Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Makin gelisahkah kerak bumi ?

Banyaknya gempa bumi di indonesia pada tahun 1979 tak disebabkan karena bertambahnya aktivitas kerak bumi, tetapi karena banyaknya serta bervariasinya jenis batas-batas lempeng di kepulauan kita.

6 Oktober 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA pekan lalu bumi Irian Jaya digoncang oleh gempa bumi. Kekuatan goncangan itu sampai tercatat di Swedia. Ini merupakan gempa kesekian dalam deretan gempa bumi yang tahun ini menggoncangkan berbagai wilayah di Indonesia. Banyak orang menganggap tahun ini sebagai tahun penuh bencana alam. Kesimpulan ini tidak selalu berdasarkan fakta dmiah, melainkan kebanyakan merupakan hasil ramalan mistik. Bagaimana kenyataannya? Profesor Dr. John Ario Katili, 50 tahun, yang kini menjabat sebagaiDirektur Jenderal Pertambangan Umum, Departemen Pertambangan dan Energi, bersedia menulis suatu ulasan mengenai gempa bumi, khusus untuk TEMPO. Profesor Katili di samping pekerjaan rutin administratif memimpin suatu Direktorat Jenderal, masih sempat melakukn penelitian ilmiah. Selama kariernya ia sempat menulis dan menerbitkan seratus lebih kertas kerja ilmiah. Kini ia sedang menyiapkan buku, Geotectonics of Indoresia, A Modern View. PADA tanggal 12 September 1979, kota Serui di Irian Jaya dilanda gempabumi dengan magnitude (M) 7.7 dalam skala Richter. Disebabkan rentetan bencana alam akhirakhir ini di Indonesia, timbul pertanyaan di kalangan ramai apakah kerakbumi khususnya di Indonesia makin bertambah aktif dibandingkan dengan tahun-tahun yang lalu? Kalau demikian apakah akan bertambah banyak gempa dalam tahun 1979? Persoalan ini lebih dapat dimengerti kalau kita pertama-tama mencoba membedakan jenis bencana. Kemudian, kita analisa gempabumi itu dengan skala Richter tertentu. Analisa bencana.gempabumi itu bukan saja secara regional, tetapi juga dalam lingkup sedunia. Yang perlu disadari pertama ialah bahwa rentetan bencana alam yang pada tahun ini melanda Nusantara tidak semuanya disebabkan gempabumi. Bencana Sinila bencana longsoran lereng G. Marapi di Sumatera Barat, Larantuka dan Lomblen tidak ada hubungannya secara langsung dengan gempabumi. Gepabumi penting adalah gempa yang bermagnitude lebih dari 6.5 kala Richter, atau lebih kecil lagi, yang dapat menimbulkan korban atau kerusakan berat. Gempabumi pertama. tahun 1979 yang meminta korban manusia adalah di Iran. Itu terjadi pada bulan Januari, dengan goncangan 6.5 dan membunuh l99 orang. Menyusul kemudian gempa dengan skala 7.3 di Yugoslavia pada 15 April dan membunuh 156 orang. Gempa-gempa kuat lain adalah di Lombok dengan skala 6.0, pada tanggal 30 Mei dan meminta korban 22 orang. Goncangan bermagnitude 6.9 sebelumnya terjadi di Peru Selatan bulan Februari, dan membunuh 14 orang. Kemudian gempabumi berskala 7.6 bulan Maret menelan korban 14 orang di Meksiko. Beberapa gempabumi penting pada 6 bulan pertama tahun 1979 adalah sebagai berikut: Secara rata-rata dapat dikatakan bahwa di seluruh dunia ilmiah gempabumi besar (magnitude 7.0 sampai 7.9) pada bulan pertama tahun 1979 adalah jauh lebih kecil dibandingkan dengan jangka waktu yang sama pada tahun 1978 Energi seismik dengan skala Richter 8 dapat disamakan dengan energi 10.000 bom atom tipe Hirosima. Rata-rata setahun terdapat 18 gempabumi besar. Tetapi dalam 6 bulan pertama tahun 1979 hanya terdapat 5 gempabumi besar dibandingkan dengan tahun 1978. Di sana terdapat 17 gempabumi besar dalam waktu 12 bulan. Dalam tahun 1977 misalkan terdapat 36gempabumipenting dengan korban sebanyak 2.800, tetapi tahun 1976 adalah tahun yang memakan korban jiwa paling besar ialah 700.000, sebagian besar di Tanshan RRC. Kesimpulan yang dapat ditarik ialah bahwa dibandingkan dengan tahun-tahun 1976, 1977 dan 1978 maka tahun 1979 sampai bulan September merupakan tahun yang agak tenang. Tetapi mengapa justru di Indonesia terdapat 3 gempabumi pcnting dan 2 gempabumi besar dari Januari sampai bulan September 1979? Jawabannya ialah bahwa Indonesia merupakan tempat perbenturan tiga lempeng berukuran benua lempeng Eurasia, lempeng Hindia-Australia dan lempeng Pasifik. Lempeng Hindia-Australia mendesak kepulauan Nusantara ke arah Utara dengan kecepatan kira-kira 7 cm/setahun sedangkan lempeng Pasifk mendesak kepulauan kita ke arah larat dengan kecepatan kira-kira 10 cm/setahun. Perbenturan lempenglempeng ini terjadi sepanjang batas lempeng dan di tempat-tempat inilab terdapat kegempaan yang tinggi. Ukuran batas lempeng di Indonesia adalah besar serta jumlahya sangat banyak. Gempabumi Bali dan Lombok adalah gempa subduksi yang berasosiasi dengan penukikan kerak samudera Hindia-Australia di bawah kerak kontinen Eurasia. Gempa Japen, Irian Jaya berasosiasi dengan gesekan mendatar lempeng Pasifik dan lempeng Hindia-Australia, sedangkan gempa laut Maluku oleh perbenturan dua busur kepulauan aktif ialah busur Sangihe-Minahasa dan busur Halmahera. Gelabumi di Yugoslavia, Alaska, Iran, Peru dan sebagainya haya berasosiasi dengan satu batas lempeng saja. Jayariyaknya gempabumi di Indonesia pada tahun 1979 tidak disebabkan karena bertambahnya aktivita kerakbumi, tapi karena banyaknya serta bervariasinya jenis batas-batas lempeng di kepulauan kita. Terdapat kesan bahwa sektor yang agak aktif di Indonesia pada tahun-tahun terakhir ini adalah antara Bali dan Timor dan sepanjang daerah Utara Irian Jaya. Daerah yang potensial rawan, tetapi agak tenang, ialah sektor sepanjang pulau Sumatera sebelah Barat. Apakah ini disebabkan karena telah terjadi penglepasan energi kecil-kecilan, ataukah penumpukan energi potensiil yang pada suatu waktu dapat dirobah secara mendadak menjadi energi kinetik, tidak diketahui dengan pasti. Dengan demikian untuk daerah-daerah "yang agak tenang" ini diperlukan kewaspadaan yang tinggi. Komunikasi yang makin membaik (radio, televisi, komunikasi satelit dll.) serta jaringan stasiun gempabumi yang modern, menyebabkan pula bahwa berita gempa-gempa didaerah terpencil yang biasanya sangat lambat tiba, kini dengan cepat sampai ke masyarakat ramai. Interpretasi yang salah, serta berita yang dibesar-besarkan, dapat memberikan kesan seolah-olah "bumi Indonesia itu makin gelisah".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus