Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Makan adalah front politik terdepan dalam masyarakat tradisional ataupun modern.
Urusan makan juga menjadi pertarungan micro-power dalam perjamuan antara pengundang dan mereka yang diundang.
Makan dan makanan selalu menjadi bagian dari keintiman sosial.
Erst kommt das Fressen, dann kommt die Moral ~ Bertolt Brecht
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPERTI mengulang Injil Matius, dramawan Jerman, Bertolt Brecht, mengatakan, “Yang pertama adalah makan, barulah moral.” Adapun kitab suci itu menegaskan bahwa makan selayaknya mendahului hal-hal yang abstrak: “Give us today our daily bread”, lalu dilanjutkan dengan “forgive us our sin”. Soal kebutuhan dan kemaslahatan, kita punya daftar yang panjang, tapi nomor satu selalu adalah makan. Makan adalah domain yang sangat krusial dan kontestatif dalam masyarakat karena semua orang makan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Makan itu istimewa. Ia bukan sekadar aktivitas biologis untuk memenuhi kebutuhan nutrisi, melainkan praktik sosial yang sangat pribadi sekaligus merefleksikan budaya dan identitas. Dengan makan kita menyatukan yang dari luar tubuh menjadi bagian dari badan kita.
Kamu adalah apa yang kamu makan, kata pepatah lama. Ini punya dua makna. Pertama, nutrisi yang kamu makan terpancar keluar melalui tubuh korporalmu: kesehatan, kegesitan, dan sering juga penyakit. Kedua, pada saat yang sama, secara terbalik makananmu juga merefleksikan siapa kamu: ras, etnis, gender, kelas sosial, golongan, dan latar belakang kebudayaanmu.
Makan adalah pernyataan ekonomi, politik, dan kebudayaan. Semula makan adalah peristiwa agrikultural—kita makan dari apa yang kita tanam. Dari situ ia berkembang sekaligus menjadi peristiwa industrial, kita makan dari apa yang diproduksi secara massal oleh industri. Belakangan, makan juga adalah peristiwa politik. Kata Peter Singer, kemampuan mendapatkan makanan secara layak adalah ukuran pertama keadilan sosial. Di mana ada kelaparan di situ sudah pasti ada ketidakadilan.
Makan juga berkaitan dengan keintiman sosial. Saya pernah bertamu ke rumah Kiai Ubaidillah Shodaqoh di pinggiran Semarang. Orang sederhana tapi berpandangan luas dan berpikiran maju. Dari ruang tamunya yang tua dan sederhana, Kiai Ubaid menanamkan kebiasaan bahwa semua tamu harus pulang dengan perut kenyang. Maka, setelah diskusi berjam-jam hingga tengah malam, pertemuan selalu ditutup dengan makan besar yang disiapkan istri dan anak-anaknya: tempe santan, lodeh, telur asin, empal, emping melinjo, dan kerupuk.
Di tempat lain di Kampung Tanjung Kelor di pinggiran Sungai Cisadane, pada akhir 1990-an, saya sering berkunjung ke rumah-rumah keluarga buruh di sekitarnya. Para tamu, bahkan yang datang di tengah hari bolong, biasanya akan mereka sambut sambil tergopoh-gopoh dengan sajian pembuka segelas susu kental manis yang disajikan dengan seduhan air mendidih. Di zaman itu, bagi keluarga buruh, susu kaleng termasuk hal mewah. Menyajikan susu kental menunjukkan kemurahan hati sekaligus penghormatan spontan tuan rumah kepada tamu.
Dari dua hal ini, kita memahami pertautan yang kompleks antara makan dan hospitality (keramahtamahan). Pertama, di dalam tiap undangan makan, ada pengungkapan otonomi dan dignitas. Yang kedua, tiap jamuan yang tulus selalu menghasilkan revitalisasi diri yang bersifat kolektif. Ketika para tamu menyambut undangan tuan rumah untuk mulai makan dan minum dengan antusias, di situ diteguhkan solidaritas.
Ketiga, perjamuan mengukuhkan kebesaran tuan rumah sekalipun hanya sementara. Tuan rumah yang datang dari kelas sosial ekonomi lemah dan terpinggirkan menemukan kesempatan menunjukkan martabat dan harga diri dengan menjamu tamu. Kecenderungan psikologis ini mirip dengan kisah pengungsi Suriah di Eropa, yang gemar mengundang makan tamu-tamu orang Eropa karena dengan itu keluarga-keluarga pengungsi itu berkesempatan mengubah dan mencicipi pengalaman: dari pengungsi menjadi “tuan rumah” di negeri orang.
Namun, dalam pergaulan, sesekali ada juga undangan makan yang menginjeksi relasi kuasa satu arah dari yang mengundang terhadap yang diundang. Makan menjadi benar-benar pertarungan micro-power. Pengundang mengesankan bahwa makan dalam perjamuannya adalah peristiwa eksklusif: bahwa yang diundang adalah mereka yang diistimewakan karena dipilih secara selektif. Dalam momen ini, makan bersama adalah pagelaran status, reproduksi kekuasaan yang ditampilkan melalui pilihan menu, botol, dan susunan piring yang bertemu dengan sendok.
Makan adalah front politik terdepan. Melaluinya kuasa mengalir langsung dari mulut ke dalam perut. Di Indonesia hari-hari ini, dari beberapa bulan ke depan, triliunan uang dihabiskan untuk membiayai negara menjamu anak-anak sekolah. Di sini meja dan bangsal sekolah akan jadi saksi dari dua kemungkinan: menguatnya memori kolektif dan solidaritas sebuah generasi atau sekadar ekspose tumpah ruahnya rente dan kekuasaan. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo