Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Mengapa IJ menarik mereka

Pengikut islam jamaah diberikan perhatian sampai mencampuri urusan pribadi dan bisnis yang butuh asuhan agaknya itu merupakan daya tariknya yang bisa membuat bahagia. (ag)

6 Oktober 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETAHUN lalu, seorang ibu mengeluh kepada tetangganya: anak gadisnya yang belum begitu lama dikawinkan, bersama suaminya sekarang mengikuti pengajian--tapi ajarannya rupanya "fanatik sekali". Belakangan sang ibu dan bapak, yang kebetulan dari kalangan bukan santri tahu bahwa itulah rupanya yang disebut Islam Jama'ah. "Tapi saya tak bisa apa-apa," katanya lewat telepon kepada TEMPO. "Setelah saya desak, ia akhirnya bilang 'Biarlah ibu, yang penting saya merasa bahagia'." Apa yang menyebabkan mereka "bahagia"? Sumary Muslich, Ketua Korp Muballigh Kemayoran, mencoha berbicara tentang "perlindungan" yang diberikan seorang muballigh IJ kepada warganya. Yakni perhatian yang sampai kadang-kadang mencampuri urusan pribadi dan bahkan bisnis. Untuk sebagian anak muda kota besar, yang butuh "asuhan", agaknya itu merupakan daya tarik. Mahasiswa Firdaus Arsyad dari UI itu juga menyatakan kagum akan semangat persaudaraan mereka-yang tentu juga bisa membuat bahagia. Beberapa saat sebelum Firdaus keluar dari IJ, ia masih menerima daging kurban dari teman-teman ini. Melihat laporan dari berbagai tempat, bisa disimpulkan bahwa lingkungan di mana IJ sukses adalah lingkungan "muslim pinggir" atau "abangan" yang sebelumnya tidak dikenal sebagai antri. Mereka umumnya kosong, atau hampir kosong, dari pengetahuan agama Islam. Dan dalam IJ mereka menerima ajaran yang bukan main sederhananya namun bukan main meyakinkan: langsung dari potongan ayat dan hadis. Bisa dipastikan mereka tidak pernah mengikuti pengajian model Muhammadiyah ataupun Persis (Persatuan Islam) atau Al Irsyad, misalnya-yang juga getol ber-Qur'an Hadis. Mereka belum pernah punya kesempatan membanding. Setidaknya, karena pengajian IJ tidak lewat disiplin berbagai ilmu seperti fiqh, tafsir, akhlnk atau lainnya. Pelajaran shalat misalnya, langsung dimulai dari hadis. Dengan begitu mereka mendapati kenyataan: "Ternyata Islam mudah!" dan bersama dengan itu, "didekatkan"lah terus-menerus surga dan neraka. Kalau begini-begini, surga. Begini-begini, neraka. Jelas--dan tidak membuat orang takut, asal menurut. Dan semuanya ada Qur'annya, ada hadisnya -- walaupun semua menurut penafsiran imam alias manqul ("ternukil dari Nabi dari mulut ke mulut sampai ke mulut Nurhasan, bukan dari buku"). Itulah yang disebut Prof. Hamka sebagai daya tarik bagi yang butuh pegangan. Para artis misalnya, kata Hamka, 'kan sebenarnya punya kehausan keagamaan. Selama ini mungkin mereka merasa kotor. Tiba-tiba datang kyai yang menurut mereka meyakinkan, dan berkata: "Kamu tidak apa-apa. Kamu masuk surga, asal begini-begini, begitu-begitu." Dengan keyakinan bahwa di luar nereka "tak ada apa-apa", mereka pun kemudian merasa mendapat tempat. Bukan hanya sebagai siswa, malah sebagai muballigh. Anak-anak muda SMP dan SMA dikirim ke Kediri. Hanya dua bulan dapat pelajaran, langsung disebut "muballigh", dalam ukuran "cabe rawit", dan "mengajar". Di luar lingkungan mereka bisakh seorang anak muda, Keenan Nasution, di bawah 30 tahun, bahkan gurunya seperti Mastur itu, dengan mudah menonjol ke atas? Mungkin itulah pendorong buat Keenan pula, juga Ida Royani. Dan dengan masuknya para artis, terbukalah pintu bagi masuknya para muda pengagum. Juga di daerah, juga umumnya pemuda "muslimin pinggir". Memang ada juga satu-dua pengikut yang sebelumnya sudah punya ilmu agama --bahkan dari IAIN--yang biasanya langsung ditarik "ke atas". Juga banyak di daerah yang masuk karena santunan sosial ala kadarnya, di samping ada juga yang karena pengobatan, seperti misalnya di Madiun. Demi Kebenaran Namun dari kalangan manapun, nampaknya kejelasan, kepastian dan kekokohan aturan telah mengenakkan bagi mereka yang tak biasa bergulat dengan fikiran sendiri. Di kalangan IJ, "yang kritis sebenarnya tidak begitu dipercayai," kata Firdaus Arsyad si doktoral UI itu. Kalaupun para insinyur atau dokter, mereka kebetulan sekedar para ahli di bidang yang eksakt, yang lebih suka menyerahkan pemikiran agama dan ketuhanan "kepada yang punya waktu"--atau sekarang ini, imam. Korp Muballigh Kemayoran, yang sekarang sedang sibuk memberikan data-data IJ kepada Kejaksaan Tinggi Jakarta, juga menyebut salah satu jenis pengikut lain. Yaitu orang gedean "karena tertarik pada faktor penebusan dosa dan merasa tenteram, " kata Sumary Muslich, ketuanya. Paling tidak, dilihat dari kaum muda memang ada faktor lain yang menggairahkan militansi itu. Untuk"berjuang" secara diam-diam, dengan sandi-sandi, sambil menantang bahaya -"demi kebenaran", betul-betul memang sensasi. Militansi ini pula yang oleh sebagian perkumpulan, remaja mesjid (Al-Azhar atau mesjid-mesjid di Bandung, misalnya) diberi bentuk -disiplin untuk bangun tengah malam, amal sosial, donor darah, misalnya. Islam Jama'ah memang militan. Dan itu mungkin suatu pengganti bagi naluri "ekstrim" sementara orang, ketika lingkungan organisasi Islam di luarnya tak ingin lagi berbau "ekstrim", lebih realistis dan ramah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus