TIGA pekan lalu bumi Irian Jaya digoncang oleh gempa bumi.
Kekuatan goncangan itu sampai tercatat di Swedia. Ini merupakan
gempa kesekian dalam deretan gempa bumi yang tahun ini
menggoncangkan berbagai wilayah di Indonesia.
Banyak orang menganggap tahun ini sebagai tahun penuh bencana
alam. Kesimpulan ini tidak selalu berdasarkan fakta dmiah,
melainkan kebanyakan merupakan hasil ramalan mistik. Bagaimana
kenyataannya?
Profesor Dr. John Ario Katili, 50 tahun, yang kini menjabat
sebagaiDirektur Jenderal Pertambangan Umum, Departemen
Pertambangan dan Energi, bersedia menulis suatu ulasan
mengenai gempa bumi, khusus untuk TEMPO.
Profesor Katili di samping pekerjaan rutin administratif
memimpin suatu Direktorat Jenderal, masih sempat melakukn
penelitian ilmiah. Selama kariernya ia sempat menulis dan
menerbitkan seratus lebih kertas kerja ilmiah. Kini ia sedang
menyiapkan buku, Geotectonics of Indoresia, A Modern View.
PADA tanggal 12 September 1979, kota Serui di Irian Jaya dilanda
gempabumi dengan magnitude (M) 7.7 dalam skala Richter.
Disebabkan rentetan bencana alam akhirakhir ini di Indonesia,
timbul pertanyaan di kalangan ramai apakah kerakbumi khususnya
di Indonesia makin bertambah aktif dibandingkan dengan
tahun-tahun yang lalu? Kalau demikian apakah akan bertambah
banyak gempa dalam tahun 1979?
Persoalan ini lebih dapat dimengerti kalau kita pertama-tama
mencoba membedakan jenis bencana. Kemudian, kita analisa
gempabumi itu dengan skala Richter tertentu. Analisa
bencana.gempabumi itu bukan saja secara regional, tetapi juga
dalam lingkup sedunia.
Yang perlu disadari pertama ialah bahwa rentetan bencana alam
yang pada tahun ini melanda Nusantara tidak semuanya disebabkan
gempabumi. Bencana Sinila bencana longsoran lereng G. Marapi di
Sumatera Barat, Larantuka dan Lomblen tidak ada hubungannya
secara langsung dengan gempabumi.
Gepabumi penting adalah gempa yang bermagnitude lebih dari 6.5
kala Richter, atau lebih kecil lagi, yang dapat menimbulkan
korban atau kerusakan berat.
Gempabumi pertama. tahun 1979 yang meminta korban manusia adalah
di Iran. Itu terjadi pada bulan Januari, dengan goncangan 6.5
dan membunuh l99 orang. Menyusul kemudian gempa dengan skala 7.3
di Yugoslavia pada 15 April dan membunuh 156 orang. Gempa-gempa
kuat lain adalah di Lombok dengan skala 6.0, pada tanggal 30 Mei
dan meminta korban 22 orang. Goncangan bermagnitude 6.9
sebelumnya terjadi di Peru Selatan bulan Februari, dan membunuh
14 orang. Kemudian gempabumi berskala 7.6 bulan Maret menelan
korban 14 orang di Meksiko.
Beberapa gempabumi penting pada 6 bulan pertama tahun 1979
adalah sebagai berikut:
Secara rata-rata dapat dikatakan bahwa di seluruh dunia ilmiah
gempabumi besar (magnitude 7.0 sampai 7.9) pada bulan pertama
tahun 1979 adalah jauh lebih kecil dibandingkan dengan jangka
waktu yang sama pada tahun 1978 Energi seismik dengan skala
Richter 8 dapat disamakan dengan energi 10.000 bom atom tipe
Hirosima.
Rata-rata setahun terdapat 18 gempabumi besar. Tetapi dalam 6
bulan pertama tahun 1979 hanya terdapat 5 gempabumi besar
dibandingkan dengan tahun 1978. Di sana terdapat 17 gempabumi
besar dalam waktu 12 bulan.
Dalam tahun 1977 misalkan terdapat 36gempabumipenting dengan
korban sebanyak 2.800, tetapi tahun 1976 adalah tahun yang
memakan korban jiwa paling besar ialah 700.000, sebagian besar
di Tanshan RRC.
Kesimpulan yang dapat ditarik ialah bahwa dibandingkan dengan
tahun-tahun 1976, 1977 dan 1978 maka tahun 1979 sampai bulan
September merupakan tahun yang agak tenang.
Tetapi mengapa justru di Indonesia terdapat 3 gempabumi pcnting
dan 2 gempabumi besar dari Januari sampai bulan September 1979?
Jawabannya ialah bahwa Indonesia merupakan tempat perbenturan
tiga lempeng berukuran benua lempeng Eurasia, lempeng
Hindia-Australia dan lempeng Pasifik.
Lempeng Hindia-Australia mendesak kepulauan Nusantara ke arah
Utara dengan kecepatan kira-kira 7 cm/setahun sedangkan lempeng
Pasifk mendesak kepulauan kita ke arah larat dengan kecepatan
kira-kira 10 cm/setahun. Perbenturan lempenglempeng ini terjadi
sepanjang batas lempeng dan di tempat-tempat inilab terdapat
kegempaan yang tinggi. Ukuran batas lempeng di Indonesia adalah
besar serta jumlahya sangat banyak.
Gempabumi Bali dan Lombok adalah gempa subduksi yang berasosiasi
dengan penukikan kerak samudera Hindia-Australia di bawah kerak
kontinen Eurasia. Gempa Japen, Irian Jaya berasosiasi dengan
gesekan mendatar lempeng Pasifik dan lempeng Hindia-Australia,
sedangkan gempa laut Maluku oleh perbenturan dua busur kepulauan
aktif ialah busur Sangihe-Minahasa dan busur Halmahera.
Gelabumi di Yugoslavia, Alaska, Iran, Peru dan sebagainya haya
berasosiasi dengan satu batas lempeng saja.
Jayariyaknya gempabumi di Indonesia pada tahun 1979 tidak
disebabkan karena bertambahnya aktivita kerakbumi, tapi karena
banyaknya serta bervariasinya jenis batas-batas lempeng di
kepulauan kita.
Terdapat kesan bahwa sektor yang agak aktif di Indonesia pada
tahun-tahun terakhir ini adalah antara Bali dan Timor dan
sepanjang daerah Utara Irian Jaya. Daerah yang potensial rawan,
tetapi agak tenang, ialah sektor sepanjang pulau Sumatera
sebelah Barat.
Apakah ini disebabkan karena telah terjadi penglepasan energi
kecil-kecilan, ataukah penumpukan energi potensiil yang pada
suatu waktu dapat dirobah secara mendadak menjadi energi
kinetik, tidak diketahui dengan pasti. Dengan demikian untuk
daerah-daerah "yang agak tenang" ini diperlukan kewaspadaan yang
tinggi. Komunikasi yang makin membaik (radio, televisi,
komunikasi satelit dll.) serta jaringan stasiun gempabumi yang
modern, menyebabkan pula bahwa berita gempa-gempa didaerah
terpencil yang biasanya sangat lambat tiba, kini dengan cepat
sampai ke masyarakat ramai.
Interpretasi yang salah, serta berita yang dibesar-besarkan,
dapat memberikan kesan seolah-olah "bumi Indonesia itu makin
gelisah".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini