Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Kucing sudah lama digunakan untuk berbagai idiom di banyak bahasa.
Tak semua idiom ditemukan padanannya dalam bahasa Indonesia, seperti istilah catcalling.
Idiom selalu terhubung dengan sejarah sosial dan budaya tertentu.
PADA malam perayaan tahun baru di akhir Desember 2024, Joanna, turis perempuan asal Singapura, menjadi korban pelecehan seksual di kawasan Braga, Kota Bandung. Saat dia bersama pasangannya, Darien, membuat vlog, beberapa lelaki membuntuti mereka dan melontarkan ujaran berbau seksual atau tidak senonoh kepada Joanna. Tindakan semacam itu disebut catcalling, istilah yang belum ada padanannya dalam bahasa Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Istilah pelecehan seksual jelas terlalu luas untuk menggantikan lingkup makna catcalling yang sempit, yang terbatas pada pelecehan verbal dan pelecehan jalanan dari orang tak dikenal. Namun, jika menerjemahkannya secara harfiah atau secara morfemis, kita tidak akan mendapati makna “kucing” meski frasa tersebut jelas menjadikan kucing basis pembentukannya. Mungkin lantaran itulah masyarakat bahasa kita akhirnya mempertahankan versi aslinya. Penerjemahan yang berujung penyerapan makna pada kelompok kata yang bersifat struktural hanya bisa dilakukan pada penekanan makna.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Indonesia juga dikenal istilah mandi kucing sebagai istilah pemanasan dalam teknik hubungan seksual. Frasa ini tampaknya merupakan “produk kebahasaan asli” Asia—yang dikenal pernah melahirkan produk budaya Kama Sutra. Ada memang istilah cat-bath dalam Kuala Lumpur Undercover (2013) karya Ewe Paik Leong, tapi tampaknya belum menjadi istilah umum dalam bahasa Inggris.
Kucing sudah lama digunakan untuk berbagai idiom di banyak bahasa. Sebagian idiom merujuk pada ciri dan perilaku kucing. Sebagian lagi legenda atau dongeng, tapi ada juga yang sebenarnya bersumber dari karya sastra.
Kita punya malu-malu kucing, yang dirasa lebih sederhana dan bisa dipahami daripada jika kita menjelaskan dengan “ia sebenarnya mau, hanya saja berpura-pura tidak butuh lantaran terhalang sesuatu”. KBBI VI Daring mencatat 42 kata gabungan yang mengandung kucing, seperti kucing air, sebutan untuk orang yang berkhianat kepada temannya; serta kucing garong dan kucing belang untuk mewakili kelakuan para lelaki yang suka bergonta-ganti pasangan dan mempermainkan perasaan.
Ada pula peribahasa seperti “biarpun kucing naik haji, pulangnya mengeong juga” untuk menyebut perangai orang yang tidak akan berubah meskipun sudah bepergian ke mana-mana dan “seperti anjing dengan kucing” untuk dua orang yang tidak pernah akur. Ada pula “menantikan kucing bertanduk” sebagai ungkapan untuk mengharapkan sesuatu yang mustahil dan “kucing menjemput api” untuk menggambarkan modal yang sudah habis tapi belum mendapat keuntungan.
Beberapa idiom bahkan mirip. Kita punya ungkapan “membeli kucing dalam karung” untuk tindakan spekulatif seperti membeli sesuatu yang tidak pasti. Frasa yang tak jauh berbeda juga ada dalam bahasa Inggris dan Jerman. Misalnya kalimat “jika membeli kucing dalam karung saja sudah gegabah, menjual kucing dalam karung bahkan lebih tidak bijaksana” dalam esai berbahasa Jerman tulisan Thomas Mann tentang kelahiran novelnya, Doktor Faustus, pada 1949.
Ada idiom yang sama dalam bahasa Inggris, Jerman, Belanda, dan Prancis tapi kita tak punya padanannya, seperti “der Katze die Schelle nicht umhängen wollen” (tak ingin memasang bel pada kucing). Ungkapan ini berasal dari dongeng di Eropa yang tercatat dalam Der Edelstein karya Ulrich Boner pada 1350. Konon para tikus ingin memasang bel pada kucing agar mereka tahu bila kucing mendekat, tapi tak ada satu pun tikus yang berani memasangnya.
Sejak itu, “menggantungkan bel pada kucing” jadi ungkapan untuk tugas yang berat yang tak seorang pun bersedia melakukannya. Kanselir Jerman Otto von Bismarck menggunakannya dalam pidato di depan parlemen pada 1881 tentang masalah pajak kota: “Tepatnya dalam posisi saya saat ini, saya menganggap tugas saya untuk menggantungkan lonceng pada kucing, untuk membahas masalah tersebut secara terbuka.”
Idiom-idiom yang memakai simbol kucing, seperti juga simbol lain, selalu menyimpan penjelasan panjang lantaran terhubung dengan sejarah sosial dan budaya tertentu. Itu sebabnya beberapa ungkapan, seperti catcalling, tak mudah dicari padanan idiomnya di sini. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul Kucing