Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penetapan Sofyan disangka menerima janji mendapat besel dalam tender proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau-1. Status tersangka ini menambah panjang daftar petinggi perusahaan negara yang tersangkut perkara korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penerapan tata kelola perusahaan yang baik—good corporate governance (GCG)—merupakan keharusan yang tidak boleh ditawar. Namun saat ini masih banyak direksi BUMN yang ogah-ogahan menjalankannya. Praktik lancung itulah yang ditengarai dilakukan Sofyan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komisi antikorupsi menjadikan Sofyan pesakitan setelah menjebloskan bekas Wakil Ketua Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat, Eni Maulani Saragih, ke penjara. Mantan Menteri Sosial, Idrus Marham, dan pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo telah pula divonis pengadilan.
Sofyan tampaknya akan sulit berkelit dari urusan dugaan penerimaan rasuah dalam pemilihan BlackGold Natural Resources sebagai kontraktor PLTU Riau-1. Sejumlah kesaksian tersangka lain serta bukti-bukti dalam persidangan Eni, Idrus, dan Kotjo memperkuat indikasi keterlibatan Sofyan dalam pusaran perkara. Mantan Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia ini ditengarai terlibat aktif dalam penunjukan BlackGold Natural Resources—yang sahamnya dimiliki Johannes Kotjo.
Sofyan juga disebut-sebut menerima janji pemberian uang semir sebesar Rp 4,75 miliar—nilai yang sama besar dengan rasuah yang diterima Eni dan Idrus. Mengantongi sejumlah alat bukti, KPK menyiapkan pasal berlapis buat Sofyan, di antaranya aturan tentang penerimaan suap sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara dan tindak kejahatan secara bersama-sama.
Bukan kali ini saja Sofyan ditengarai mengabaikan tata kelola dalam menakhodai perusahaan setrum dengan aset mencapai Rp 1.300 triliun tersebut. Sebelumnya, dalam tender pembangunan PLTU Jawa 5 pada April 2016, ia mengambil kebijakan yang memantik curiga. Tender pembangunan pembangkit berkapasitas 2 x 1.000 megawatt itu—merupakan bagian program listrik 35 ribu megawatt—dihentikan Sofyan secara tiba-tiba tanpa alasan yang jelas.
Padahal proses yang dimulai dua tahun sebelumnya, dengan mengundang sejumlah investor asing, sudah melalui tahap standar pengadaan proyek bertaraf internasional. Panitia lelang yang ditunjuk sudah pula memilih pemenang dengan harga penawaran yang paling murah. Alih-alih meneken kontrak untuk memulai pekerjaan, Sofyan membatalkan tender secara sepihak.
Dua perkara yang terjadi di PLN tersebut merupakan contoh diterabasnya lima prinsip GCG—keterbukaan, akuntabilitas, tanggung jawab, independensi, dan kesetaraan. Menerima suap atau mengabaikan proses standar dalam pengambilan sebuah keputusan bisnis jelas merupakan praktik yang tidak wajar.
Buruknya pelaksanaan tata kelola di perusahaan negara semestinya menjadi perhatian serius pemerintah. Sebelum penetapan tersangka Sofyan Basir, komisi antikorupsi menangkap direktur PT Krakatau Steel (Persero) dan karyawan PT Pupuk Indonesia (Persero) dalam urusan suap. KPK menyebutkan, sepanjang 2004-2018, terdapat 56 BUMN/BUMD yang tersangkut korupsi.
Lemahnya pengawasan terhadap pengelolaan BUMN diperburuk oleh regulasi yang longgar perihal pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik. Instruksi GCG hanya diatur lewat Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor 01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada Badan Usaha Milik Negara. Isinya cuma berupa imbauan, tanpa kejelasan sanksi bagi pelanggarnya.
Apa yang terjadi di PLN sepatutnya menjadi alarm bagi pemerintah untuk segera melakukan perbaikan. Tidak tertutup kemungkinan berbagai proyek infrastruktur sepanjang 2014-2019 mengabaikan prinsip dasar tata kelola perusahaan yang baik. Menelan biaya Rp 4.197 triliun, umumnya proyek infrastruktur dikerjakan badan usaha milik negara. Proyek kereta ringan (LRT) Cibubur-Jakarta-Bekasi, misalnya, disebut-sebut dijalankan tanpa skema pendanaan dan landasan hukum yang jelas.
Tanpa upaya serius menjalankan prinsip tata kelola, akan banyak petinggi perusahaan negara kembali terperosok. Kita tak ingin daftar KPK bertambah panjang: banyak petinggi BUMN menjadi pesakitan, lalu masuk penjara.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo