APA yang terjadi dengan para pengikut Islam Jama'ah sekarang,
setelah serangan gencar terhadap mereka? tak banyak yang tahu.
Memang tidak begitu adil: pihak yang digebrak sama sekali tidak
berada dalam posisi yang menguntungkan untuk membela diri.
Bisa dimengerti bila penyanyi Benyamin, kini memilih diam. Akhir
bulan kemarin ia sudah mewakafkan rumahnya di Kemayoran Serdang,
Jakarta, kepada RT setempat untuk digunakan bagi kepentingan
umum. Rumah itu sebelumnya "disegel" penduduk, karena mereka
ketahui dipakai kegiatan Islam Jama'ah.
Para artis lain yang disebut sebagai pengikut IJ juga diam.
Mereka hanya menampik tuduhan, sebagian dengan nada tinggi,
seperti penyanyi Ida Royani atau musikus Keenan Nasution.
Meskipun begitu orang rupanya bisa menyatakan punya bukti lebih
banyak bahwa Ida dan Keenan memang IJ--seperti dinyatakan Korp
Muballigh Kemayolall misalnya.
Mungkin Ida dan Keenan tak punya pilihan lain: untuk terus
terang membela ajaran itu sendiri mereka tak akan mampu: IJ,
sejak 1971, resminya ajaran terlarang. Padahal para pengikut
merasa sudah mendapat pegangan yang benar, bukan ?
Itulah tragisnya. Pendapat Menteri Agama, seperti diberikan
kepada TEMPO, terasa kemudian cocok "Usaha Pemerintah yang
terakhir adalah menyadarkan mereka secara pelahan-lahan. Karena
itu sementara ini janganlah mereka dicaci-maki. " Tampak seperti
penyediaan kesempatan bagi para pengikut untuk "berfikir-fikir".
Begitupun baik Jaksa Agung maupun Majlis Ulama memberi kesan,
bahwa yang selayaknya diambil bukanlah tindakan penghukuman,
kecuali kepada para pemimpin. Bahkan Korp Muballigh Kemayoran
menyatakan bahwa yang mereka anggap baik ialah "menampung" para
bekas IJ--setelah tindakan tegas pemerintah (TEMPO 15
September).
Di segi lain, akibat gebrakan terakhir juga kelihatan menurunnya
kegiatan IJ. Mesjid Keenan, yang biasanya didatangi para pemuda
hilir-mudik kelihatan sepi. Juga di Karawang tak kelihatan lagi
pengajian terang-terangan. Beberapa tokoh IJ dipanggil
Kejaksaan, dan para petugas Kantor Departemen Agama hampir tiap
malam memberi "penyuluhan" ke kantong-kantong mereka maupun di
kantor.
Tetapi menurut Yaya Sutarya, 39 tahun, yang sekarang sedang
diperbuat saudara-saudaranya yang IJ itu sebenarnya adalah apa
yan disebut 'baronan'.
Itu katanya kode dari atas, disampaikan secara estafet, seperti
juga nasehat-nasehat penting selama ini. "Dalam suasana panas
seperti sekarang," kata Yaya, "semua kegiatan mesti diam." Atau
dalam bahasa Sumary Muslich dari Korp Muballigh Kemayoran, IJ
sekarang ini "sedang tiarap". Lalu bagaimana kalau suasana sudah
kembali "normal"? "Kodenya 'kerbau maju'," kata Yaya Sutarya.
Perkutut Enak
Memang ada juga yang benar-benar keluar dari Islam Jama'ah--baik
sudah agak lama maupun kemarin ini. Yaya Sutarya sendiri
termasuk yang kedua. Alasannya: "Dalam IJ kita mesti taat, tak
boleh mendebat, seperti kerbau yang dicocok hidung." Yaya
sendiri pernah mendengar ucapan yang disitir dalam kelompoknya
"Orang Islam itu seperti unta yang terikat. Ke mana ia ditarik,
Ia mengikut" Juga pemeo: Perkutut enak iwake, pokok manut enak
awake (perkutut enak dagingnya, siapa menurut enak badannya).
Menarik, pengakuan Sutarya, guru SD Negeri III di Karawang itu,
mirip dengan yang diucapkan Firdaus Arsyad, mahasiswa doktoral
UI di Jakarta. Firdaus, meski belum dibai'at, sudah pernah dua
kali menyetorkan 10% dari beasiswa Supersemar yang diterimanya
kepada amir, lewat pengajiannya. Tapi ia akhirnya tak bisa
menerima prinsip "agama untuk diamalkan, bukan diperdebatkan."
Lebih-lebih ketika kawannya yang menjadi penuntun mengatakan
bahwa Hamka, Abdullah Syafi'i dan para ulama lain "belum
mendapat hidayah Allah" alias belum sah keislamannya. Firdaus
keluar dari pengajian bulan haji tahun lalu setelah mengalami
kegelisahan besar.
Bajuri, 56 tahun, yang sekarang jadi jogotirt Desa Kajang,
Madiun, juga keluar dari IJ karena "tekanan". Ia termasuk petani
kaya dengan 4 ekor kerbau dan beberapa hektar sawah. Menuruti
isterinya yang lebih dulu terkena IJ, ia pun ikut "agomo Hadis"
(istilahnya).
Katanya kepada TEMPO: "Saya ini sebenarnya orang sawah. Setelah
beberapa bulan di agomo Hadis, sawah tidak terurus. Kerbau tidak
terurus. Yang dipompakan kepada kami hanya akherat saja. Lalu,
saya tidak kuat terus-terusan mengeluarkan beaya infaq ini-itu.
Setiap hari puluhan orang harus makan di rumah saya. Sepertinya
sesama warga tidak ada perbedaan pemilikan harta. Muballigh
pernah mengatakan "Burung itu, tidak punya apa-apa kok ya bisa
hidup." Tapi yang menghidupi saya!"
Dan sejak ia keluar, isterinya tak mau digaulinya sampai setahun
penuh. Sudah itu ia pergi begitu saja. Kawin lagi. Isterinya
juga kawin lagi--dengan sang muballigh.
Tapi yang lebih genting ialah, bila "tekanan" itu berobah
menjadi gangguan jiwa. Mengherankan: kasus-kasus ini cukup
banyak. Tidak hanya dari catatan Majlis Ulama Indonesia'atau
Korp Muballigh Kemayoran. Seorang psikiater maupun seorang ketua
RW di Jakarta misalnya, menuturkan kepada TEMPO tentang mereka
yang diasuhnya.
Sang psikiater sekarang ini menangani dua orang dewasa dan dua
remaja. Seorang sebenarnya bukan orang IJ, namun terganggu
keseimbangan jiwanya akibat perceraian yang dituntut si isteri,
setelah sang suami tak mau sama-sama masuk IJ.
Sedang tiga orang yang lain mula-mula hanya datang dengan
keluhan tak bisa konsentrasi, gelisah, malas, tak bisa tidur dan
sebangsanya. Menurut dokter yang Katolik ini, mungkin ajaran IJ
itu "tidak apa-apa". Namun prakteknya itulah, katanya, yang
menimbulkan berbagai konflik, baik dengan lingkungan maupun
dengan diri sendiri. Soalnya ialah tak adanya toleransi dengan
sekeliling, sehingga menjadi begitu angkuh dan tak bisa
menghormati ajaran lain.
Dan sikap itu bisa berbahaya, bila kemudian ada rangsangan kuat
yang membikinnya ragu. Dan rangsangan itu besar kecaman orang
sekeliling. Sang dokter sendiri menasehatkan agar mereka yang
tiga ini "melatih diri bersikap toleran" -- bukan supaya "keluar
dari IJ". Tapi mereka kelihatan takut-takut.
Rupanya imam mereka itu memakai tekanan-tekanan spirituil
kepada pengikutnya," katanya.
Kasus takut-takut, dan merasa "selalu dibayang-bayangi", juga
menimpa Pak Gino dari Harapan Mulya, Jakarta Pusat. Seperti
diceritakan ir. Rusdi Binu, Ketua RW 15, Pak Gino sekarang sudah
bukan orang IJ dan sudah sembahyang sama-sama. Tapi, kata Rusdi,
"sering kelihatan ketakutan, terutama bila ada yang minta
menceritakan pengalanlannya yang dulu."
Gino, sempat jadi pengikut IJ hampir dua tahun. Menurut Rusdi ia
sudah hampir bunuh diri di pantai Cilincing. Untung "ketahuan
polisi dan diselamatkan penduduk".
Rusdi sendiri menyatakan tak tahu apakah ada yang mengancam Pak
Gino. Mungkin tidak. Hanya ia pernah dengar bahwa isteri
Gino sendiri sampai sekarang tetap pengikut.
Tetapi, tidak mungkinkah serangan belakangan ini menarnbah lagi
kasus gangguan kejiwaan itu? Ini memang memprihatinkan.
Sebaliknya, setidak-tidaknya ramai-ramai bab Islam Jama'ah juga
diduga bisa menjauhkan bertambahnya calon pengikut--yang siapa
tahu juga calon gangguan jiwa.
Betapa pun orang layak berhati-hati. Pendekatan yang tepat, yang
tak membikin parah sikap serba curiga dan rasa terdesak, akan
dapat menghindarkan pusat-pusat konsentrasi IJ seperti di
Jombang atau Karawang, terlanjur jadi semacam komune model Jim
Jones dari Guyana. (TEMPO 29 September). Sebab seperti dikatakan
sang psikiater, ajaran kepatuhan aliran itu dan sikapnya yang
tertutup suatu saat bisa dimanfaatkan sang imam untuk apa saja
menurut fikirannya.
Itulah pula sebabnya pamong RW seperti ir. Rusdi berpendapat:
sebaiknya ditangkap saja para pentolan atau imam itu. "Selama
imam-imamnya berkeliaran, umat akan tetap dihinggapi rasa takut
untuk meninggalkan kelompok," katanya.
Adapun dari Majlis Ulama, baik Pusat maupun DKI, terakhir
didengar kelnginan agar si "amirul mukminin", Nurhasan, diusut
secara terbuka, sebab dialah "yang paling bertanggungjawab".
Kalau perlu, seperti yang mereka katakan kepada TEMPO, dibawa ke
satu forum bersamai para ulama dan pihak-pihak berwenang. Agar
masalah jadi gamblang. Apalagi kalau ada debat, menarik lho Pak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini