Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PETRA, Yordania, 13 Maret 2023. Turis berjubel di sepanjang lorong cadas raksasa di depan Al-Khazneh, satu dari makam yang ditatah di gunung-gunung batu bekas Kerajaan Nabataean. Sejauh mata memandang, lautan manusia berbagai bangsa bergerak maju perlahan. Tampak tangan-tangan teracung di atas kepala memegang handphone untuk merekam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketik “Petra” di Google. Kita akan menemukan situasi yang jauh berbeda. Kepada kita dipaparkan foto-foto kota kuno dalam karang yang lengang, dengan beberapa orang, beberapa unta dan keledai. Di tempat lain, Mathias Pettersen, warga negara Norwegia yang tinggal di Lombok, Nusa Tenggara Barat, melaporkan situasi dermaga penyeberangan Pelabuhan Padang Bai yang “completely chaotic”. Jumlah turis yang tak imbang dengan jumlah kapal membuat antrean panjang. Lagi-lagi, ketik “Bali”, “Lombok”, atau “Gili Trawangan” di Google. Yang kita temukan: laut biru, hamparan sawah, pura sunyi, pasir putih, dan langit jingga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan beda antara realitas dan angan yang kontras, kenapa orang masih saja ingin melakukan perjalanan?
Argumen umum: perjalanan membuat kita tercerahkan, memberi pengetahuan tentang dunia dan menghubungkan kita dengan orang lain. Perjalanan bahkan dianggap sebuah pencapaian.
Dalam “The Case Against Travel” di The New Yorker, Agnes Callard—filsuf dan associate professor dari University of Chicago, Amerika Serikat—menyejajarkan nama besar yang menentang perjalanan. G.K. Chesterton menulis “perjalanan mempersempit pikiran”. Ralph Waldo Emerson menyebut perjalanan sebagai “surga bagi orang bodoh”. Socrates dan Immanuel Kant memilih tak meninggalkan kota asal mereka di Athena dan Königsberg.
Yang paling membenci perjalanan adalah penulis Portugis, Fernando Pessoa. Katanya, “Saya benci cara hidup baru dan tempat asing.... Gagasan bepergian membuatku muak.... Ah, biarkan orang-orang yang tidak penting bepergian! Perjalanan adalah untuk mereka yang tidak bisa merasakan.... Hanya kemiskinan imajinasi ekstrem yang membenarkan keharusan bergerak untuk bisa merasakan.”
Emerson meletakkan marka yang jelas antara pejalan/perjalanan dan wisatawan/wisata. Pejalan adalah orang yang melakukan perjalanan jauh “demi tujuan seni, studi, dan kebajikan”. Satu tanda Anda adalah pejalan jika Anda tidak punya alasan membuktikan apa pun, sehingga tidak ada dorongan untuk mengumpulkan suvenir dan foto.
Sedangkan wisata adalah jenis perjalanan yang bertujuan hanya mendapatkan kesenangan. Berhasil atau tidak, itu urusan kedua. Sebagai wisatawan, Emerson mengaku, “Mencari Vatikan dan istana-istana. Saya ingin mabuk oleh pemandangan dan sugesti, namun saya gagal.” Bisa jadi dia mewakili setiap turis yang pernah berdiri di depan sebuah monumen, atau lukisan, dan berharap “merasakan sesuatu”.
Masalahnya, wisatawan atau turis, menurut Callard, adalah karakter yang butuh legitimasi. Mereka menyerahkan pembenaran pengalamannya kepada etnolog, kartu pos, kebijaksanaan konvensional tentang apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan di suatu tempat. Kebutuhan akan legitimasi ini yang membuat wisatawan tak mampu merasakan pengalaman autentik.
Pemahaman lain tentang wisatawan dikutip Callard dari buku Hosts and Guests. Katanya, wisatawan adalah orang yang mempunyai waktu luang temporer yang secara sukarela mengunjungi suatu tempat yang jauh dari rumah dengan tujuan mengalami perubahan.
Tapi apa sebenarnya yang berubah?
Sebuah pengamatan menarik di bab penutup buku itu bahkan menyatakan bahwa interaksi wisata lebih kecil kemungkinannya membawa perubahan bagi wisatawan dibanding sang tuan rumah. Yang lebih sering terjadi adalah, akibat kunjungan para wisatawan, rantai perubahan sosial, budaya, dan ekonomi terjadi di lingkungan para tuan rumah.
Jika taruhan dari sebuah perjalanan adalah “merasakan sesuatu” dan “perubahan”, dan kemungkinan besar itu akan gagal, tentu ada dorongan besar yang membuat orang terus bepergian.
Bisa jadi ia adalah dorongan sederhana untuk memiliki “jarak” yang membebaskan kita dari gravitasi rumah dan godaan tempat asing. Dalam frasa Alain de Botton: “liminal travelling place”.
Ia mengangkat kisah Charles Baudelaire yang terjebak dalam keinginan pergi “ke mana pun! Di mana saja!”. Sebuah tempat yang akan membebaskannya dari “keseharian”.
Baudelaire sering gagal melakukan perjalanan. Dia pernah meninggalkan Prancis utara ke India. Tiga bulan setelah penyeberangan laut, kapalnya dihantam badai dan ia terdampar di Mauritius. Pulau ini yang ia impikan. Namun ia tidak bisa menghilangkan perasaan lesu dan sedih. Dia menduga India juga tidak lebih baik dari Mauritius. Ia lalu pulang. Hasilnya, ambivalensi seumur hidup terhadap perjalanan. Dalam “Le Voyage”, dia membayangkan kisah para pelancong yang kembali dari jauh:
Kami melihat bintang
Dan ombak;
kami juga melihat pasir;
Dan meskipun banyak
krisis dan bencana yang tidak terduga,
Kami sering merasa bosan, sama seperti ketika kami berada di sini.
Dampak dari ambivalensi itu, sepanjang hidupnya, Baudelaire tertarik pada pelabuhan, dermaga, stasiun kereta api, kereta api, kapal laut, serta kamar hotel dan merasa lebih betah berada di tempat-tempat transisional dibanding tempat tujuannya. Ketika dia tertekan oleh Paris, dia pergi ke pelabuhan atau stasiun kereta api, di mana dia akan berseru:
Kereta, bawa aku bersamamu! Kapal, curi aku dari sini!
Bawa aku jauh, jauh sekali. Di sini lumpurnya terbuat dari air mata!
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Perjalanan"