SETAHUN lalu, seorang ibu mengeluh kepada tetangganya: anak
gadisnya yang belum begitu lama dikawinkan, bersama suaminya
sekarang mengikuti pengajian--tapi ajarannya rupanya "fanatik
sekali". Belakangan sang ibu dan bapak, yang kebetulan dari
kalangan bukan santri tahu bahwa itulah rupanya yang disebut
Islam Jama'ah. "Tapi saya tak bisa apa-apa," katanya lewat
telepon kepada TEMPO. "Setelah saya desak, ia akhirnya bilang
'Biarlah ibu, yang penting saya merasa bahagia'."
Apa yang menyebabkan mereka "bahagia"? Sumary Muslich, Ketua
Korp Muballigh Kemayoran, mencoha berbicara tentang
"perlindungan" yang diberikan seorang muballigh IJ kepada
warganya. Yakni perhatian yang sampai kadang-kadang mencampuri
urusan pribadi dan bahkan bisnis. Untuk sebagian anak muda kota
besar, yang butuh "asuhan", agaknya itu merupakan daya tarik.
Mahasiswa Firdaus Arsyad dari UI itu juga menyatakan kagum akan
semangat persaudaraan mereka-yang tentu juga bisa membuat
bahagia. Beberapa saat sebelum Firdaus keluar dari IJ, ia masih
menerima daging kurban dari teman-teman ini.
Melihat laporan dari berbagai tempat, bisa disimpulkan bahwa
lingkungan di mana IJ sukses adalah lingkungan "muslim pinggir"
atau "abangan" yang sebelumnya tidak dikenal sebagai antri.
Mereka umumnya kosong, atau hampir kosong, dari pengetahuan
agama Islam. Dan dalam IJ mereka menerima ajaran yang bukan main
sederhananya namun bukan main meyakinkan: langsung dari potongan
ayat dan hadis.
Bisa dipastikan mereka tidak pernah mengikuti pengajian model
Muhammadiyah ataupun Persis (Persatuan Islam) atau Al Irsyad,
misalnya-yang juga getol ber-Qur'an Hadis. Mereka belum pernah
punya kesempatan membanding. Setidaknya, karena pengajian IJ
tidak lewat disiplin berbagai ilmu seperti fiqh, tafsir, akhlnk
atau lainnya. Pelajaran shalat misalnya, langsung dimulai dari
hadis.
Dengan begitu mereka mendapati kenyataan: "Ternyata Islam
mudah!" dan bersama dengan itu, "didekatkan"lah terus-menerus
surga dan neraka. Kalau begini-begini, surga. Begini-begini,
neraka. Jelas--dan tidak membuat orang takut, asal menurut. Dan
semuanya ada Qur'annya, ada hadisnya -- walaupun semua menurut
penafsiran imam alias manqul ("ternukil dari Nabi dari mulut ke
mulut sampai ke mulut Nurhasan, bukan dari buku").
Itulah yang disebut Prof. Hamka sebagai daya tarik bagi yang
butuh pegangan. Para artis misalnya, kata Hamka, 'kan sebenarnya
punya kehausan keagamaan. Selama ini mungkin mereka merasa
kotor. Tiba-tiba datang kyai yang menurut mereka meyakinkan, dan
berkata: "Kamu tidak apa-apa. Kamu masuk surga, asal
begini-begini, begitu-begitu."
Dengan keyakinan bahwa di luar nereka "tak ada apa-apa", mereka
pun kemudian merasa mendapat tempat. Bukan hanya sebagai siswa,
malah sebagai muballigh. Anak-anak muda SMP dan SMA dikirim ke
Kediri. Hanya dua bulan dapat pelajaran, langsung disebut
"muballigh", dalam ukuran "cabe rawit", dan "mengajar".
Di luar lingkungan mereka bisakh seorang anak muda, Keenan
Nasution, di bawah 30 tahun, bahkan gurunya seperti Mastur itu,
dengan mudah menonjol ke atas?
Mungkin itulah pendorong buat Keenan pula, juga Ida Royani. Dan
dengan masuknya para artis, terbukalah pintu bagi masuknya para
muda pengagum. Juga di daerah, juga umumnya pemuda "muslimin
pinggir". Memang ada juga satu-dua pengikut yang sebelumnya
sudah punya ilmu agama --bahkan dari IAIN--yang biasanya
langsung ditarik "ke atas". Juga banyak di daerah yang masuk
karena santunan sosial ala kadarnya, di samping ada juga yang
karena pengobatan, seperti misalnya di Madiun.
Demi Kebenaran
Namun dari kalangan manapun, nampaknya kejelasan, kepastian dan
kekokohan aturan telah mengenakkan bagi mereka yang tak biasa
bergulat dengan fikiran sendiri. Di kalangan IJ, "yang kritis
sebenarnya tidak begitu dipercayai," kata Firdaus Arsyad si
doktoral UI itu. Kalaupun para insinyur atau dokter, mereka
kebetulan sekedar para ahli di bidang yang eksakt, yang lebih
suka menyerahkan pemikiran agama dan ketuhanan "kepada yang
punya waktu"--atau sekarang ini, imam.
Korp Muballigh Kemayoran, yang sekarang sedang sibuk memberikan
data-data IJ kepada Kejaksaan Tinggi Jakarta, juga menyebut
salah satu jenis pengikut lain. Yaitu orang gedean "karena
tertarik pada faktor penebusan dosa dan merasa tenteram, " kata
Sumary Muslich, ketuanya.
Paling tidak, dilihat dari kaum muda memang ada faktor lain yang
menggairahkan militansi itu. Untuk"berjuang" secara diam-diam,
dengan sandi-sandi, sambil menantang bahaya -"demi kebenaran",
betul-betul memang sensasi. Militansi ini pula yang oleh
sebagian perkumpulan, remaja mesjid (Al-Azhar atau mesjid-mesjid
di Bandung, misalnya) diberi bentuk -disiplin untuk bangun
tengah malam, amal sosial, donor darah, misalnya. Islam Jama'ah
memang militan. Dan itu mungkin suatu pengganti bagi naluri
"ekstrim" sementara orang, ketika lingkungan organisasi Islam di
luarnya tak ingin lagi berbau "ekstrim", lebih realistis dan
ramah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini