Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Islam Jama'ah, dalam diam

Para pengikut islam jama'ah diserang gencar, sikap atau akibat negatif bagi para pengikut islam jama' ah tidak dalam posisi yang enak untuk membela diri. (ag)

6 Oktober 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA yang terjadi dengan para pengikut Islam Jama'ah sekarang, setelah serangan gencar terhadap mereka? tak banyak yang tahu. Memang tidak begitu adil: pihak yang digebrak sama sekali tidak berada dalam posisi yang menguntungkan untuk membela diri. Bisa dimengerti bila penyanyi Benyamin, kini memilih diam. Akhir bulan kemarin ia sudah mewakafkan rumahnya di Kemayoran Serdang, Jakarta, kepada RT setempat untuk digunakan bagi kepentingan umum. Rumah itu sebelumnya "disegel" penduduk, karena mereka ketahui dipakai kegiatan Islam Jama'ah. Para artis lain yang disebut sebagai pengikut IJ juga diam. Mereka hanya menampik tuduhan, sebagian dengan nada tinggi, seperti penyanyi Ida Royani atau musikus Keenan Nasution. Meskipun begitu orang rupanya bisa menyatakan punya bukti lebih banyak bahwa Ida dan Keenan memang IJ--seperti dinyatakan Korp Muballigh Kemayolall misalnya. Mungkin Ida dan Keenan tak punya pilihan lain: untuk terus terang membela ajaran itu sendiri mereka tak akan mampu: IJ, sejak 1971, resminya ajaran terlarang. Padahal para pengikut merasa sudah mendapat pegangan yang benar, bukan ? Itulah tragisnya. Pendapat Menteri Agama, seperti diberikan kepada TEMPO, terasa kemudian cocok "Usaha Pemerintah yang terakhir adalah menyadarkan mereka secara pelahan-lahan. Karena itu sementara ini janganlah mereka dicaci-maki. " Tampak seperti penyediaan kesempatan bagi para pengikut untuk "berfikir-fikir". Begitupun baik Jaksa Agung maupun Majlis Ulama memberi kesan, bahwa yang selayaknya diambil bukanlah tindakan penghukuman, kecuali kepada para pemimpin. Bahkan Korp Muballigh Kemayoran menyatakan bahwa yang mereka anggap baik ialah "menampung" para bekas IJ--setelah tindakan tegas pemerintah (TEMPO 15 September). Di segi lain, akibat gebrakan terakhir juga kelihatan menurunnya kegiatan IJ. Mesjid Keenan, yang biasanya didatangi para pemuda hilir-mudik kelihatan sepi. Juga di Karawang tak kelihatan lagi pengajian terang-terangan. Beberapa tokoh IJ dipanggil Kejaksaan, dan para petugas Kantor Departemen Agama hampir tiap malam memberi "penyuluhan" ke kantong-kantong mereka maupun di kantor. Tetapi menurut Yaya Sutarya, 39 tahun, yang sekarang sedang diperbuat saudara-saudaranya yang IJ itu sebenarnya adalah apa yan disebut 'baronan'. Itu katanya kode dari atas, disampaikan secara estafet, seperti juga nasehat-nasehat penting selama ini. "Dalam suasana panas seperti sekarang," kata Yaya, "semua kegiatan mesti diam." Atau dalam bahasa Sumary Muslich dari Korp Muballigh Kemayoran, IJ sekarang ini "sedang tiarap". Lalu bagaimana kalau suasana sudah kembali "normal"? "Kodenya 'kerbau maju'," kata Yaya Sutarya. Perkutut Enak Memang ada juga yang benar-benar keluar dari Islam Jama'ah--baik sudah agak lama maupun kemarin ini. Yaya Sutarya sendiri termasuk yang kedua. Alasannya: "Dalam IJ kita mesti taat, tak boleh mendebat, seperti kerbau yang dicocok hidung." Yaya sendiri pernah mendengar ucapan yang disitir dalam kelompoknya "Orang Islam itu seperti unta yang terikat. Ke mana ia ditarik, Ia mengikut" Juga pemeo: Perkutut enak iwake, pokok manut enak awake (perkutut enak dagingnya, siapa menurut enak badannya). Menarik, pengakuan Sutarya, guru SD Negeri III di Karawang itu, mirip dengan yang diucapkan Firdaus Arsyad, mahasiswa doktoral UI di Jakarta. Firdaus, meski belum dibai'at, sudah pernah dua kali menyetorkan 10% dari beasiswa Supersemar yang diterimanya kepada amir, lewat pengajiannya. Tapi ia akhirnya tak bisa menerima prinsip "agama untuk diamalkan, bukan diperdebatkan." Lebih-lebih ketika kawannya yang menjadi penuntun mengatakan bahwa Hamka, Abdullah Syafi'i dan para ulama lain "belum mendapat hidayah Allah" alias belum sah keislamannya. Firdaus keluar dari pengajian bulan haji tahun lalu setelah mengalami kegelisahan besar. Bajuri, 56 tahun, yang sekarang jadi jogotirt Desa Kajang, Madiun, juga keluar dari IJ karena "tekanan". Ia termasuk petani kaya dengan 4 ekor kerbau dan beberapa hektar sawah. Menuruti isterinya yang lebih dulu terkena IJ, ia pun ikut "agomo Hadis" (istilahnya). Katanya kepada TEMPO: "Saya ini sebenarnya orang sawah. Setelah beberapa bulan di agomo Hadis, sawah tidak terurus. Kerbau tidak terurus. Yang dipompakan kepada kami hanya akherat saja. Lalu, saya tidak kuat terus-terusan mengeluarkan beaya infaq ini-itu. Setiap hari puluhan orang harus makan di rumah saya. Sepertinya sesama warga tidak ada perbedaan pemilikan harta. Muballigh pernah mengatakan "Burung itu, tidak punya apa-apa kok ya bisa hidup." Tapi yang menghidupi saya!" Dan sejak ia keluar, isterinya tak mau digaulinya sampai setahun penuh. Sudah itu ia pergi begitu saja. Kawin lagi. Isterinya juga kawin lagi--dengan sang muballigh. Tapi yang lebih genting ialah, bila "tekanan" itu berobah menjadi gangguan jiwa. Mengherankan: kasus-kasus ini cukup banyak. Tidak hanya dari catatan Majlis Ulama Indonesia'atau Korp Muballigh Kemayoran. Seorang psikiater maupun seorang ketua RW di Jakarta misalnya, menuturkan kepada TEMPO tentang mereka yang diasuhnya. Sang psikiater sekarang ini menangani dua orang dewasa dan dua remaja. Seorang sebenarnya bukan orang IJ, namun terganggu keseimbangan jiwanya akibat perceraian yang dituntut si isteri, setelah sang suami tak mau sama-sama masuk IJ. Sedang tiga orang yang lain mula-mula hanya datang dengan keluhan tak bisa konsentrasi, gelisah, malas, tak bisa tidur dan sebangsanya. Menurut dokter yang Katolik ini, mungkin ajaran IJ itu "tidak apa-apa". Namun prakteknya itulah, katanya, yang menimbulkan berbagai konflik, baik dengan lingkungan maupun dengan diri sendiri. Soalnya ialah tak adanya toleransi dengan sekeliling, sehingga menjadi begitu angkuh dan tak bisa menghormati ajaran lain. Dan sikap itu bisa berbahaya, bila kemudian ada rangsangan kuat yang membikinnya ragu. Dan rangsangan itu besar kecaman orang sekeliling. Sang dokter sendiri menasehatkan agar mereka yang tiga ini "melatih diri bersikap toleran" -- bukan supaya "keluar dari IJ". Tapi mereka kelihatan takut-takut. Rupanya imam mereka itu memakai tekanan-tekanan spirituil kepada pengikutnya," katanya. Kasus takut-takut, dan merasa "selalu dibayang-bayangi", juga menimpa Pak Gino dari Harapan Mulya, Jakarta Pusat. Seperti diceritakan ir. Rusdi Binu, Ketua RW 15, Pak Gino sekarang sudah bukan orang IJ dan sudah sembahyang sama-sama. Tapi, kata Rusdi, "sering kelihatan ketakutan, terutama bila ada yang minta menceritakan pengalanlannya yang dulu." Gino, sempat jadi pengikut IJ hampir dua tahun. Menurut Rusdi ia sudah hampir bunuh diri di pantai Cilincing. Untung "ketahuan polisi dan diselamatkan penduduk". Rusdi sendiri menyatakan tak tahu apakah ada yang mengancam Pak Gino. Mungkin tidak. Hanya ia pernah dengar bahwa isteri Gino sendiri sampai sekarang tetap pengikut. Tetapi, tidak mungkinkah serangan belakangan ini menarnbah lagi kasus gangguan kejiwaan itu? Ini memang memprihatinkan. Sebaliknya, setidak-tidaknya ramai-ramai bab Islam Jama'ah juga diduga bisa menjauhkan bertambahnya calon pengikut--yang siapa tahu juga calon gangguan jiwa. Betapa pun orang layak berhati-hati. Pendekatan yang tepat, yang tak membikin parah sikap serba curiga dan rasa terdesak, akan dapat menghindarkan pusat-pusat konsentrasi IJ seperti di Jombang atau Karawang, terlanjur jadi semacam komune model Jim Jones dari Guyana. (TEMPO 29 September). Sebab seperti dikatakan sang psikiater, ajaran kepatuhan aliran itu dan sikapnya yang tertutup suatu saat bisa dimanfaatkan sang imam untuk apa saja menurut fikirannya. Itulah pula sebabnya pamong RW seperti ir. Rusdi berpendapat: sebaiknya ditangkap saja para pentolan atau imam itu. "Selama imam-imamnya berkeliaran, umat akan tetap dihinggapi rasa takut untuk meninggalkan kelompok," katanya. Adapun dari Majlis Ulama, baik Pusat maupun DKI, terakhir didengar kelnginan agar si "amirul mukminin", Nurhasan, diusut secara terbuka, sebab dialah "yang paling bertanggungjawab". Kalau perlu, seperti yang mereka katakan kepada TEMPO, dibawa ke satu forum bersamai para ulama dan pihak-pihak berwenang. Agar masalah jadi gamblang. Apalagi kalau ada debat, menarik lho Pak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus