Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KATA tugas mencuat menjelang Pemilihan Umum 2024, seperti frasa petugas partai. Bentuk dasar tugas, yang tergolong kata kerja, memang dapat diturunkan melalui pelekatan imbuhan, seperti pada bentuk turunan bertugas dan menugasi atau menugaskan. Untuk mengacu pada makna orang yang bertugas, kata itu diturunkan menjadi petugas, dan untuk mengacu pada orang yang menugasi atau menugaskan, ia diturunkan menjadi penugas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tentu saja kata benda petugas dan penugas diambil dari contoh yang sudah berterima oleh pemakai bahasa Indonesia, yakni bentuk penyuruh, orang yang menyuruh, dan pesuruh, orang yang bersuruh atau melakukan suruh, yang dapat diartikan sebagai orang yang disuruh. Bedanya, menyuruh menandai sebuah peristiwa, sementara pesuruh menandai peristiwa yang berulang-ulang sehingga dapat diartikan sebagai hobi atau profesi. Kita pun dapat menambah arti petugas dalam beragam konteks pemakaian yang bukan hobi atau profesi, seperti petugas upacara, yakni orang yang bertugas melaksanakan upacara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan pengandaian ini dapatlah kita memposisikan konteks sebuah frasa yang belakangan sering digunjing masyarakat, terutama dalam menghadapi tahun politik Pemilu 2024, yakni frasa petugas partai. Dalam hal ini, partai politik menjadi penugas, yakni orang atau lembaga yang memberi tugas kepada orang atau lembaga yang diberi tugas. Sementara itu, di pihak lain, orang atau lembaga yang diberi tugas oleh orang atau lembaganya disebut petugas partai.
Pasalnya, dalam ingar-bingar politik saat ini, sering ditemukan pemakaian ungkapan politik yang perlu dipertimbangkan logika maknanya. Jangan sampai bahasa politik yang ditujukan untuk mengkampanyekan calon presiden, calon kepala daerah, atau calon anggota legislatif itu berkonotasi negatif dan bahkan menjadi blunder.
Sebagai contoh, sebuah partai memasang spanduk berukuran cukup besar dengan foto figur calon presiden yang dijagokannya. Lalu ada semacam tanda pagar atau takarir yang memberi penjelasan verbal dengan frasa petugas rakyat. Saya memahami frasa ini sebagai gimik untuk memberi negasi terhadap frasa petugas partai. Masalahnya, jika kita kembali pada kesejajaran bentuk petugas dan penugas, maknanya menjadi pralogis (tidak masuk akal). Siapa petugas rakyat? Dalam konteks spanduk ini, jawabannya adalah calon presiden yang diusung partai tersebut. Lalu siapa penugasnya? Jawabannya, tentu saja, adalah rakyat.
Lalu rakyat yang mana yang telah memberi tugasnya? Bukankah pemilihan umum belum tergelar? Mungkin, yang dimaksud oleh si pembuat frasa, petugas rakyat itu calon presidennya yang bertugas melayani rakyat sebagai negasi dari petugas partai yang sering diasumsikan sebagai presiden yang berasal dari partai tertentu yang bertugas melayani partainya. Padahal boleh jadi yang dimaksud petugas partai adalah kader partai tertentu yang telah diberi mandat untuk pencalonan kepemimpinan nasional oleh partainya dan berhasil menjadi pemenang melalui hasil pemilu.
Dengan ulasan singkat ini, tergambar bagaimana pemakaian bahasa politik kita, terutama produksi tanda pagar dan takarir, yang kurang memperhatikan aspek makna yang logis. Kedua frasa yang dibicarakan di atas menuai pemaknaan yang beragam: petugas partai bermakna ambigu dan petugas rakyat bermakna pralogis.
Kerancuan praktik berbahasa semacam ini mungkin akan sering kita temukan dalam wacana politik menjelang dan pada pemilihan umum. Jika terus diproduksi, tentu saja hal ini akan berimbas pada pola pikir para calon presiden, kepala daerah, dan anggota legislatif. Pengetahuan mereka dibangun dari cara berada dalam bahasa yang rancu. Apa lacur, hal semacam ini sering diabaikan dalam komunikasi politik para politikus dan partai politik.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Petugas Partai"