Tulisan "Memperebutkan Pulau Madura" (TEMPO, 27 Juli 1991, Ekonomi & Bisnis) menarik untuk dikomentari, terutama soal kesepakatan untuk membangun heavy industries dan clean industries secara berdampingan. Kalau itu betul, berarti mencampurkan minyak dengan air. Ia tak akan pernah larut atau bersenyawa. Soalnya, kawasan Gresik atau Cibinong, yang hanya mengeluarkan debu 60 miligram saja, sudah membuat lingkungan "suram", atap rumah memutih, daun-daun berbedak debu, jemuran pakaian tercemar dan mempunyai efek psikis-psikologis bagi pertumbuhan anak. Kalau boleh usul, kubu yang ingin mendirikan heavy industries (baca: pabrik semen) perlu melakukan kalkulasi lagi agar bisa berdampingan dengan clean industries. Pemecahannya lewat pembangunan kubah kaca raksasa yang melingkupi heavy industries tersebut, sehingga membentuk biosfer baru yang lepas dari lingkungan luarnya. Itu berarti, sebagian besar Madura bebas dari polusi. Untuk itu, perlu dihitung apakah feasible untuk membangun heavy industries beserta biosfer barunya. Menurut perkiraan, Pulau Madura memiliki deposit semen 1,5 juta ton. Ini sebanding dengan daya angkut 200 ribu truk atau 37,5 juta zak semen ini netto 40 kg. Katakanlah harga pokok semen Rp 4 ribu per zak, maka dihasilkan sekitar Rp 1,5 trilyun. Apakah dengan uang sejumlah itu cukup layak untuk membangun sebuah kubah raksasa yang melingkupi areal ribuan hektare? Di luar masalah di atas, saya sangat menyayangkan pamrih sementara pengusaha dalam membantu mencerdaskan masyarakat Madura, misalnya, melalui pembangunan Universitas Bangkalan. Kapan para pengusaha (baca: konglomerat) kita memandang bantuan ke masyarakat sebagai pure social responsibility? Saya yakin, sesuatu yang dilandasi atas dasar tanpa pamrih, semata lillahi ta alla, akan selalu abadi dan dikenang. Sebetulnya, ada hal- hal yang paradoksal sekaligus transendental yang belum disadari para pengusaha kita. ARI SATRIYO WIBOWO Account Director PT Utomoputer Surabaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini