Resor Kota Bogor sampai saat ini belum bisa menemukan bukti ada nya praktek jual-beli anak oleh Permata. Kepolisian masih terus melakukan penyelidikan. ”Kemungkinan itu memang bisa terjadi. Kami masih mengumpulkan bukti,” ujar Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Kota Bogor Ajun Komisaris Indra Gunawan.
Erwin Dariyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo