Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengeboman di tiga gereja, empat hotel, dan sebuah rumah di Kolombo, Sri Lanka, pada 21 April lalu adalah kekejian terhadap kemanusiaan. Lebih dari 250 orang—termasuk 55 anak—tewas pada Minggu Paskah itu, sementara 500 lainnya terluka. Tak ada agama apa pun yang bisa membenarkan kekerasan berdarah semacam ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kelompok radikal Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) memang telah menyatakan bertanggung jawab atas aksi bom bunuh diri itu. Otoritas keamanan Sri Lanka juga menyebut kelompok Jemaah Tauhid Nasional (NTJ) di negeri itu sebagai pelaku pengeboman. Seorang pejabat setempat bahkan menyatakan teror tersebut adalah aksi balas dendam terhadap penembakan brutal di dua masjid di Selandia Baru pada Maret lalu. Tapi kebenaran atas semua klaim itu masih samar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aksi teror di Sri Lanka justru diyakini tak punya sebab tunggal. Ketegangan sektarian di negara berpenduduk 22 juta itu kembali bergejolak dalam beberapa tahun terakhir setelah perang saudara puluhan tahun di sana berakhir pada 2009. Ketegangan politik kemudian ikut menyemai konflik horizontal. Saat ini, pemerintah Sri Lanka terbelah dua. Sebagian mendukung Presiden (sekaligus Menteri Pertahanan) Maithripala Sirisena dan sebagian lain berpihak pada Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe.
Krisis konstitusi terjadi sejak tahun lalu, ketika sang Presiden berupaya mencopot Perdana Menteri. Sang Perdana Menteri malah balik mencopot Sirisena dari jabatan Menteri Pertahanan. Pertikaian antarkubu itu meluas ke masyarakat dan kian sengit di media sosial—mirip seperti yang terjadi di Indonesia saat ini. Kebencian demi kebencian direproduksi dan membuat publik terus saling tuding. Akibat sibuk bertikai, pemerintah pun abai terhadap peringatan teror yang dikirim lembaga intelijen Sri Lanka dan negara lain. Dampaknya fatal.
Pertikaian berkepanjangan antarkelompok di Sri Lanka memang menjadi faktor kunci. Sejarah negeri itu sarat dengan konflik sektarian. Tahun lalu terjadi persekusi masif terhadap kelompok muslim minoritas oleh kelompok radikal Buddha, yang merupakan agama mayoritas. Lebih dari 70 persen rakyat Sri Lanka menganut Buddha, selebihnya Hindu (12 persen), Islam (9,7 persen), dan Kristen atau Katolik (6 persen).
Jemaah Tauhid, yang kini disebut mendalangi pengeboman meski sama sekali tak mengklaim bertanggung jawab atas teror mematikan itu, sejatinya dibentuk untuk melawan persekusi kelompok radikal Buddha tersebut. Kelompok ini semula sama sekali tak dihitung pemerintah karena jumlah anggotanya sedikit dan hanya bergerak sporadis. Sejumlah analis menilai kelompok ini bahkan tak mampu melancarkan aksi serangan bunuh diri yang amat terkoordinasi.
Walhasil, berbagai kemungkinan masih terbuka. Yang jelas, tindakan bedebah membunuh ratusan orang itu telah menciptakan ketakutan di Sri Lanka. Sekarang sebagian warga Islam moderat di sana tak berani ke luar rumah, memilih tak bekerja, tak beribadah ke masjid, bahkan menanggalkan peci keseharian mereka. Bayangan perang saudara pada 1980-an, ketika lebih dari 20 ribu warga Tamil dihabisi, menghantui mereka.
Tugas pemerintah di mana pun mesti memastikan keamanan warga negara. Hukum harus ditegakkan untuk semua kalangan. Ketegangan antaretnis dan agama juga tak boleh diberi peluang untuk tumbuh. Kebencian demi kebencian yang menguasai percakapan publik tak bisa dipandang remeh. Tanpa kewaspadaan yang tinggi, kebencian itu bisa memicu radikalisme yang sangat berbahaya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo