Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berbagai bentuk intimidasi terhadap lembaga penyelenggara hitung cepat (quick count) patut dianggap sebagai serangan terhadap demokrasi Indonesia. Tindakan yang dilakukan penyokong kubu pasangan calon presiden-wakil presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, ini akan menggerogoti peran publik dalam mengawasi hasil pemilihan umum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kubu Prabowo-Sandiaga boleh saja kecewa terhadap hasil quick count sebagian besar lembaga survei yang memenangkan kubu lawan, Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Namun tak sepatutnya mereka menyebut lembaga-lembaga tersebut tukang bohong. Tudingan tak berdasar yang dilontarkan Prabowo dalam orasi di depan pendukungnya seusai pemilihan umum itu jelas menyesatkan sekaligus membodohi masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hitung cepat justru merupakan elemen penting dalam demokrasi. Fungsinya tak sekadar memproyeksikan dengan cepat pemenang pemilu. Penyelenggaraan quick count oleh lembaga independen merupakan bentuk baru partisipasi publik dalam menjaga kredibilitas pemilu.
Di banyak negara, hitung cepat merupakan cara paling ampuh untuk mendeteksi kecurangan pemilu yang biasanya dilakukan rezim yang berkuasa. Dalam pemilihan Presiden Filipina pada 1986, misalnya, hitung cepat yang dimotori kelompok sipil menyanggah deklarasi kemenangan Ferdinand Marcos. Quick count juga membongkar kecurangan pemilu Cile pada 1988, pemilu Panama (1989), dan pemilu Serbia (2000).
Akurasi hitung cepat amat tinggi karena berbasis ilmu statistik yang dilengkapi dengan metode dan prosedur yang ketat. Sepanjang pengumpulan dan pengolahan data menggunakan metode yang tepat, hasil hitung cepat bisa mencapai akurasi hingga 99 persen. Di Indonesia, sejak Pemilihan Umum 2004 hingga 2014, proyeksi quick count tak pernah berbeda jauh dengan hasil real count Komisi Pemilihan Umum.
Sungguh aneh jika sekarang para pendukung Prabowo-Sandiaga justru merisak lembaga-lembaga penyelenggara hitung cepat. Barisan pendukung yang kecewa ini—banyak di antaranya akademikus—juga mengkampanyekan penghapusan quick count lewat media sosial. Mereka seolah-olah kehilangan akal sehat dengan tak lagi mempercayai ilmu pengetahuan yang menjadi basis metode hitung cepat. Pengecam hitung cepat bahkan berencana melaporkan pembuat hitung cepat ke polisi dengan tuduhan menyebarkan berita bohong.
Langkah Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia yang membeberkan metode dalam hitung cepat merupakan tindakan yang tepat. Masyarakat menjadi lebih paham mengenai urusan ini. Kubu Prabowo-Sandiaga semestinya pula segera membuka penghitungan internal yang hasilnya diklaim bertolak belakang dengan quick count. Publik berhak mengetahui basis data yang digunakan dan cara penghitungannya.
Sikap kubu Prabowo-Sandiaga yang tak menunjukkan tanda-tanda akan membuka basis data yang mendukung klaim kemenangannya amat disesalkan. Begitu pula tuduhan mereka bahwa telah terjadi kecurangan yang serius dalam pemilu. Tanpa adanya bukti, tudingan seperti ini sama saja dengan propaganda untuk mendelegitimasi penyelenggara pemilu.
Kubu Prabowo-Sandiaga seharusnya bersikap sportif. Menang dan kalah dalam pemilu merupakan hal yang biasa. Tak perlu membabi-buta menyerang semua elemen yang terlibat, penyelenggara pemilu, pengawas, hingga lembaga hitung cepat. Sikap yang asal tuduh hanya akan membingungkan masyarakat sekaligus merusak demokrasi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo